Bukannya kau hanya diberi opsi. Antara satu atau dua. Sedangkan tak ada tempat untuk tapi. Tak juga tersisa kursi untuk jika.
Sungguh aku mempercayaimu. Namun kau juga harus melihat. Adakah hasil dari perdebatan selain rasa malu.
Kau seharusnya bertanya. Kenapa tak ada kotak suara untuk suara yang paling bersuara. Suara manusia.
Untuk yang tidak memilih. Karena tidak menghendaki apa apa. Dan yang memilih tanpa ingin menjadi siapa siapa.
Sedangkan segala kritik dan saran ada di jalanan. Di obrolan ronda malam. Di pinggir bantaran. Di perkotaan dan desa desa.
Ke manakah mereka bermuara. Atau mereka hilang begitu saja. Dihapus angin yang bersekutu. Dengan rapuh ingatan sang waktu.
Jangan sampai pemilumu itu. Hanya menampung bisik yang tak benar benar bersuara. Pilihan yang terpaksa. Rasa tidak enak kepada tetangga.
Jangan sampai. Kalau kau memilih nanti. Suaramu ditempatkan di dalam kotak paling sunyi. Dibunyikan belum tentu punya arti.
Aku bergumam sendiri:
Gagal aku membahas isu. Batal aku cari tau. Ia memilih siapa. Karena politiknya masih bicara manusia.
Dasar puisi. Baru sepuluh menit dicipta. Berlagak sudah lebih tua. Dari penulisnya.