Mohon tunggu...
Sophie Love
Sophie Love Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumahtangga

part time wife, full time mum. belajar menulis untuk menjaga keseimbangan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Empat Puluh Hari di Macau

8 April 2015   13:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:22 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Walaupun tidak banyak yang aku ketahui tentang Macau, selain merupakan wilayah China yang pernah menjadi koloni Portugis, dan sekarang pusat judi Asia, ajakan suami untuk pindah kesini kusambut dengan semangat. Setelah sebelumnya sempat berdiam di pedalaman India, dimana akses ke bandar udara terdekat saja harus ditempuh dalam waktu kurang lebih 6 jam, dengan lalu lintas yang membuat sport jantung, bayangan Macau dengan gedung-gedung pencakar langitnya, terasa begitu menggoda.

Setelah kurang lebih 40 hari di Macau, beberapa hal menarik perhatianku.

1. MACANESE


Orang-orang Macau, menyebut diri mereka Macanese, khususnya yang keturunan Portugis dan orang-orang beretnis Cina, tapi beragama Katholik, agama mayoritas di Portugal. Uniknya, walaupun hidup berdampingan selama kurang lebih empat abad, jarang sekali terjadi kawin campur antara orang Portugis dan orang Cina. Menurut sejarahnya, zaman dahulu, perempuan China enggan untuk menikah dengan orang asing. Jadi, kalaupun ada yang menikahi lelaki Portugis, kebanyakan dari kelas sosial rendah. Justru, yang secara tidak sengaja kutemui adalah pasangan lelaki Portugis dengan perempuan Indonesia.

2. KIDS FRIENDLY


Untuk ibu dengan dua orang batita yang sangat aktif, banyaknya taman terbuka yang terawat rapi, dilengkapi dengan arena bermain anak-anak, adalah kenyataan yang sangat kusyukuri di Macau. Wilayah Macau yang hanya sekitar 30 an kilo meter persegi, sangat mudah until dijelajahi bahkan dengan berjalan kaki. Giant Panda Pavilion, contohnya, adalah tempat favorit untuk membawa X1 dan X2, dua buah hatiku, berjalan-jalan sore. Pemerintah tampaknya cukup memanjakan anak-anak. Selain taman bermain, kids center yang dilengkapi dengan perpustakaan dan internetpun disediakan gratis. Bahkan, setiap hari Sabtu, seorang perempuan Amerika, yang kebetulan adalah tetangga satu apartemen dengan kami, membuka kelas preschool yang juga gratis,di kids center tersebut. Acara story telling, mewarnai, menari dan menyanyi yang sangat atraktif benar-benar dinikmati oleh sekitar selusinan balita.

3. BELAJAR JUDI SEJAK DINI?


Sebagai pusat judi terbesar di Asia, bahkan mendapat julukan Las Vegasnya Asia, Macau tampaknya mempersiapkan generasi mudanya untuk setidaknya mengenal beragam permainan judi sejak dini. Kutemukan di buku anak-anak, pelajaran angka dengan menggunakan kartu, dan buku tentang berbagai permainan judipun bertebaran di bagian buku anak salah satu toko buku ternama. Bahkan, di toko mainan terbesar, Toys R Us, permainan yang berbau judipun mudah dicari. Apakah ini hanya kebetulan?

4. SURGA MAKANAN IMPOR


Selama di Macau, aku memang belum sempat menjelajah pasar tradisional. Termasuk Red Market, yang menjadi salah satu daerah tujuan wisata. Tapi, karena kebijakan bebas bea masuk, belanja bahan makanan impor di supermarket, menjadi pilihan yang jauh lebih praktis. Dapurpun menjadi melting pot, tempat bertemunya salmon dari Norwegia, kopi dari Kenya, mixed veggiesdari Swedia, Paha ayam dari USA, sayap ayam dari Brazil, susu segar dari New Zealand, Steak dan Buntut sapi dari Australia, Durian dari Malaysia, Beras dari Thailand. Aku sedang mencari tahu, apa yang diimpor dari Indonesia selain pembantu?

