Mohon tunggu...
Sophie Love
Sophie Love Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumahtangga

part time wife, full time mum. belajar menulis untuk menjaga keseimbangan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Empat Puluh Hari di Macau

8 April 2015   13:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:22 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman lain adalah membeli frozendimsum. Walaupun sudah memilih dimsum udang, ternyata tetap mengandung babi. Solusinya, setiap keluar rumah, aku selalu membawa bekal, baik untuk diri sendiri, terlebih untuk anak-anak. Sisi baiknya, untuk orang yang terbiasa jajan seperti aku, tinggal di Macau jadi terasa lebih hemat.

7. TOKO BUKU LANGKA


Sebagai seorang kutubuku veteran, toko buku masuk dalam tingkat teratas dalam daftar tempat yang kucari. Dan, seminggu di Macau, aku benar-benar “sakau” mencari bahan bacaan. Walaupun di jaman digital ini, harusnya mudah membaca e-bookdi gadget, buatku harum aroma kertas, tidak bisa terganti. Jadilah aku berburu toko buku. Ternyata, hampir seperti mencari makanan yang halal bagi muslim, toko buku berbahasa Inggris juga tidak mudah ditemukan. Sejauh ini, hanya satu, toko buku Miles di Venetian, yang kulihat menjual buku-buku impor. Koleksinyapun membuatku miris. Tak ada buku-buku sastra yang menjadi kesukaanku. Rak-rak malah didominasi buku-buku tentang judi. Aduh.

Tampaknya, selama tinggal di Macau, aku akan bergantung pada toko buku online untuk memenuhi hasrat membaca. Aku jadi teringat India, dimana toko buku berbahasa Inggris dengan harga relatif murah, tersebar sampai ke pelosok, bahkan di Waidhan, tempatku dulu berdiam.

8. ORANG INDONESIA, PASTI PEMBANTU? “MATEK KOEN!”


Dari sekian banyak hal yang aku sukai dan tampaknya akan bikin betah untuk tinggal di Macau, ada satu yang cukup mengganggu. Aku yang pada dasarnya suka bertemu orang baru, bertukar cerita, atau sekedar tersenyum menyapa, disini kesulitan untuk bersosialisasi. Di apartemen tempat kami menetap, tersedia sarana bermain anak-anak yang cukup lengkap. Aku sering membawa kedua anakku untuk membakar sedikit energi mereka yang berlebih disana, sekalian untuk bertemu anak-anak lain. Selain itu, akupun mengambil kesempatan untuk berkenalan dengan para orangtua yang menemani anak mereka. Sejauh ini, hanya tiga kali usahaku berhasil. Yang pertama, pasangan suami istri Brazil yang memang tampak ramah dan hangat, tidak hanya berkenalan, bahkan mengajak untuk saling berkunjung. Kedua, seorang perempuan Korea berkewarganegaraan Amerika Serikat yang juga baru menetap di Macau dan sedang mencari teman bergaul. Dan yang ketiga, pengasuh anak warga negara Philippine yang sudah menetap dan bekerja di Macau selama tujuh tahun. Perempuan bernama Annie ini belakangan banyak memberiku informasi yang cukup berguna tentang Macau. Mulai dari lokasi taman dan playground, bagaimana memperpanjang visa tinggal dengan biaya miring dan legal, bahkan, dimana berbelanja barang-barang elektronik bekas bermutu bagus, dari orang-orang yang kalah judi.Nah!

Dari perkenalanku dengan Annie, baru kusadari satu hal, mengapa beberapa orangtua tampak enggan untuk berbicara denganku, bahkan hanya untuk membalas senyum. Rupanya mereka beranggapan aku adalah salah satu dari entah berapa ribu pembantu yang dkirim Indonesia setiap tahunnya ke Hong Kong dan Macau.”Snob Chinese”, demikian Annie dengan sedikit rasis menyebut mereka. Aku pikir, penampilanku yang berhijab dan tanpa makeup, ditambah dengan dua balita bertampang bule yang selalu menempel denganku, membuat kesan pembantu itu tak bisa dihindari. Pada dasarnya, aku tak terlalu peduli, bahkan menjadikannya bahan becandaan dengan suamiku. Seperti, pada suatu kesempatan membawa anak-anakku ke kids center, seorang TKW tanpa basa-basi langsung nembak “pembantunya guru Amerika itu ya?”. Waktu kujawab “bukan, ini anak-anak saya”. Spontan si embak berlogat jawa ngapak itu memekik “matek koen!” Dan tidak melanjutkan percakapan. Aku menganggap kejadian tersebut cukup menggelikan. Demikian juga, ketika di tempat yang sama, ada pasangan suami istri begitu terpesona dengan anak-anakku yang katanya very handsome, dan bertanya dimana orangtua mereka. Jawabanku bahwa aku ibunya, tidak cukup memuaskan pasangan itu. Aku harus buka kartu, bahwa ayah mereka Australia. Barulah mereka mafhum, sambil berucap “very strong Australian gene!” Apa maksudnya coba!

Tapi tetap saja, komentar begitu tidak membuatku tersinggung, paling yah sedikit malu hati. Yang membuatku geram, adalah ketika kusadari, di beberapa kejadian, orang gampang sekali memarahi anakku, yang baru berumur 2,5 tahun, kalau dia berulah di tempat umum, karena beranggapan, aku hanya pengasuh atau pembantu, bukan orangtuanya. Beberapa kali, saat aku berada di sebuah toko, anakku ikut memegang barang-barang yang dipajang, pelayan toko menegur kami berdua dengan kasar. Dan ini tidak terjadi, ketika anakku sedang bersama ayahnya. Hal ini membuatku memutuskan, untuk sedikit berdandan, saat sedang keluar rumah. Walaupun tidak mudah, dengan dua batita yang gemar sekali menciumi ibunya, ini pilihan yang jelas lebih sehat, dari pada terus-terusan naik darah dan bertengkar dengan penjaga toko!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun