Ibu pemilik kamar bertanya, "Untuk siapa gerangan?"
Jawabku penuh kepercayaan diri: "Untuk dia, calon istriku...." Kedua matamu mendadak lenyap ditelan tertawa tertahan.
Tiba saat untuk memintamu menjadi istri dalam perjalanan menuju kantormu, engkau bilang: "Aku belum siap, masih ingin berkarir. Bukankah aku baru saja lulus SMA?" Sebuah jawaban yang menampar kepercayaan diriku. Aku terguncang, namun ego sebagai laki-laki tidak memperkenanku mendayu atau luruh menunggu.
Aku terlalu tua untuk membujang. Orangtuaku sudah lama ingin menimang cucu. Lagipula kita hanya dekat, bukan jadian, sehingga tidak ada kata "putus" lalu air mata membanjir berderai-derai bak di sinetron picisan. Perpisahan biasa saja.
Sebelum hari pernikahanku pada saat itu, aku hanya ingin mendengar sekali saja suaramu yang renyah, kemudian ditutup dengan sebuah pesan singkat: "Engkau hanya calon istriku yang tidak jadi."
Sekarang, sejak bertukar nomor telepon, sekaligus bisa berkomunikasi melalui WA, aku sering menghubungimu. Tentu saja pada waktu senggang, tidak terlalu malam atau kuperkiran tidak merampas kebahagiaan bersama keluargamu. Dari itu aku tahu engkau sudah punya satu putra lucu kelas satu SD.
Kemudian sebuah percakapan WA membuatku terbang sejauh 60 kilometer menemuimu.
"Tidak mengganggu nih. Waktunya beristirahat akhir pekan, kok aku malah melakukan percakapan via WA? Suamimu tidak marahkah, tidak ada rasa curiga sama sekali?"
"Siapa yang marah? Aku sudah tidak terikat lagi." katamu.
"Maksudmu? Berpisah? Ergh...resmi???" Aku menegaskan.
"Iya, sudah dua tahun lalu. Kalau mas khan ada yang punya, aku tidak enak hati." jawabmu.