5. SERBA TER


Menurut kisahnya, segera setelah Inggris membuka koloni di Hong Kong, pusat bisnispun pindah ke pulau yang bertetangga dengan Macau itu. Macau, yang sudah dikenal sebagai tempat beristirahat, tidak mau kehilangan pundi-pundi emas, melihat celah dengan membuka diri sebagai pusat judi. Segera berbagai rumah judi atau Kasino dibangun, dengan segala macam ter. Ingin menikmati pertunjukkan sirkus terspektakuler? Silakan merogoh kocek cukup dalam untuk melihat air menari di City of Dreams. Atau, jika anda seorang adrenaline junkie tak ada salahnya untuk uji nyali ke Macau Tower yang menyediakan bungee jumping tertinggi di dunia. Melompat dari ketinggian 233m tentu bukan untuk sembarang orang. Koloni terakhir di dunia ini, memang tidak ada habisnya memanjakan pendatang. Baik yang hendak menetap beberapa waktu, atau sekedar melihat-lihat, dalam perjalanan one day tourdari Hong Kong, sambil menyeret-nyeret koper di Senado square.

Dampak samping dari daya tariknya adalah, Macau menjadi daerah dengan tingkat hunian terpadat di dunia. Banyangkan saja, untuk luasnya yang tak lebih dari 30km persegi, jumlah penduduknya 624.000 orang menurut sensus tahun 2014. Untungnya, karena mayoritas bermukim dalam rumah vertikal alias apartemen, Macau tidak terasa sesak.

6. SUSAH MAKANAN HALAL


Sebagai penggemar bebek (maksudnya, untuk dimakan ya!), yang terlintas di benak tentang kuliner Macau adalah Bebek Peking. Yum! Berburu bebekpun menduduki peringkat teratas dalam to do list. Pada kesempatan pertama keluar rumah, dengan shuttle busaku langsung menuju Taipa, daerah yang dikembangkan sebagai Macau baru. Taipa yang gemerlap, memang dipenuhi berbagai pilihan tempat makan. Mulai dari yang kelas warung atau cafe, sampai restoran mewah di hotel-hotelnya. Tapi, sayang seribu sayang, untukku yang muslim, ternyata mencari makanan halal di Macau, bukanlah perkara gampang. Bebek peking yang menjadi incaran pertama, benar-benar membuat hilang selera. Bagaimana tidak, saat sedang mengamati bebek-bebek yang tergantung pasrah menggiurkan di etalase sebuah restoran, mataku tertumbuk pada satu ‘bebek’ di ujung gantungan yang tampak aneh. Dan akupun segera tersadar, kalau ‘bebek’ aneh itu tak lain dan tak bukan adalah babi panggang. Ngacir deh!

Mencoba restoran lain, seperti Portugis dan Irlandia, tidak terlau berbeda. Menu pork selalu ada, dan bahkan di beberapa tempat, menjadi menu utama. Aku jadi teringat beberapa sahabat non-muslim yang kebetulan penggemar babi panggang, Macau bisa jadi pilihan menarik untuk tujuan wisata kuliner mereka.

Pengalaman lain adalah membeli frozendimsum. Walaupun sudah memilih dimsum udang, ternyata tetap mengandung babi. Solusinya, setiap keluar rumah, aku selalu membawa bekal, baik untuk diri sendiri, terlebih untuk anak-anak. Sisi baiknya, untuk orang yang terbiasa jajan seperti aku, tinggal di Macau jadi terasa lebih hemat.

7. TOKO BUKU LANGKA


Sebagai seorang kutubuku veteran, toko buku masuk dalam tingkat teratas dalam daftar tempat yang kucari. Dan, seminggu di Macau, aku benar-benar “sakau” mencari bahan bacaan. Walaupun di jaman digital ini, harusnya mudah membaca e-bookdi gadget, buatku harum aroma kertas, tidak bisa terganti. Jadilah aku berburu toko buku. Ternyata, hampir seperti mencari makanan yang halal bagi muslim, toko buku berbahasa Inggris juga tidak mudah ditemukan. Sejauh ini, hanya satu, toko buku Miles di Venetian, yang kulihat menjual buku-buku impor. Koleksinyapun membuatku miris. Tak ada buku-buku sastra yang menjadi kesukaanku. Rak-rak malah didominasi buku-buku tentang judi. Aduh.

Tampaknya, selama tinggal di Macau, aku akan bergantung pada toko buku online untuk memenuhi hasrat membaca. Aku jadi teringat India, dimana toko buku berbahasa Inggris dengan harga relatif murah, tersebar sampai ke pelosok, bahkan di Waidhan, tempatku dulu berdiam.

8. ORANG INDONESIA, PASTI PEMBANTU? “MATEK KOEN!”


Dari sekian banyak hal yang aku sukai dan tampaknya akan bikin betah untuk tinggal di Macau, ada satu yang cukup mengganggu. Aku yang pada dasarnya suka bertemu orang baru, bertukar cerita, atau sekedar tersenyum menyapa, disini kesulitan untuk bersosialisasi. Di apartemen tempat kami menetap, tersedia sarana bermain anak-anak yang cukup lengkap. Aku sering membawa kedua anakku untuk membakar sedikit energi mereka yang berlebih disana, sekalian untuk bertemu anak-anak lain. Selain itu, akupun mengambil kesempatan untuk berkenalan dengan para orangtua yang menemani anak mereka. Sejauh ini, hanya tiga kali usahaku berhasil. Yang pertama, pasangan suami istri Brazil yang memang tampak ramah dan hangat, tidak hanya berkenalan, bahkan mengajak untuk saling berkunjung. Kedua, seorang perempuan Korea berkewarganegaraan Amerika Serikat yang juga baru menetap di Macau dan sedang mencari teman bergaul. Dan yang ketiga, pengasuh anak warga negara Philippine yang sudah menetap dan bekerja di Macau selama tujuh tahun. Perempuan bernama Annie ini belakangan banyak memberiku informasi yang cukup berguna tentang Macau. Mulai dari lokasi taman dan playground, bagaimana memperpanjang visa tinggal dengan biaya miring dan legal, bahkan, dimana berbelanja barang-barang elektronik bekas bermutu bagus, dari orang-orang yang kalah judi.Nah!

Dari perkenalanku dengan Annie, baru kusadari satu hal, mengapa beberapa orangtua tampak enggan untuk berbicara denganku, bahkan hanya untuk membalas senyum. Rupanya mereka beranggapan aku adalah salah satu dari entah berapa ribu pembantu yang dkirim Indonesia setiap tahunnya ke Hong Kong dan Macau.”Snob Chinese”, demikian Annie dengan sedikit rasis menyebut mereka. Aku pikir, penampilanku yang berhijab dan tanpa makeup, ditambah dengan dua balita bertampang bule yang selalu menempel denganku, membuat kesan pembantu itu tak bisa dihindari. Pada dasarnya, aku tak terlalu peduli, bahkan menjadikannya bahan becandaan dengan suamiku. Seperti, pada suatu kesempatan membawa anak-anakku ke kids center, seorang TKW tanpa basa-basi langsung nembak “pembantunya guru Amerika itu ya?”. Waktu kujawab “bukan, ini anak-anak saya”. Spontan si embak berlogat jawa ngapak itu memekik “matek koen!” Dan tidak melanjutkan percakapan. Aku menganggap kejadian tersebut cukup menggelikan. Demikian juga, ketika di tempat yang sama, ada pasangan suami istri begitu terpesona dengan anak-anakku yang katanya very handsome, dan bertanya dimana orangtua mereka. Jawabanku bahwa aku ibunya, tidak cukup memuaskan pasangan itu. Aku harus buka kartu, bahwa ayah mereka Australia. Barulah mereka mafhum, sambil berucap “very strong Australian gene!” Apa maksudnya coba!

Tapi tetap saja, komentar begitu tidak membuatku tersinggung, paling yah sedikit malu hati. Yang membuatku geram, adalah ketika kusadari, di beberapa kejadian, orang gampang sekali memarahi anakku, yang baru berumur 2,5 tahun, kalau dia berulah di tempat umum, karena beranggapan, aku hanya pengasuh atau pembantu, bukan orangtuanya. Beberapa kali, saat aku berada di sebuah toko, anakku ikut memegang barang-barang yang dipajang, pelayan toko menegur kami berdua dengan kasar. Dan ini tidak terjadi, ketika anakku sedang bersama ayahnya. Hal ini membuatku memutuskan, untuk sedikit berdandan, saat sedang keluar rumah. Walaupun tidak mudah, dengan dua batita yang gemar sekali menciumi ibunya, ini pilihan yang jelas lebih sehat, dari pada terus-terusan naik darah dan bertengkar dengan penjaga toko!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun