Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden telah menjadi salah satu isu kontroversial dalam sistem politik Indonesia. Dalam Undang-Undang Pemilu, presidential threshold mensyaratkan bahwa partai politik atau gabungan partai harus memiliki minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif sebelumnya untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Namun, aturan ini telah menuai kritik dari berbagai kalangan karena dinilai membatasi peluang demokrasi yang sejati.
Apa itu Presidential Threshold?
Presidential threshold pertama kali diterapkan di Indonesia pada Pemilu 2004 sebesar 15% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dengan tujuan menyaring jumlah calon presiden agar tidak terlalu banyak, mencegah fragmentasi suara dan memperkuat stabilitas politik. Hal ini diharapkan dapat mengurangi polarisasi politik dan mempermudah masyarakat dalam menentukan pilihan. Pada pemilu 2009 Ambang batas pencalonan presiden dinaikkan menjadi 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Kebijakan ini menuai kritik dari partai kecil yang merasa dibatasi dalam mengusung calon presiden. Partai oposisi sering kali menyebut aturan ini sebagai "strategi politik" untuk memonopoli kekuasaan oleh partai penguasa. Selanjutnya, pada pemilu 2014 dan 2019 Ambang batas tetap dipertahankan di angka yang sama. Perdebatan di parlemen menjadi lebih sengit, terutama antara partai besar yang mendukung aturan ini dan partai kecil yang menentangnya. Partai-partai kecil berargumen bahwa aturan ini membatasi hak demokrasi mereka untuk berpartisipasi penuh dalam pemilihan presiden. Namun, dengan berjalannya waktu, banyak pihak menilai aturan ini justru menjadi hambatan bagi demokrasi yang lebih inklusif. Aturan ini dianggap memberi keuntungan kepada partai besar dan menyulitkan partai kecil atau calon independen untuk bersaing. Ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold telah menjadi subjek gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak 36 kali.
Gugatan-gugatan ini diajukan oleh berbagai pihak, termasuk partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil, yang menilai bahwa ketentuan ambang batas tersebut membatasi hak konstitusional dan prinsip demokrasi. Setelah melalui berbagai proses hukum, pada 2 Januari 2025, MK memutuskan untuk menghapus ketentuan ambang batas 20% sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.Putusan ini diharapkan membuka peluang bagi lebih banyak calon dalam kontestasi pemilihan presiden, sehingga memperkuat demokrasi di Indonesia.
Gugatan oleh Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Upaya untuk menghapus presidential threshold tidak hanya menjadi wacana politik, tetapi juga telah diajukan ke ranah hukum. Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan presidential threshold. Mereka berpendapat bahwa ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan prinsip demokrasi yang diatur dalam konstitusi.
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta berhasil mencapai kemenangan dalam gugatan mereka terhadap ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang tercantum dalam Undang-Undang Pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang mengabulkan sebagian besar permohonan yang diajukan oleh kelompok mahasiswa tersebut, dengan keputusan yang akan membuka peluang lebih besar bagi calon presiden yang tidak didukung oleh partai besar.
Dalam gugatan mereka, mahasiswa tersebut menyoroti bahwa presidential threshold membatasi hak rakyat untuk mendapatkan pilihan calon pemimpin yang lebih beragam. Mereka juga menegaskan bahwa aturan ini hanya menguntungkan elit politik tertentu, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam sistem pemilu. Gugatan ini mencerminkan semangat generasi muda untuk memperjuangkan demokrasi yang lebih inklusif dan adil.
Keberhasilan ini disambut dengan antusias oleh berbagai kelompok masyarakat, terutama kalangan mahasiswa dan aktivis politik, yang melihatnya sebagai langkah maju dalam memperkuat demokrasi di Indonesia. Para pendukung gugatan ini berpendapat bahwa ambang batas pencalonan presiden yang tinggi telah menciptakan ketidaksetaraan dan membatasi pilihan politik yang ada di tengah masyarakat.Namun, di sisi lain, sejumlah partai politik besar yang sebelumnya mendukung ketentuan ambang batas pencalonan presiden menyatakan kekhawatiran mereka terhadap keputusan ini. Mereka berpendapat bahwa penghapusan ambang batas dapat memicu ketidakstabilan politik dengan memungkinkan banyaknya calon yang tidak memiliki dukungan yang cukup luas. Terlepas dari pro dan kontra yang ada, keputusan MK ini dianggap sebagai terobosan dalam menciptakan sistem pemilu yang lebih terbuka dan inklusif. Namun, di balik kemenangan ini, terdapat berbagai tantangan yang harus dihadapi dalam penerapan keputusan tersebut.