Mohon tunggu...
Hotgantina S
Hotgantina S Mohon Tunggu... Guru - Hidup untuk berbagi. Berbagi untuk hidup.

Pengajar yang terus belajar. Suka makan coklat, minum teh dan mendengar suara gitar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud featured

Minke itu Orang Terdidik, Kaum Terpelajar!

11 November 2015   09:45 Diperbarui: 25 Mei 2018   10:10 1347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehabis membaca Bumi Manusia, buku pertama Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, aku terkesan akan kecerdasan tokoh utama dalam roman itu. Minke namanya.

Aku simpulkan bahwa pada zaman itu, zaman kolonial Belanda, manusia yang mengecap pendidikan atau bersekolah dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dari pada mereka yang tidak. Pada zaman itu pula, pendidikan hanya diperuntukkan bagi bangsa Eropa, Indo, keturunan Eropa dengan pribumi (bangsa Indonesia) dan elite pribumi.

Minke sendiri bukanlah keturunan Indo. Ia seorang pemuda pribumi asli, orang jawa tulen. Ia memiliki kesempatan untuk bersekolah karena nenendanya dan ayahnya yang menduduki jabatan pemerintahan di kotanya. Ia pemuda terpintar dan sangat dihormati dalam keluarga.

Pertama-tama ia masuk sekolah E.L.S dulu (mungkin setingkat SD) selama beberapa tahun, kemudian melanjutkan ke sekolah H.B.S (mungkin setingkat SMP dan SMA) selama lima tahun.

Yang kukagumi adalah kegemaran dia menulis. Dengan nama pena, Max Tollenaar, ia menuangkan gagasannya dalam tulisan dan dimuat dalam surat kabar lokal milik salah satu pengusaha Belanda.

Tulisannya sangat bagus, begitu kata pembacanya yang kebanyakan adalah orang Eropa dan Indo. Ia juga menulis dalam bahasa Belanda bukan Melayu.

Dalam masa koloni itu, hak pribumi tak pernah diakui. Bila berurusan dengan Indo atau Eropa, pribumi tak pernah menang meskipun benar. Miris memang, tapi begitulah nasib bangsa terjajah.

Saat Minke mendapat masalah, khususnya saat menghadapi pengadilan tentang terbunuhnya Tuan Mellema, ayah calon istrinya, Annelies Mellema, ia habis dipermalukan di pengadilan karena seorang siswa H.B.S yang notabene berpendidikan dan berilmu tinggi, tinggal serumah dengan calon istrinya di rumah seorang nyai. Meski pada akhirnya mereka menikah sah secara agama Islam.

Sebutan nyai adalah untuk wanita, istri simpanan atau istri tidak sah orang Belanda pada waktu itu. Nyai biasanya seorang pribumi. Sebutan nyai dianggap buruk, barangkali karena status sebagai istri tidak sah. Jadi dianggap kurang memiliki moral.

Memang pengadilan saat itu sungguh keterlaluan karena membahas masalah pribadi di depan umum. Ditertawakan pula. Sungguh keterlaluan. Tapi apa boleh buat, pribumi tak diakui berbicara.

Perang urat syaraf pun terjadi antara Minke dan orang-orang yang membencinya. Perang itu bisa disebut perang tulis-menulis karena mereka berperang melalui surat kabar. Minke menulis pernyataannya dalam surat kabar saat ada yang mengatakan hal yang tidak benar tentang dirinya, Annelies, dan Nyai Ontosoroh, ibu Annelies.

Ya, ia menulis, menulis setiap gagasannya dan diterbitkan di koran. Dibaca setiap khalayak. Aku pikir, ia benar-benar kaum terpelajar karena saat banyak orang mengajaknya perang, ia bukan menggunakan fisiknya untuk melawan. Tapi mengungkapkan kebenaran dengan tulisan. Hebat!

Yang aku pikirkan adalah perbedaan kaum pribumi terpelajar masa kolonial dulu dan masa demokrasi sekarang. Sebagai mahasiswa, seorang yang “dianggap” terpelajar dan berilmu tinggi bukanlah kaum terpelajar seperti Minke.

Misalnya saja, saat ada penolakan terhadap kebijakan terbaru pemerintah, mahasiswa, “orang berpendidikan” zaman sekarang, lebih menggunakan ototnya dari pada otaknya. Seharusnya sebagai kaum terpelajar yang juga dihormati, lebih menunjukkan sikap terpelajarnya. Tentu saja boleh menyuarakan pendapat, tapi seharusnya tidak sampai mengganggu ketertiban bahkan merusak fasilitas-fasilitas umum. Alangkah lebih baik juga, jika kaum berpendidikan zaman sekarang menyuarakan gagasan/ide/pemikirannya melalui tulisan, seperti Minke.

Akupun seorang mahasiswa, seharusnya kaumku lebih beradab. Tapi dengar, tidak semua mahasiswa begitu. Banyak juga mahasiswa yang tidak terpengaruh saat gejolak ada. Mereka mungkin lebih memilih menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, mungkin juga ada yang tak peduli. Memang, yang tidak peduli barangkali lebih parah. Tak berbuat apa-apa. Untuk itu, wahai kaumku, mari kita majukan bangsa ini dengan kepedulian dan kepala dingin. Dimulai dengan tulisan akan lebih berpendidikan rasaku.  

Jakarta Selatan, 20 Maret 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun