Mohon tunggu...
Budi M. Samangilailai
Budi M. Samangilailai Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" Yogyakarta

saya Budi Samangilailai mahasiswa Ilmu komunikasi Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa"APMD" Yogyakarta, saya suka berinteraksi dengan orang baru dan lingkungan baru, saya suka membaca dan menulis . saat ini saya sedang menyelesaikan tugas akhir jenjang sarjana di Program Studi Ilmu Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penghapusan Presidential Threshold, Langkah Menuju Demokrasi Yang Lebih Adil?

15 Januari 2025   07:26 Diperbarui: 17 Januari 2025   07:27 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Mahkamah Konstitusi Kabulkan Gugatan Presiden Threshold 4 Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sumber: Sindo News.Com


Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden telah menjadi salah satu isu kontroversial dalam sistem politik Indonesia. Dalam Undang-Undang Pemilu, presidential threshold mensyaratkan bahwa partai politik atau gabungan partai harus memiliki minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif sebelumnya untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Namun, aturan ini telah menuai kritik dari berbagai kalangan karena dinilai membatasi peluang demokrasi yang sejati.

Apa itu Presidential Threshold?

Presidential threshold pertama kali diterapkan di Indonesia pada Pemilu 2004 sebesar 15% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dengan tujuan menyaring jumlah calon presiden agar tidak terlalu banyak, mencegah fragmentasi suara dan memperkuat stabilitas politik. Hal ini diharapkan dapat mengurangi polarisasi politik dan mempermudah masyarakat dalam menentukan pilihan. Pada pemilu 2009 Ambang batas pencalonan presiden dinaikkan menjadi 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Kebijakan ini menuai kritik dari partai kecil yang merasa dibatasi dalam mengusung calon presiden. Partai oposisi sering kali menyebut aturan ini sebagai "strategi politik" untuk memonopoli kekuasaan oleh partai penguasa. Selanjutnya, pada pemilu 2014 dan 2019 Ambang batas tetap dipertahankan di angka yang sama. Perdebatan di parlemen menjadi lebih sengit, terutama antara partai besar yang mendukung aturan ini dan partai kecil yang menentangnya. Partai-partai kecil berargumen bahwa aturan ini membatasi hak demokrasi mereka untuk berpartisipasi penuh dalam pemilihan presiden. Namun, dengan berjalannya waktu, banyak pihak menilai aturan ini justru menjadi hambatan bagi demokrasi yang lebih inklusif. Aturan ini dianggap memberi keuntungan kepada partai besar dan menyulitkan partai kecil atau calon independen untuk bersaing. Ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold telah menjadi subjek gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak 36 kali.

Gugatan-gugatan ini diajukan oleh berbagai pihak, termasuk partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil, yang menilai bahwa ketentuan ambang batas tersebut membatasi hak konstitusional dan prinsip demokrasi. Setelah melalui berbagai proses hukum, pada 2 Januari 2025, MK memutuskan untuk menghapus ketentuan ambang batas 20% sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.Putusan ini diharapkan membuka peluang bagi lebih banyak calon dalam kontestasi pemilihan presiden, sehingga memperkuat demokrasi di Indonesia.

Gugatan oleh Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Upaya untuk menghapus presidential threshold tidak hanya menjadi wacana politik, tetapi juga telah diajukan ke ranah hukum. Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan presidential threshold. Mereka berpendapat bahwa ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan prinsip demokrasi yang diatur dalam konstitusi.

Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta berhasil mencapai kemenangan dalam gugatan mereka terhadap ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang tercantum dalam Undang-Undang Pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang mengabulkan sebagian besar permohonan yang diajukan oleh kelompok mahasiswa tersebut, dengan keputusan yang akan membuka peluang lebih besar bagi calon presiden yang tidak didukung oleh partai besar.

Dalam gugatan mereka, mahasiswa tersebut menyoroti bahwa presidential threshold membatasi hak rakyat untuk mendapatkan pilihan calon pemimpin yang lebih beragam. Mereka juga menegaskan bahwa aturan ini hanya menguntungkan elit politik tertentu, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam sistem pemilu. Gugatan ini mencerminkan semangat generasi muda untuk memperjuangkan demokrasi yang lebih inklusif dan adil.

Keberhasilan ini disambut dengan antusias oleh berbagai kelompok masyarakat, terutama kalangan mahasiswa dan aktivis politik, yang melihatnya sebagai langkah maju dalam memperkuat demokrasi di Indonesia. Para pendukung gugatan ini berpendapat bahwa ambang batas pencalonan presiden yang tinggi telah menciptakan ketidaksetaraan dan membatasi pilihan politik yang ada di tengah masyarakat.Namun, di sisi lain, sejumlah partai politik besar yang sebelumnya mendukung ketentuan ambang batas pencalonan presiden menyatakan kekhawatiran mereka terhadap keputusan ini. Mereka berpendapat bahwa penghapusan ambang batas dapat memicu ketidakstabilan politik dengan memungkinkan banyaknya calon yang tidak memiliki dukungan yang cukup luas. Terlepas dari pro dan kontra yang ada, keputusan MK ini dianggap sebagai terobosan dalam menciptakan sistem pemilu yang lebih terbuka dan inklusif. Namun, di balik kemenangan ini, terdapat berbagai tantangan yang harus dihadapi dalam penerapan keputusan tersebut.

Tantangan Penghapusan Presidential Threshold

Meski memiliki banyak kelebihan, penghapusan ambang batas juga memiliki tantangan.

Pertama, Salah satu tantangan yang paling mencolok adalah kemungkinan bertambahnya jumlah calon presiden pada pemilihan umum mendatang. Sebelumnya, ambang batas pencalonan presiden berfungsi untuk membatasi calon yang bisa maju, dengan tujuan agar tidak ada banyak calon yang tidak memiliki basis dukungan yang kuat. Tanpa adanya presidential threshold, setiap individu atau kelompok dengan cukup dukungan bisa mencalonkan diri. Hal ini dapat menyebabkan kompetisi yang lebih ketat dan membuat pemilu lebih terbuka, tetapi juga berisiko memperumit proses pemilihan. Dengan meningkatnya jumlah calon, bisa terjadi fragmentasi suara yang lebih besar. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian politik, di mana calon-calon presiden dengan dukungan yang lebih kecil akan bertarung memperebutkan suara yang lebih tersebar. Potensi terjadinya pemilihan putaran kedua atau hasil yang sangat tidak terduga menjadi semakin besar, yang dapat menambah ketegangan dalam proses politik.

Kedua, Partai politik besar yang selama ini terbiasa dengan adanya ambang batas pencalonan presiden mungkin akan merasa terancam dengan keputusan ini. Tanpa adanya presidential threshold, partai-partai besar tidak lagi memiliki kontrol penuh atas pencalonan calon presiden. Dalam sistem yang baru, calon presiden dari partai kecil atau bahkan individu yang tidak berafiliasi dengan partai bisa maju dengan dukungan yang lebih luas dari masyarakat. Hal ini bisa mengarah pada ketidakstabilan politik, di mana partai-partai besar yang sebelumnya memiliki dominasi dalam pemenangan pemilu mungkin harus berhadapan dengan lebih banyak pesaing. Keputusan ini menuntut mereka untuk lebih inovatif dan menyesuaikan strategi mereka agar tetap relevan di tengah persaingan yang lebih terbuka.

Ketiga, Salah satu sisi positif dari penghapusan presidential threshold adalah terbukanya peluang bagi calon independen untuk maju dalam pemilu presiden. Sebelumnya, calon independen yang tidak didukung oleh partai politik besar sangat kesulitan untuk memenuhi persyaratan ambang batas pencalonan. Dengan penghapusan ambang batas ini, mereka yang memiliki visi dan dukungan dari masyarakat bisa lebih leluasa untuk mencalonkan diri, memberikan pilihan yang lebih beragam bagi pemilih. Namun, tantangan besar bagi calon independen adalah bagaimana mereka bisa mengumpulkan dukungan yang cukup besar untuk memenangkan pemilu. Tanpa dukungan struktural dari partai politik, mereka akan menghadapi kesulitan dalam membangun jaringan yang luas dan memastikan keterlibatan pemilih di seluruh Indonesia.

Keempat, Penghapusan presidential threshold juga dapat mempengaruhi stabilitas koalisi antar partai politik. Sebelumnya, ambang batas ini mendorong partai-partai kecil untuk bergabung dalam koalisi agar dapat mencalonkan calon presiden. Tanpa adanya ambang batas, kemungkinan terbentuknya lebih banyak koalisi atau bahkan calon independen dapat memecah belah kekuatan partai yang sudah ada. Koalisi yang lebih rapuh dapat mengarah pada ketidakstabilan dalam pemerintahan, terutama jika tidak ada calon yang mendapatkan dukungan mayoritas. Hal ini berisiko memperburuk dinamika politik di Indonesia, di mana pemerintah bisa lebih sulit dibentuk setelah pemilu.

Kelima, Dengan dihapuskannya presidential threshold, strategi kampanye juga akan berubah drastis. Partai-partai besar harus mempertimbangkan untuk berkoalisi dengan partai-partai kecil atau bahkan mendukung calon independen yang populer di masyarakat, yang sebelumnya tidak bisa ikut berkompetisi. Hal ini mengharuskan adanya penyesuaian dalam cara-cara penggalangan suara, terutama dalam menargetkan pemilih di berbagai daerah yang lebih luas.

Demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak. Dengan menghapus presidential threshold, sistem politik Indonesia menjadi lebih inklusif dan adil.

Penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold oleh Mahkamah Konstitusi merupakan langkah signifikan dalam memperkuat demokrasi di Indonesia. Keputusan ini membuka peluang lebih besar bagi setiap warga negara, terutama calon independen dan kelompok politik kecil, untuk berpartisipasi dalam pemilu presiden. Penghapusan presidential threshold adalah terobosan penting menuju demokrasi yang lebih adil dan inklusif di Indonesia. Meski menghadapi berbagai tantangan, perubahan ini dapat memberikan ruang bagi pemimpin-pemimpin baru dan meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Dalam sebuah demokrasi yang sehat, setiap suara memiliki hak yang sama, dan setiap individu memiliki peluang yang setara untuk memimpin. Oleh karena itu, wacana ini perlu dipertimbangkan dengan matang sebagai bagian dari reformasi politik yang lebih besar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun