Kini hegemoni Blok Barat (Romawi) menguburi seluruh jejak historis Nabi Isa bersama Kerajaan Allah-nya yang membentang nyaris 600 tahun sampai Nabi Muhammad diutus. Karena runtuh, baik Yerusalem maupun Kerajaan Allah tidak menyisakan apa-apa selain catatan (kitab), credo, ritus/liturgi, dan, kalaupun ditemukan, jejak peradabannya. Adapun unsur-unsur politik seperti wilayah, hukum, dan kekuasaannya sudah tidak ada, mati. Inilah "Marratain", kisah dua kali kerusakan yang diabadikan dalam Al-Quran surat Al-Isra' (Bani Israel).
Ajal Darusalam
Demikian halnya Darusalam, Islam imperium yang dibangun oleh Nabi Muhammad pada abad ke-7 M. Tetapi keruntuhan Darusalam ini tidak disadari seolah-olah tidak terjadi apa-apa di sana. Bisa dilihat dari tidak mengemukanya isu ini di atas mimbar dakwah, khotbah, ceramah, dan sebagainya. Yang dibicarakan adalah melulu tentang kesempurnaan Islam sebagai sebuah agama (credo dan ritus-ritus sebagaimana agama pada umumnya), sementara fakta-fakta khususnya politik atau kekuasaan, terabaikan. Misalnya penaklukan Makkah, kekalahan pasukan Romawi, perjanjian Hudaibiyyah, negara Madinah, boikot Syi'ib, dan sebagainya. Tidak heran kalau Islam kemudian dipandang tidak lebih sekedar agama yang nirkonteks dengan aspek-aspek politik di samping mengesankan Nabi Muhammad seperti seorang rohaniawan belaka yang menjauhi kekuasaan atau anti politik.
Mustahil menutup mata dari fakta sejarah bahwa politik telah mengantarkan Islam sebagai lokomotif peradaban dunia berabad-abad lamanya. Mengubah budaya penghuni padang pasir yang terbelakang menjadi unggul dan beradab, memoles Eropa Mediterania menjadi maju dan indah, memelopori pemajuan humaniora (seni, sastra, filsafat, hukum), ekonomi hingga ilmu pengetahuan yang memesona dunia, misalnya, terjadi pada saat Islam menjelma menjadi kekuatan utama politik dunia, bukan hanya sebatas agama atau kepercayaan semata. Mungkin ini sebabnya seorang ulama mengatakan bahwa siapa yang bisa memisahkan gula dari manisnya, maka bisalah ia memisahkan Islam dari politik.
Betapa itu semua membantu dalam memahami bahwa politik bukan barang “haram” yang harus dijauhi dalam risalah Tuhan. Bahkan unsur politik inilah jawaban mengapa risalah Tuhan (Islam) acapkali “tidak akur” dengan status qou dalam hal ini penguasa-penguasa dalam sejarah di banyak tempat termasuk di Indonesia, misalnya. Namun, meraih politik dengan kudeta, unjuk rasa, (bom) bunuh diri, dan aksi-aksi teror lainnya hanya akan mencederai risalah Tuhan itu sendiri, terlepas apakah itu bagian dari kampanye untuk mengebiri dan membunuh karakter risalah Tuhan atau bukan. Yang jelas tindakan-tindakan semacam itu tidak ada presedennya dalam sunnah para rasul Tuhan.
Bagi para rasul, kekuasaan politik adalah anugerah Tuhan, tidak berasal dari manusia. Merupakan hak prerogatif Dia memilih siapapun atau bangsa manapun yang dikehendaki-Nya untuk berkuasa, dimuliakan atau sebaliknya. Dengan demikian semua kekuasaan di dunia pada prinsipnya adalah kehendak-Nya, sehingga menentangnya sama dengan menentang kehendak Tuhan itu sendiri. Itulah mengapa Nabi Muhammad menolak kekuasaan yang ditawaran oleh penguasa Makkah kepadanya; Nabi Isa menolak merajam pezina, dan Nabi Musa memilih meninggalkan Mesir. Semata-mata bukan karena mereka anti kekuasaan, tetapi mereka mengerti bahwa menegakkan hukum di dalam hukum adalah tindakan subversif (baca: makar) yang dibenci Tuhan, sehingga mereka memilih jalan damai dengan meninggalkan bangsanya. Ringkasnya, kesempurnaan Islam tidak cukup dilihat hanya dari ritus atau arkanul Islam saja tanpa melihat unsur-unsur politik yang sejak awal menyertainya.
Keruntuhan Darusalam dimulai ketika balatentara Mongol merangsek ke Baghdad (Irak sekarang) pada 1258 M. Tentara yang bengis membantai penduduk termasuk sang Khalifah berikut familinya, tanpa ampun. Tidak cuma itu, mereka juga memusnahkan jutaan literatur dan kekayaan intelektual lainnya di segala penjuru kota, khususnya di Baitul Hikmah. Peristiwa nahas ini mirip dengan tragedi yang menimpa saudaranya, yaitu Yerusalem di atas. Di sinilah nadi Darusalam mula-mula putus, inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un.
Usai keruntuhan Darusalam, sejarah segera mencatat Colombus, Hernan Cortes, Vasco da Gama, Napoleon Bonaparte, Elizabeth, Adam Smith, Karl Max, Philips, dan sebagainya. Mereka berdesak-desakan dalam buku-buku sejarah di kemudian hari, menjadi nararujuk dunia bahkan sebagian dianggap dewa di zaman modern. Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, Jerman, AS, termasuk China, dan Rusia menjadi kiblat baru dunia menggantikan Darusalam tersebut. Liberalisme-kapitalisme dan sosialisme-komunisme menjadi mazhab utama politik dan ekonomi dunia yang bergumul satu sama lain merebut supremasi melalui aneka bentuk kolonialisme yang mengundang petaka dan mimpi buruk bagi umat manusia berabad-abad lamanya.
Kebangkitan Kembali
Pertanyaannya, bisakah bangsa atau peradaban yang runtuh bangkit kembali? Jawabannya: bisa. Renaissance adalah satu di antara banyak bukti, yaitu kebangkitan kembali Eropa setelah 1000 tahun terpuruk (baca: dark ages) sejak keruntuhan Romawi Kuno pada abad ke-4 M. Tidak ada yang membayangkan Eropa bisa bangkit kembali, sebab raja-raja di sana umumnya tidak pandai baca tulis, masyarakat percaya kelenik, dan praktek-praktek perdukunan adalah hal biasa. Kampung-kampungnya kecil, kumuh, becek, dan gelap. Tidak ada klinik, rumah sakit, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Setiap hari orang mati seperti hewan, karena kelaparan dan terjangkit wabah mematikan atau kalau bukan dianggap terkena sihir saja. Kenyataannya Eropa bangkit kembali sejak abad ke-15 M sampai sekarang, bahkan boleh dibilang melampaui pencapaian era klasiknya. Budaya dan cara berpikir kritis dan filosofis tumbuh kembali yang diterapkan dalam pelbagai aspek kehidupan. Dan harus diakui mereka memonopoli sains dan teknologi modern.