"Tak apalah, ini untuk menyenangkan diri sendiri", pikir Tinus. Wanita kinyis-kinyis itu diajaknya menari bersama, meneguk minuman dan mereguk panjangnya malam. Keduanya terkapar terpapar kenikmatan duniawi. Terlentang kelelahan tepar.
Hawa panas merembes pada ruang kecil beterbangan mengitari kepala Tinus yang bertumbuh konde. Matanya malas menatap jam pada telponnya. Jam Sebelas.
Sebelas panggilan tak terjawab dari nomor Rudolfo rupanya berteriak dalam sepi. Dibukanya tirai, matahari meninggi melempar silau.
Didorongnya jendela, udara berlomba menyelinap menyergap udara pengap yang terlelap. Benderang yang tiba-tiba hadir menggagahi ruangan terbelah bak kapal pecah.
Wanita muda berambut sebahu berbadan langsing meninggalkan jejak wangi menyengat, sementara tubuh moleknya telah lenyap entah jam berapa.
Sebuah pengetahuan serta-merta meruntuhkan bangunan tulang belulang penyusun tubuh kerempeng kemudian menerbangkan debu-debu nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul:
"Tas ransel melayang bersama empunya wangi pencekik leher....!!!" erang Tinus menyayat jiwa.
Tas ransel hijau lumut berlogo kulit merah muda  berisi: laptop, berkas-berkas, kwitansi, materai, buku batik untuk mencatat segala, ballpoint dan lembaran merah bergepok dibungkus kantong kresek hitam telah raib, menyisakan dinding berlumut.
Sementara itu, di mulut gang menuju teratak Tinus berbentuk petak, Rudolfo --kawan sekaligus atasan-- merapikan parkir mobil dipandu oleh dua orang lelaki berbadan kekar berambut cepak yang dibawanya serta.
~~Selesai~~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H