Penghapusan skripsi sebagai salah satu syarat menyelesaikan program perkuliahan S1 yang di cetuskan menteri pendidikan menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat.
Menjadi perbincangan hangat dikalangan masyarakat bagaimana selanjutnya jika skripsi di hapuskan tentunya akan berdampak bagi kualitas lulusan.
Selama ini skripsi diakui dikalangan akademisi sebagai sebuah wadah untuk mengukur kemampuan setiap mahasiswa baik kemampuan berfikir kritis, kemampuan penelitian dan pemecahan masalah dalam setiap persoalan di berbagai lingkungan kehidupan.
Namun ada juga sebagian yang menyalah gunakan kebijakan Skripsi ini sehingga memunculkan berbagai mafia yang mencari keuntungan dari kesulitan mahasiswa dalam menyusun skripsi sebagai tugas akhirnya.
Hal ini pulalah yang menjadi landasan kajian dimana kementerian pendidikan ingin mengadakan perubahan yang sudah cukup lama dilakukan dalam dunia perkuliahan.
Kebijakan ini menjadi angin segar bagi mahasiswa  tentunya skripsi yang menjadi momok menakutkan bagi sebagian mahasiswa akan hilang menjadi suatu syarat kelulusan.
Persoalan dihapuskannya skripsi dimulai dari pidato menteri pendidikan Nadiem Makarim dan kemudian membuat sebuah peraturan dihapuskannya skripsi sejak 16 Agustus 2023 dan telah di catat dalam peraturan perundang-undangan.
Tentunya di satu sisi ini sejalan dengan merdeka belajar yang memberikan keleluasaan bagi mahasiswa untuk menempuh pendidikan tanpa harus mengalami kesulitan dalam menyusun tugas akhir bernama skripsi.
Pemerintah melalui pidato menteri pendidikan lebih mengedepankan kualitas lulusan yang memiliki kompetensi yang bermanfaat langsung saat selesai perkuliahan.
Hal ini juga berdampak terhadap pendidikan vokasi dimana kiranya menjadikan lulusan mampu bersaing dalam berbagai bidang misalnya dalam dunia kerja secara global.