Mohon tunggu...
M. Makarumpa
M. Makarumpa Mohon Tunggu... Penulis - Imajinasi--Kaidah--Realitas

Kemajuan peradaban umat manusia bermula dari amajinasi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menakar Fenomena Agama Ibrahimi dengan Fakta Sejarah

20 Agustus 2020   16:29 Diperbarui: 21 Oktober 2020   08:16 2885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Antero tanah air sempat heboh dengan frasa "kitab suci fiksi" yang diucapkan oleh seseorang dengan dalil filsafat. Terlepas dari itu, sebuah tesis (pernyataan, teori) akan dianggap dan diterima selama ia belum terpatahkan oleh fakta-fakta baru, begitu juga sebaliknya. Begitulah tarian dialektika di dalam ilmu pengetahuan termasuk filsafat.

Tidak heran apabila silang pendapat antara sesama filsuf atau ilmuan acapkali terjadi, misalnya antara Plato dengan Aristotels, Arius dengan Athanasius, Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd, Habibie dengan Stephen Hawking, dan masih banyak lagi. Itu sebabnya, Magnis Suseno (1992), menganggap jawaban-jawaban filsafat tidak abadi dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah.

Melihat ini, Amtsal Bahtiar menempatkan agama di atas ilmu filsafat. Menurutnya, agama mampu memenuhi kebutuhan batin serta mengobati dahaga spiritual manusia yang tidak mampu dijawab oleh ilmu filsafat (2012).

Alih-alih, fenomena agama secara tidak terelakkan justru menunjukkan kemiripannya dengan fenomena filsafat itu sendiri. Betapa tidak, muncul berbagai macam agama baru, aliran kepercayaan, dan sekte-sekte di dunia.

Sebagai contoh, saat ini kita sudah memasuki dunia yang permisif dan tidak asing lagi dengan keberadaan paham agnostik yang menganggap agama sebagai produk konspirasi, selain ateis yang secara terbuka mengusir TUHAN dari kehidupan modern.

Di samping itu, sengketa dan sentimen yang berbasis perbedaan agama dan keyakinan begitu pekat dan jamak terjadi, khususnya di tanah air. Lihat saja konfrontasi, provokasi, serta adu mulut yang tiada habisnya terjadi dalam debat interfaith di berbagai kanal media belakangan.

Tidak ketinggalan, "mualaf jadi ustadz" atau "bekas ustadz jadi pendeta" juga menjadi fenomena tanah air yang tak kalah menyita perhatian, meskipun tidak semua. Bukannya menenangkan, di antara oknum ini justru mempertontonkan adegan-adegan yang menegangkan seperti saling menista agama, kitab suci, nabi, bahkan TUHAN lama mereka.

Tidak hanya sebatas itu, sejarah juga mencatat, ketegangan agama dan keyakinan sering kali berujung bentrok fisik, represi, pengusiran, hingga ketegangan antarnegara. Betapapun, keputusan presiden Turky, Erdogan, perihal Hagia Sophia beberapa waktu yang lalu telah mengembalikan ingatan dunia akan benturan sejarah di masa lalu kaitannya dengan fenomena agama ini. 

Tentang hal ini, teolog Hans Kung berkata, "No peace among the nations without peace among the religions. No peace among the religions without dialogue between the religions. No dialogue between the religions without investigation of the foundation of the religions."

(Tidak ada perdamaian dunia [bangsa-bangsa] tanpa perdamaian di antara agama. Tidak ada perdamaian di antara agama tanpa dialog antar agama. Tidak ada dialog antar agama tanpa investigasi terhadap dasar dari agama).

Pembaca yang budiman, saat melansir pernyataan Hans Kung ini, penulis dengan cepat merasakan nuansa semiotik yang sangat kuat di dalamnya, yang membangunkan imajinasinya tentang "surga dunia", sebuah percakapan global yang menyejukkan lagi menyatukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun