Bagi faskes yang baru ingin bekerjasama dengan BPJS, disarankan untuk berkoordinasi dahulu dengan kantor BPJS setempat untuk mendapatkan data populasi kapitasi di wilayah tepat faskes itu berada, kemudian baru memutuskan untuk bergabung atau tidak.
Kelemahan sistem kapitasi yang diberlakukan untuk layanan primer saat ini memiliki kelemahan yang sangat besar yang berpotensi menggerus anggaran yang tersedia di BPJS.
Sistem kapitasi membuat profit yang didapatkan oleh faskes layanan primer akan sangat tergantung pada sisa biaya kapitasi yang diberikan. Bagaimana agar bisa profit? Seefisien mungkin dalam pemberian obat dan mengurangi jumlah kunjungan.
Akibat yang terjadi adalah, bila anggaran kapitasi sudah mulai menipis, ada kecenderungan terjadinya Moral Hazard. Untuk menghemat biaya kapitasi, layanan primer cenderung mengirimkan pasiennya ke rumah sakit. Sedikit saja indikasi untuk ditangani dokter spesialis, maka pasien akan dikirimkan ke RS.
Akibat yang terjadi adalah RS kewalahan menangani pasien BPJS. RSCM melayani hampir 2200 pasien per hari, RS Fatmawati hampir 1500 pasien per hari, RS Kanker Dharmais lebih dari 1000 pasien per hari, begitu juga dengan RS lain di Jakarta. Inilah yang terjadi bila sistem rujukan tidak berjalan sebagaimana meskinya.
Siapa yang lebih parah menanggung biaya keseluruhannya? BPJS, yang notabene sebagian besar diambil dari anggaran APBN.
Perlu diingat bahwa di negara maju yang memberlakukan sistem pembiayaan yang sama dengan JKN, 65% keluhan pasien sudah bisa ditangani di faskes layanan primer. Bagaimana caranya? Ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan untuk diterapkan di Indonesia dalam rangka menekan jumlah kunjungan di RS (yang merupakan porsi terbesar penyebab tergerusnya anggaran BPJS) :
- Pemberian Insentif yang layak, adil dan transparan,
Upgrading skill dokter layanan primer,
Sistem reward dan punishment untuk kelayakan rujukan ke RS.
Berbicara tentang RS. Bagi pihak RS, khususnya tenaga medis RS, membludaknya jumlah pasien yang datang berobat jelas menambah overload beban kerja yang dapat berakibat pada penurunan mutu layanan. Bagi masyarakat, panjangnya antrian jelas membuat tidak nyaman. Di beberapa RS bahkan bisa berebut nomor antrian sejak jam 2 pagi, hingga menciptakan lapangan kerja baru yaitu : "Joki antrian BPJS".
Beban pelayanan Hal ini diperparah dengan masih enggannya RS swasta di Jakarta untuk turut bekerjasama dengan BPJS. RS Swasta enggan bergabung karena kecilnya tarif yang diberlakukan BPJS dengan sistem tarif INA-CBGs. Tarif BPJS jelas tidak dapat menutupi biaya operasional mereka. RS pemerintah mungkin masih mendapat keringanan karena mendapat bantuan dana operasional dari pemerintah seperti beban gaji PNS, dll. Bagaimana dengan nasib RS Swasta?