Mohon tunggu...
Arif Taufiqurrahman
Arif Taufiqurrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bisikan Tanah yang Letih

2 Desember 2024   20:30 Diperbarui: 2 Desember 2024   23:44 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mentari pagi menyinari hamparan ladang hijau milik Pak Udin di Desa Sukamaju, di sebuah desa subur yang terletak di kaki Gunung Arjuno. Sejak muda, ia mengabdikan hidupnya pada tanah. Setiap hari, Pak Udin meniti pematang sawah dengan cangkul di bahu dan termos kopi hitam di tangan. Aroma tanah yang lembap usai terkena embun selalu membawa rasa damai di hatinya seolah menegaskan bahwa bertani adalah jalan hidupnya.

Namun, hidupnya berubah saat ia memutuskan beralih menggunakan pupuk organik. Keputusan itu muncul usai menghadiri seminar pertanian di kota kecamatan. Salah satu pembicara di seminar itu dengan penuh semangat menyampaikan bahwa pupuk organik adalah kunci untuk menjaga kelestarian tanah.

"Peliharalah tanah kita! Hentikan ketergantungan pada pupuk kimia yang merusak lingkungan," seru pembicara dengan suara lantang, disambut tepuk tangan dari para petani. Gagasan itu langsung memikat hati Pak Udin.

"Kalau ini untuk masa depan anak-cucu, kenapa tidak dicoba?" pikirnya.

Sekembalinya dari seminar, ia membawa beberapa karung pupuk organik yang dipromosikan oleh agen. Pada awalnya, keputusannya terasa tepat. Panen pertama setelah penggunaan pupuk organik membawa hasil yang memuaskan. Bulir padi tampak gemuk, dan tanah di ladangnya terasa lebih subur.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Dua musim berikutnya, hasil panennya terus menurun. Daun padi yang biasanya hijau segar berubah kekuningan lebih cepat, dan bulir padi banyak yang kosong. Bahkan, sebagian ladang tampak mengering meskipun sistem irigasinya tetap lancar.

Pada suatu pagi, Pak Udin menyusuri ladangnya dengan perasaan berat. Saat mencoba mencangkul tanah, ia mendapati lapisan bawah tanahnya keras seperti batu.

"Kenapa tanahnya jadi begini? Padahal pupuk ini katanya bagus," gumamnya sambil mengusap peluh.

Kekhawatirannya semakin besar ketika melihat hasil panen tetangganya, Pak Sanusi, yang tetap menggunakan pupuk kimia dan menikmati hasil yang melimpah.

"Udahlah, Din, pakai lagi pupuk kimia. Saya dari dulu pakai itu, hasilnya selalu memuaskan," sindir Pak Sanusi dengan nada mengejek.

Pak Udin merasa tersinggung sekaligus ragu. Namun, ia enggan menyerah. Ia yakin ada masalah yang bisa dipecahkan. Dalam kebingungannya, ia memanggil Pak Bowo, seorang ahli agronomi dari kota untuk memeriksa ladangnya.

Pak Bowo datang dengan peralatan lengkap, mulai dari cangkul kecil hingga alat pengukur pH tanah. Setelah mengambil beberapa sampel tanah dan memeriksanya dengan teliti, ia menyampaikan temuannya.

"Pak Udin, tanah ini kekurangan nutrisi penting," katanya.

Pak Udin terkejut. "Tapi saya pakai pupuk organik, Pak. Bukannya itu menambah nutrisi tanah?"

"Betul, pupuk organik baik untuk tanah, tapi butuh waktu lama untuk terurai dan memberikan nutrisi. Jika digunakan terlalu banyak tanpa dikombinasikan dengan metode lain, justru bisa membuat tanah kehilangan unsur hara seperti nitrogen, fosfor, dan kalium," jelas Pak Bowo.

Penjelasan itu membuka mata Pak Udin. Ia sadar selama ini hanya mengikuti tren tanpa benar-benar memahami kebutuhan tanahnya.

"Jadi, apa yang harus saya lakukan sekarang, Pak?" tanyanya dengan nada putus asa.

Pak Bowo tersenyum. "Langkah pertama, istirahatkan ladang Anda. Tanam tanaman penutup seperti kacang-kacangan untuk membantu memperbaiki struktur tanah. Kemudian, kombinasikan penggunaan pupuk organik dengan sedikit pupuk anorganik untuk menyeimbangkan nutrisi. Jangan lupa, lakukan rotasi tanaman agar tanah tidak cepat lelah."

Pak Udin mengikuti semua saran Pak Bowo dengan penuh dedikasi. Ia menanam kacang hijau di ladangnya selama satu musim. Tanaman itu tidak hanya membantu memperbaiki kesuburan tanah, tetapi juga memberinya penghasilan tambahan. Di sela waktu luangnya, ia mulai belajar membuat kompos dari limbah rumah tangga dan sisa panen.

Ketika musim tanam berikutnya tiba, Pak Udin menanam padi kembali. Kali ini, ia menggunakan pupuk sesuai takaran yang dianjurkan dan mempraktikkan teknik-teknik baru yang dipelajarinya dari kelompok tani. Sedikit demi sedikit, tanahnya kembali subur. Tanaman padi tumbuh lebih hijau, dan hasil panen mulai membaik meskipun belum sehebat dulu.

Suatu sore, setelah panen selesai, Pak Udin duduk di tepi ladang, menikmati pemandangan sawahnya yang mulai pulih. Ia tersenyum bangga melihat perjuangannya selama setahun terakhir membuahkan hasil.

"Bertani itu seperti merawat anak," ujarnya kepada Pak Sanusi yang kebetulan lewat. "Kalau ada yang salah, kita harus tahu cara memperbaikinya, bukan malah menyerah."

Pak Sanusi tersenyum lebar. "Benar juga, Din. Saya jadi ingin ikut belajar. Bisa ajari saya?"

Pak Udin tertawa kecil. "Tentu saja, San. Yang penting, kita memahami kebutuhan tanah, bukan hanya ikut-ikutan."

Kini, Pak Udin bukan hanya seorang petani, tetapi juga inspirasi bagi para petani lain di desanya. Ia membuktikan bahwa menjaga tanah bukan sekadar soal memilih metode, tetapi soal pengabdian, pengetahuan, dan cinta terhadap alam. Ladang yang dulunya letih kini kembali hidup, menjadi simbol kebangkitan dan harapan bahwa dengan kerja keras, alam akan selalu memberi lebih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun