Semestinya pria akan salah tingkah atau merasa seolah menari payung ketika sedang menggandeng mesra tangan sang kekasih, tiba-tiba berpapasan dengan ibu kandung anaknya, yang juga didampingi pria pujaan hatinya di suatu acara resepsi. Kemudian terjadi saling tegur-sapa dan pelukan, tiada rasa canggung dan kehendak untuk saling menghindar satu sama lainnya.
Kendati masing-masing pihak memiliki status jelas, sebagai janda dan duda, setelah lebih dari lima belas tahun mengarungi bahtera rumah-tangga, namun pertemuan tersebut biasanya akan menorehkan ketidak-nyamanan.. Namun sebaliknya, itu menjadi semacam momentum pernyataan tentang pilihan hidup masing-masing, setelah hampir dua tahun mereka secara resmi berpisah.
Lalu bagaimanakah mengelola kehidupan yang positif pasca percerain?
PERCERAIAN YANG TRAUMATIK
Tak ada seorangpun berpikir tentang perpisahan saat berlangsungnya pernikahan yang sakral, yang diwarnai suasana kebahagiaan mengharukan, dipenuhi ujaran-ujaran dan do'a terbaik dari semua orang bagi kelanggengan mahligai rumah-tangga kedua mempelai. Semua orang turut menikmati kemeriahan perayaan, bak sebuah festival pengarakan raja dan ratu baru untuk mengarungi alunan riak-riak, maupun naik turunnya gelombang badai, samudera kehidupan. Ada yang bersusah-payah mencapai benua cinta yang abadi, tidak sedikit juga yang hanyut tersapu, tergulung, tenggelam dan terperangkap dalam ganasnya ombak permasalahan kehidupan berkeluarga.
Perceraian menjadi simbol runtuhnya pengendalian bahtera rumah-tangga. Dalih yang mendasari kasus-kasus perceraian sangatlah beragam, diantaranya: ihwal ekonomi; ketidak-cocokan persepsi; ketidakpuasan kepada pasangan; buntunya jalur komunikasi; dan hilangnya rasa saling mempercayai di antara pasangan. Menurut hemat penulis, pokok persoalan terletak pada buruknya komunikasi yang berakibat pada hilangnya saling mempercayai.
Pada akhirnya, dampak terburuk adalah hubungan personal dan kekeluargaan, terutama anak sebagai korban perceraian. Telah banyak contoh dampak perceraian yang diulas, yang semuanya menggambarkan trauma pasca perceraian. Penulis membatasi ulasan pada trauma yang terjadi pada pasangan yang telah bercerai.
Yang umum adalah hilangnya hubungan baik antar manusian, ditandai oleh munculnya perseteruan, persaingan, dan upaya saling menjelekkan di antara mantan pasangan. Paling parah jika terjadi permusuhan antar keluarga. Dalam perkembangan berikutnya, para pihak akan sangat berhati-hati dalam memilih pasangan pengganti, lengkap dengan segala kriteria-kriteria yang rumit dengan harapan akan mendapatkan "pangeran atau putri impian" sempurna yang dalam kenyataannya mustahil ada. Kemustahilan itu akan semakin memperkeras rasa amarah kepada mantan suami/istri. Siapakah yang merugi? Ya mereka sendiri beserta anak-anak dan keluarganya!
MENGENDALIKAN DAMPAK PERCERAIAN
Prioritas pertama mengatasi permasalahan rumah-tangga adalah dengan mencari solusi agar kembali harmonis. Jika perceraian adalah satu-satunya jalan akhir penyelesaian dari buruknya hubungan pernikahan, maka prosesnya hendaknya dilakukan dengan tujuan membangun kedamaian di atara kedua pihak. Hal ini berdasarkan kenyataan, bahwa pada saat awal terjadinya pernikahan dilaksanakan dengan penuh spirit untuk membangun kebaikan. Oleh karenanya, pengakhiran pernikahan mestinya diletakkan pada azas yang juga akan membangun kebaikan bagi para pelaku beserta turutannya. Memang tidak semudah itu, karena kebanyakan perceraian akan dipenuhi rasa amarah, kebencian, dan dendam. Namun manakala watak tidak baik itu bisa dikendalikan, penulis berpendapat bahwa dampak traumatik perceraian bisa dikendalikan.
Sehubungan dengan hal di atas, penulis menyampaikan beberapa sumbang-saran sebagai berikut: