Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pisang Bakar, Nasi Goreng Terasi, dan Handuk

26 Agustus 2019   10:30 Diperbarui: 26 Agustus 2019   10:52 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada malamnya sebuah desa terpencil menyepi jauh di lembah gunung Salak telah tiga hari berturut-turut diguyur hujan deras berangin hampir sepanjang siang malam. 

Seperti suatu bendungan raksasa pecah, langit yang tak bertepi itu menumpahkan semburan air yang baris-berbaris tidak habis-habis, berombak-ombak rapat dihela sesukanya angin. 

Udara teramat sangat terasa dingin menusuk berkejaran lesat menyibak dedaunan berusaha merengkuh pepohonan yang tunduk meliuk pasrah, lalu menerpa sembari menyayat kulit pembungkus daging tak berlemak mengilukan tulang.

Angin memberontak liar dari lembah sambil bersorak-sorai berlomba melompat cepat ingin segera menggapai pucuk gunung, melewati dan menghempaskan sebuah pagar, berdinding batako telanjang yang belum sempat dibalut semen, roboh. 

Kincir-kincir angin bertiang bambu menari-nari melengking pada malam pekat berpetir-petir, menarik-narik bulu tengkuk. 

Setandan buah pisang yang masih hijau meremaja terkapar pada tanah ditindih batangnya yang patah rebah basah berkilat-kilat.

Dingin, gelap, sendirian, lapar terdampar di sebuah saung bambu kemudian menguatkan hati seorang penjaga Villa, berpenghasilan berharga setangki penuh bahan bakar mobil mewah tuannya, melompat menerjang badai hujan membawa sebilah parang untuk memotong lalu menyeret tandan pisang yang berat itu ke dekat hawu. 

Selang lima tarikan rokok kretek dari bibir kisut , suluh mulai memerah memanasi pisang-pisang berkulit hijau kekuningan pada ujungnya. Sekaligus nyala api berkobar menerangi gelap menghangatkan suhu sekelilingnya. 

Daging buah pisang yang telah terbakar matang rakus dilahap mulut bergetar lantas menghangatkan perut berkeroncongan pada malam bercerucuk menusuk-nusuk Sukma. 

Setengah sisir pisang melunak karena dipanggang kendati masih terasa kesatnya yang bergetah mentah, cukup meredam cacing-cacing yang tadi menggeliat dalam perut.

Terakhir ia makan ketika melahap sepiring nasi goreng pagi tadi jam sepuluh, yang terbuat dari sepiring nasi sisa semalam. Berbumbu cabai, bawang, garam dan sepotong terasi, sebelum bekerja merawat kebun yang ditanami cabai, tomat, kacang-panjang, dan sawi.

Lahan yang dipeliharanya tak terlalu luas, sekitar 300 m. Segera setelah selesai berkebun, ia meneruskan dengan pekerjaan acian dan perapihan dinding. Rumah villa yang konon akan digunakan oleh sang pemilik dan keluarganya yang serba tambun.

Dan sang penjagapun akan selalu menempati saung berdinding bilah-bilah bambu bercelah-celah tembus cahaya di sela anyamannya sehingga dinginnya malam dan tampias butir-butir air hujan merdeka memasuki ruang tidur beralaskan tikar pandan.

Enam bulan sudah ia bertempat-tinggal di saung bambu yang terletak di sebelah bangunan villa yang seringkali kosong. Selama itu pula penghasilannya dikirimkan ke rumah, dengan diiringi tangis doa setiap malam: "semoga dapat mencukupi kebutuhan rumah-tangga dan biaya sekolah anak-anak". 

Saat ini ia hanya mampu berdoa, tak mampu berkirim kabar kepada istrinya. Dua minggu lalu telepon genggam, satu-satunya barang berharga yang dibawa dari rumah, telah dijualnya untuk menambah uang kiriman kepada istrinya.

Mungkin juga ia sudah lelah,  tiada keberanian berdalih demi menjawab pertanyaan dari istrinya tentang nasib mereka, tentang penghasilan selama suaminya merantau. 

Tak pernah ada jawaban dan harapan yang mampu menenangkan kegelisahan istrinya. Bahkan ia merasakan, bahwa istrinya sudah tidak mempercayainya dan berkeras untuk tidak mengandalkannnya lagi sebagai tiang rumah-tangga. 

Bisa jadi perasaan itu terbangun dari ketidak-berdayaannya untuk memenuhi kewajiban memberikan nafkah yang layak. Ketidak-berdayaan yang membakar semangat hidupnya menjadi layu. 

Sisa semangat hidup yang telah habis digoreng bersama terasi, bisa jadi terbang ikut bersama angin dingin menuju puncak gunung Salak.

Pembelaan diri di hadapan istrinya telah musnah, ia menyerah pasrah. Bahkan ia tidak mampu berkeras diri, ketika ia menanyakann handuk yang tidak ditemukannya di dalam tas ransel. 

Istrinya tetap keras mempertahankan pendapat: "handuk sudah aku masukkan ke dalam tas!". Saat itulah ia sadar, bahwa kepercayaaan istri kepadanya telah hilang.

Hari ini, bertepatan dengan hari Jum'at Kliwon, sang penjaga berniat melakukan ritual, sebuah laku spiritual sebagai katarsis ketika dirasa tiada lagi yang bisa dipertahankan dan dicintai. 

Suatu kegiatan untuk mendekatkan diri kepada alam dan menghambakan cinta sejati kepada Sang Khalik. Tepat tengah malam, ia mandi. Sangat dingin, gelap, dan sendiri. Kaus oblong bekas dipakai tadi siang menjadi handuk pengering badannnya.

Mengenakan sarung dan pakaian terbaik yang dipunyai, ia duduk bersila pada selembar sajadah usang, melakukan olah nafas untuk mengatur irama tubuh dan menghentikan riuh-rendahnya gelombang kekacauan pikiran. Ia berusaha mematikan pikiran, mematikan keinginan keduniaan, membunuh ego agar mampu mencapai ketenangan mutlak. 

Pada satu titik, nafasnya terhenti, untuk memulai proses penutupan sembilan lubang pada tubuhnya agar mulai bekerja, dari bawah sampai atas. Terasa dingin tapi tidak dingin, terlihat putih tapi tidak putih, pasrah, tenang dan damai. 

Dalam kesadaran penuh tak ada suara hujan berderai-derai, tak terdengar suara hempasa angin, desiran daun bambu dan suara apapun yang ditimbulkan alam. Sejatinya senyap.

Ia telah mencapai keheningan mutlak dalam perjalanan atma menuju Sang Sejati. Tak ada pikiran yang bersahut-sahutan gemuruh, tak ada nafsu melompat-lompat, tak ada ego menonjolkan diri, tak ada rasa apapun. Panca-indranya mulai meredup menutup rapat mengantarkan ke alam hening nan damai.

Bahkan raganyapun tak merasakan apa-apa ketika sebuah pohon nangka yang rapuh rebah bersama akarnya meratakan saung bambu dan menghancurkan sebagian dinding villa.

000--- S E L E S A I ---000 

Kampung Gati, Desa Sukaharja, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor

Catatan:

  1. Hawu (bahasa Sunda): tungku perapian bianya terbuat dari tanah liat atau disusun dengan bata, untuk memasak 
  2. Suluh (bahasa Sunda):  kayu bakar; bahan bakar yang diletakkan pada hawu.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun