Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebatang Coklat Ini Untukmu, Kasih...

23 Agustus 2019   12:59 Diperbarui: 23 Agustus 2019   13:06 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tubuhnya mungil, berkulit tidak terlalu langsat namun halus terawat,  rambut berombak hitam panjang sampai menyentuh pinggangnya yang kecil dan memiliki senyum manis, sehingga membuatku cemburu jika pria-pria lain bisa membuatnya tertawa renyah kecil. Aku tidak pernah merasa bosan berada di dekatnya. Pemalu, cenderung pendiam, karena ia berasal dari kampung yang jauh di pelosok, nyaris memuncaki gunung.

Di balik sifat pendiam, wanita itu memiliki kebiasaan melayani penuh gejolak yang membara. Luar biasa liar menggelora mengimbangi dorongan hatiku yang buas pada malam-malam menggairahkan.

Dalam kehidupan sehari-hari ia wanita sederhana. Melakukan pekerjaan rumah tangga dengan tulus tanpa cela. Tipe wanita yang nrimo tidak hendak menuntut apa-apa. Oleh karenanya aku merasa sayang sekali dengan sifatnya yang tidak meletup-letup, hening seperti telaga pedesaan berair jernih tempat bertumbuh-kembangnya teratai.

Jika ada cukup rejeki, aku senang membelikannya barang-barang kecil seperti benda keperluan wanita. Sekali waktu, ia merasa amat girang ketika aku menyematkan sebuah cincin emas, yang kubeli di pecinan, di jarinya yang lentik. Wajahnya memancarkan cahaya, memendarkan cinta yang tak bisa disembunyikannya. Serasa belahan jiwa yang tak lekang oleh berjalannya waktu.

Sempat mengenyam pendidikan tidak terlalu tinggi, namun tampak cukup cerdas di mataku. Wanita ini selalu menyimak segala yang kubicarakan saat senggang dengan penuh kesabaran. Aku sering berkisah secara meledak-ledak emosional menumpahkan segala kekesalan. Entah mengerti atau tidak, dengan bola mata berbinar ia selalu mendengar obrolanku tentang berbagai hal. Ia selalu mendengarkan ceritaku.

Termasuk rasa sesal yang tidak berkesudahan tentang peristiwa kecerobohan yang dilakukan seorang staf pada pekerjaan yang baru lalu.

Sebelumnya aku bekerja di sebuah perusahaan kelas menengah, yang sebagian besar pendapatannya berasal dari pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Kebanyakan proyek dari pemerintah daerah setempat. Aku menempati posisi strategis, E-Procurement Division Head. Umumnya pekerjaan diperoleh dari hasil pemenangan pekerjaan dari lelang elektronik atau melalu internet. Setelah lelang ditayangkan pada situs lelang pengadaan barang dan jasa secara elektronik (LPSE) pada Pemerintah Daerah setempat, maka sesuai syarat-syarat yang ditentukan dalam dokumen lelang dilakukan penyusunan dokumen penawaran  terdiri dari: data administrasi, data teknis dan data penawaran harga.

Itu kalau menempuh jalur biasa. Peluang untuk menang sangat kecil, masih bisa kalah oleh pesaing lain, dengan kata lain: KALAH! Pimpinan perusahaan melakukan negosiasi dengan oknum pejabat Dinas terkait dan panitia pengadaan barang dan jasa.

Sedemikian rupa sehingga sebelum Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS), sebagai dasar penyusunan Dokumen Lelang, diserahkan ke panitia lelang, maka terlebih dahulu dilakukan penyesuaian agar perusahaan kami bisa memenuhi syarat. Juga agar perusahaan pesaing lainnya sulit memenuhi syarat-syarat tersebut dalam waktu cepat. Tentu saja penyesuaian dimaksud dilakukan di kantor kami, secara rahasia dan senyap. Karena ini termasuk salah satu kecurangan yang wajib kami lakukan agar memperoleh proyek tersebut.

Biasanya aku akan menyesuaikan dengan kelengkapan dokumen yang kira-kira tidak dimiliki perusahaan lain untuk data administrasi. Untuk data teknis, misalnya, akan diadakan surat dukungan yang sulit didapat atau setidaknya butuh waktu lebih dari seminggu untuk mendapatkannya bagi pihak lain.

Dengan cara itu, dokumen penawaran kami sudah cocok dengan dokumen lelang terlebih dahulu. Perusahaan telah menyediakan anggaran untuk memuluskan strategi itu, yakni commitment fee kepada oknum pejabat Dinas dan panitia lelang.

Suatu ketika Pemimpin Perusahaan berkeinginan mendapatkan proyek dengan nilai terbesar dalam sejarahnya sebagai pengusaha, hampir 10 miliar Rupiah. Setelah commitment fee disepakati, maka RKS diterima agar kemudian dirubah sesuai keinginan perusahaan. Merubah sertifikat ISO, Sertifikat Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3), susunan serta jumlah personalia (tenaga ahli dan tenaga) teknis yang diperlukan dalam pekerjaan, alat-alat yang dibutuhkan berserta surat dukungannya dan lain-lain yang sekiranya menyulitkan pihak lawan. Kelak menjadi kunci-an penentu kemenangan penawaran kami.

Singkat cerita, dokumen lelang berdasarkan RKS yang telah disesuaikan dengan kehendak perusahaan ditayangkan pada portal. Ada waktu seminggu untuk melakukan penyusunan dokumen penawaran, yang notabene telah  Tinggal perapihan dan pemeriksaan kelengkapannya, tinggal mengunggah ke portal LPSE Pemda setempat. Berbeda dengan pesaing yang baru mulai mencari bahan dan menjadikannya suatu dokumen yang tersusun rapi.

Percaya diri aku meyakinkan pimpinan bahwa proyek tersebut pasti di tangan, mengingat segala kunci-an telah dipenuhi. Telah dilakukan pengecekan dan re-check.

Waktu itu, pada pukul 8 pagi lewat beberapa belas menit aku menelpon staff yang melakukan pemasukan penawaran. Tidak diangkat. Barangkali tertidur. Setengah jam kemudian aku menelpon kembali, diangkat. Ternyata baru bangun dari mimpi.

"Sudah di-upload?"

"Khan terakhir pemasukan penawaran baru besok jam 8 pagi. Sekarang baru hari minggu, Pak...!"

Jantung serasa lepas dari dadaku, aku menyahut dengan nada semakin melengking:

"Hah.......??? Menurut jadwal lelang, harusnya sekarang tanggal 15 jam 8 tepat adalah pemasukan dokumen penawaran terakhir. Terlambat dong untuk mengunggahnya...!!#$&@?"

Aku menarik nafas panjang, lelah, mengingat kejadian yang membuatku mengundurkan diri dari perusahaan konstruksi itu. Wanita itu mendengarkan kisah keterpurukan itu, berusaha memahami berbagai kesulitan setelah mengalami hal yang menciutkan nyali ku. Kakiku dipijatnya, ringan, lembut dan hangat seperti hendak menyalurkan empati . Hati berdesir senang.

Sejenak aku merasa lepas lega setelah menumpahkan kesah terpendam.   Sedemikian merasa senang akupun menawarkan sebatang coklat yang selalu  aku simpan di kulkas.

Sebatang coklat setelah dikupas dari bungkusnya, aku gigit kemudian aku sodorkan ke bibir mungilnya, demikian sampai coklat habis sehingga kami dapat berpagutan saling membersihkan bibir. Pada malam itulah ia untuk pertama kalinya mengenal laki-laki secara utuh dan telanjang. Bersatu dalam peluh, lenguh dan kenikmatan yang tidak ingin ditinggalkan.  Berulang kami menumpahkan naluri berkembang-biak memecah keheningan malam.

Coklat merupakan kesukaan istri bahkan sejak masa pacaran, lalu menjadi ritual wajib semenjak malam pengantin. Namun ketidak-berdayaanku sebagai tulang punggung rumah tangga menjadikan istriku semakin lekat dengan kariernya. Demikian sibuk sehingga menyebabkan seringnya pulang malam.

Aku segera meninggalkan kamar penuh kehangatan itu menuju ruang peraduanku yang licin, terlantar, dingin, terlelap lelah, sendiri.

Setelah merapikan tempat tidur yang kusut masai bak kapal kalah perang, Kasih seperti biasa bersiap-siap membukakan pintu bagi istriku yang sebentar lagi pulang. 


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun