Ada 8 daerah kabupaten dan kota di Lampung yang menyelenggarakan Pilkada. Dari 8 daerah itu pilkada Lampung menarik dengan kekalahan 3 pertahana dan kemenangan 1 pertahana. Ada juga calon bupati yang bepindah menjadi walikota. Ada pula dua anggota DPR yang bertarung dan bertaruh jabatan kursi empuk DPR. Yang paling fenomenal adalah kemenangan wanita pertama dalam pilkada di daerah berbasis santri dan transmigran Jawa. Fenomena yang menarik dari Lampung adalah masih adanya politik ethnis dan pilkada membawa angin segar dengan tumbangnya pertahana yang berarti pemilih semakin rasional.
Masih adanya sentiment ethnic
Pilkada kali ini berbeda dengan pilkada sebelumnya dilihat dari monopoli KPU dalam pemasangan alat peraga kempanye termasuk iklan di media. Akibatnya pilkada terkesan sepi dari spanduk dan baliho. Namun, ada dampak positif yakni berkurangnya kontestasi modal dalam pilkada.Â
Salah satu dampak dari suasana kempanye yang sepi ini adalah pengenalan pemilih terhadap calon dipaksa dilihat dari sisi lain diluar kekuatan modal. Dan sebagai daerah yang multi etnis, Lampung kemudian menjadi seksi bagi tim kempanye untuk memainkan isu etnis. Hal ini kemudian dapat dibuktikan dengan kekalahan Abdul Hakim, mantan anggota DPR RI dari PKS di Kota Metro.Â
Abdul Hakim adalah sosok non Jawa yang oleh partainya ditugaskan bersaing di Kota Metro yang mayoritas transmigran asal Jawa. Kekalahan Abdul Hakim bisa dikatakan karena faktor ethnis. Basis Abdul Hakim bukanlah di Metro tetapi di Bandar Lampung. Dia sempat berpartisipasi di pilkada tahun 2005 di Bandar Lampung dan memenangi putaran pertama namun kemudian kalah di putaran kedua.
Abdul Hakim dikalahkan Pairin, bupati Lampung Tengah yang kemudian pindah mencalonkan diri ke kota Metro. Pairin dianggap lebih Jawa dan mengenal kota Metro (dulu Metro ibukota Lampung Tengah) ketimbang Abdul Hakim yang lebih banyak berdomisili di Jakarta. Kesan ketidaktahuan Abdul Hakim akan kondisi Metro terlihat dari terungkapnya visi misi Abdul Hakim yang jiplakan visi misi Ridwan Kamil di Bandung oleh elemen masyarakat sipil kota Metro.
Evaluasi Pemilih Terhadap Pertahana
Salah satu berita baik bagi demokrasi di Lampung adalah semakin rasionalnya pemilih dalam pilkada kali ini. Pilkada adalah penghakiman yang setimpal bagi incumbent yang gagal dan tidak melakukan prestasi dalam pemerintahannya. Kekalahan Ryco Mendoza di Lampung Selatan, Arisandi di Pesawaran dan Bustami di Way Kanan adalah bukti bahwa kepala daerah yang gagal dalam pembangunan akan tidak dipilih kembali oleh masyaratnya.
Ryco Mendoza duduk di kursi bupati Lamsel tidak lepas dari peran ayahnya gubernur Lampung saat itu, Syahroedin. Ryco yang sempat berpekara di MK dalam kasus suap Akil Mohtar dilalahkan oleh Zainudin Hasan yang merupakan adik kandung Zulkifli Hasan ketua PAN dan ketua MPR yang ia kalahkan di pilkada sebelumnya yang berujung di pengadilan MK. Ryco kehilangan citra positifnya ketika ia membangun patung kakeknya, gubernur Lampung pertama di kota Kalianda dengan menghabiskan dana APBD milyaran rupiah. Masyarakat pun protes dan membakar dan merubuhkan patung itu. Ingatan akan persitiwa ini masih kuat di masyarakat ditambah dengan minimnya pembangunan infrastruktur yang memadai di daerah ini.
Kegagalan pertahana di Pesawaran dan Way Kanan umumnya karena ketidak berhasilan mereka menghadirkan negara dalam pembangunanan infrastruktur. Hal yang berbeda di kota Bandar Lampung. Herman HN walikota  pertahana mampu menghadirkan pembangunan yang kelihatan yakni infrastruktur seperti jalan layang. Hal ini yang kemudian membuat dia menang mutlak selain karena memang tidak ada calon yang sepadan akibat aksi borong partai yang dia lakukan.
Munculnya Wanita Muda Menjadi Bupati
Sosok baru yang muncul dari pilkada kali ini adanya kejutan pilkada dengan muncul sosok Chusnunia sebagai bupati perempuan muda pertama di Lampung. Chusnunia sosok yang dianggap kuda hitam di tengah pertarungan ketat incumbent Erwin dan Yusran. Banyak pengamat yang tidak memprediksi kemenangan Chusnunia karena dia memang bukan orang yang tinggal di Lamtim. Ia hanya memiliki darah keturunan Kiai NU. Chusnunia yang juga mempertaruhkan jabatan anggota DPR dari PKB ini tidak pernah diprediksi akan menang.
Angin berubah ketika Calon kuat, bupati pertahana Erwin digugurkan KPU karena calon wakil bupatinya, Prio yang meninggal. Termyata Chusnunia mendapat limpahan suara dari suara Erwin yang lebih memilih dia ketimbang Yusron. Bisa dikatakan suara against ternadap Yusron lebih besar ketimbang Chusnunia. Fenomena Chusnunia ini bisa jadi pelajaran bahwa Kuda Hitam bisa jadi menang ketika ada turbulensi politik yang signifikant yang merubah medan pertempuran pilkada seperti kasus meninggalnya Prio Budi Utomo, calon wakil bupati calon pertahana.
Penutup: Masih Kentalnya Politik Dinasti
Ada berita baik adapula berita buruk dalam pilkada lamoung kali ini. Berita buruknya adalah masih adanya politik dinasti di tubuh partai di politik lokal di Lampung. Ada 4 dinasti yang bertarung di pilkada Lampung kali ini. Di Lampung Selatan bertarung Dinasti Zulkifli Hasan melawan Dinasti mantan Gubernur Syahroedin. Di Pesawaran bertarung dinasti mantan bupati Tulang Bawang, Mance melalui anaknya bupati pertahana Pesawaran, Arisandi melawan dinasti Zulkifli Anwar mantan bupati Lamsel yang juga anggota DPR RI dari partai demokrat, melalui pemenang pilkada Dendy Ramdona.
Politik dinasti di Lampung ditengah semakin rasionalnya pemilih mengindikasikan bahwa permasalahan demokrasi di Lampung sebenarnya ada di parpol ketimbang masyasrakat. untuk itulah bahwa reformasi partai adalah mutlak dilakukan di politik lokal agar lebih demokratis. Semoga kedapnnya demokrasi di Lampung semakin berjaya.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H