Lahan yang dipeliharanya tak terlalu luas, sekitar 300 m. Segera setelah selesai berkebun, ia meneruskan dengan pekerjaan acian dan perapihan dinding. Rumah villa yang konon akan digunakan oleh sang pemilik dan keluarganya yang serba tambun.
Dan sang penjagapun akan selalu menempati saung berdinding bilah-bilah bambu bercelah-celah tembus cahaya di sela anyamannya sehingga dinginnya malam dan tampias butir-butir air hujan merdeka memasuki ruang tidur beralaskan tikar pandan.
Enam bulan sudah ia bertempat-tinggal di saung bambu yang terletak di sebelah bangunan villa yang seringkali kosong. Selama itu pula penghasilannya dikirimkan ke rumah, dengan diiringi tangis doa setiap malam: "semoga dapat mencukupi kebutuhan rumah-tangga dan biaya sekolah anak-anak".Â
Saat ini ia hanya mampu berdoa, tak mampu berkirim kabar kepada istrinya. Dua minggu lalu telepon genggam, satu-satunya barang berharga yang dibawa dari rumah, telah dijualnya untuk menambah uang kiriman kepada istrinya.
Mungkin juga ia sudah lelah, Â tiada keberanian berdalih demi menjawab pertanyaan dari istrinya tentang nasib mereka, tentang penghasilan selama suaminya merantau.Â
Tak pernah ada jawaban dan harapan yang mampu menenangkan kegelisahan istrinya. Bahkan ia merasakan, bahwa istrinya sudah tidak mempercayainya dan berkeras untuk tidak mengandalkannnya lagi sebagai tiang rumah-tangga.Â
Bisa jadi perasaan itu terbangun dari ketidak-berdayaannya untuk memenuhi kewajiban memberikan nafkah yang layak. Ketidak-berdayaan yang membakar semangat hidupnya menjadi layu.Â
Sisa semangat hidup yang telah habis digoreng bersama terasi, bisa jadi terbang ikut bersama angin dingin menuju puncak gunung Salak.
Pembelaan diri di hadapan istrinya telah musnah, ia menyerah pasrah. Bahkan ia tidak mampu berkeras diri, ketika ia menanyakann handuk yang tidak ditemukannya di dalam tas ransel.Â
Istrinya tetap keras mempertahankan pendapat: "handuk sudah aku masukkan ke dalam tas!". Saat itulah ia sadar, bahwa kepercayaaan istri kepadanya telah hilang.
Hari ini, bertepatan dengan hari Jum'at Kliwon, sang penjaga berniat melakukan ritual, sebuah laku spiritual sebagai katarsis ketika dirasa tiada lagi yang bisa dipertahankan dan dicintai.Â