Barangkali pembaca juga merasakannya dan menginginkannya supaya diketahui dan dilakukan oleh semua umat beragama di mana pun. Sudah saatnya ide semacam ini menjadi khutbah dunia di tengah terik sentimen dan ketegangan agama yang membakar selama ini, sehingga agama
menjadi solusi dan inspirasi untuk merajut harmoni, paling tidak di Bumi Pancasila ini.
Kata kunci dari gagasan Hans Kung ini adalah fondasi agama yang ditawarkannya sebagai isu dalam dialog agama. Konsekuensi logis dari hal ini
mengharuskan kita berhenti bertengkar pada aspek-aspek pinggiran agama seperti ritus dan liturgi, yang berbeda di tiap-tiap agama dan mustahil bisa diseragamkan.
Sebaliknya, diskursus dalam dialog agama baiknya dititikberatkan pada apa yang menjadi fondasi (dasar, warta utama) dari agama-agama, yang
kita yakini bersumber dari Yang Mahabenar, TUHAN kita.
Tanpa bisa kita hindari, gagasan Hans Kung ini akan membawa kita kepada kitab suci, sebab mustahil dialog agama dilakukan sambil menegasikan anasir-anasir kitab suci. Tetapi tidak perlu khawatir, karena sejatinya kitab suci adalah guidance and guide, petunjuk dan penuntun arah yang kita tuju (cari).
Artinya, bila kita semua mencari fondasi atau akar dari agama, yakinlah kalau kitab suci akan menunjukkannya bagi kita. Untuk membantu masalah ini, penulis ingin mengajak pembaca mempertimbangkan gagasan seorang penulis profetik dan peneliti agama, Karen Amstrong.Â
Amstrong memandang kitab suci sebagai sesuatu yang sakral. Karenanya, isi kitab suci seperti pengalaman nabi-nabi, ajaran tentang hari kiamat, dan kesenangan-kesenangan surgawi, tidak bisa diartikan secara sangat harfiah. Sebab, menurutnya, kitab suci memiliki gaya bahasa yang padat, penuh kiasan, dan ungkapan-ungkapan yang tidak langsung tentang realitas yang tak terjangkau (2001).
Kita semua tahu, bahwa baik Alkitab maupun Al-Qur'an sama-sama mengandung banyak sekali kiasan (amtsal), kisah orang-orang terdahulu,
di samping masalah Hukum. Hubungannya dengan gagasan Hans Kung dan Karen Amstrong di atas, kita dapat mengajukan sebuah hipotesa bahwa fondasi atau warta utama dari agama berada di balik kiasan-kiasan berupa pengalaman nabi-nabi, imajinasi tentang hari akhir, dan kesenangan surgawi itu sendiri.
Tetapi, jawaban dari hipotesa ini hanya bisa kita dapatkan setelah otoritas agama, ahli kitab, para mufasir, dan kita semua bersedia mendialogkannya dengan kejujuran ilmiah, tanpa sikap apologis yang berlebihan demi untuk menemukan sebuah titik temu teologis yang sama dari agama-agama Ibrahimi ini.
Selanjutnya, apa hubungan fenomena agama ini dengan sejarah? Ini fakta, bahwa agama-agama besar di dunia saat ini seperti Nasrani dan Islam, misalnya, berasal dari Nabi Ibrahim (Abraham), termasuk agama Yahudi sebagai yang tertua.
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa agama Hindu dan Budha memiliki hubung-kait dengan bapak monoteisme ini dengan melihat sejumlah kemiripan seperti simbol, cerita, tokoh, serta ajaran-ajarannya. Walaupun begitu, sejarah selalu bercerita tantang ketegangan segi tiga di antara sesama agama Ibrahimi ini (tidak termasuk Hindu-Budha) berabad-abad lamanya.
Sebut saja antara Palestina dan Israel yang tidak pernah usai sampai hari ini. Peristiwa kelam di masa lalu, tragedi sejarah, dan sentimen antar sesama agama Ibrahimi ini sengaja penulis tidak angkat kembali di sini. Semuanya telah terjadi dan sebaiknya kita menerimanya sebagai takdir sejarah.