Ia setia pada pahit jalan kebenaran
Menolak matahari dan bulan di telapak tangan
Ia lapar, maka ia ikat di perutnya tiga buah batu
Saat Masyriq dan Magrib dalam genggaman
Ia adalah bapak yang ditinggalkan mati anaknya
Ia adalah kekek yang mengetahui penyebab kematian cucu-cucunya
Kepalanya dilempari batu sehingga berdarah
Tulang pipinya terluka tergores anak panah
Tahukah engkau apa yang terucap olehnya?
"Ampunilah mereka. Ampunilah."
Kematiannya tak tinggalkan sekepingpun emas warisan
Kehidupannya jika ada sedinar saja di bawah bantal, tidurpun beliau tinggalkan
Puji-pujian yang begitu merdu terucap senantiasa
Sembari kakinya bengkak sembayang semalaman
Terusir dari rumah sendiri
Dianggap gila, Majnun sepertiku, seberangi negeri-negeri
Dihina, difitnah, disiksa lahir-batin
Diolok-olok dan diperangi
Begitulah kiranya jalan para kekasih
Layla hanya menggelar jalan penderitaan bagi si pencari
Karena Ia manikam merah yang tersembunyi
Sang penyelam lautan kebenaran harus rela kehabisan nafas
Demi dasar laut tempat Ia ingin diketahui
Maka, ijinkan aku, Majnun si gila berkata kepadamu:
Kenakanlah jubahku, jalanilah kisahku dan setialah di jalanku
Sebab sebagaimana aku mencintai Layla
Semoga Layla juga menerima cintamu
Kotawaringin, 12 Februari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H