Mohon tunggu...
Bryan Jati Pratama
Bryan Jati Pratama Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Author of Rakunulis.com

Qu'on s'apprête et qu'on part, sans savoir où on va

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Dialog Suara

10 Maret 2019   16:18 Diperbarui: 10 Maret 2019   16:46 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : umm-malang.org

Aku sengaja membuka dialog. Bersama puisi. Yang baru sembuh. Setelah sakit batuknya kambuh.

April pemilu kataku. Tentang politik yang dibencinya dari dulu. Aku coba menggoda. Biar sekali kali ia keluar tema.

Dia diam saja. Melanjutkan membaca. Segala yang telah dibacakan untuknya. Dan apa yang dapat ia baca atasnya.

Apa kau tak tertarik. Pemilu pesta rakyat. Debat sedang panas panasnya. Ayolah. Kau pilih yang mana.

Telinga dia bosan obrolan. Ia masih melanjutkan bacaan. Makin merdu suara. Makin sendu nadanya.

Negara butuh pemimpin yang layak. Rakyat harus memilih atau setidaknya memihak. Berada di tengah pun tidak mengubah apa apa. Yang benar saja.

Sekali ia menoleh. Namun abai lagi. Membuka halaman kitab suci. Terlihat seperti mencari tulisan. Yang dulu pernah ia hafalkan.

Kau sebenarnya pilih siapa. Kan kita sudah lama bersama. Sekiranya sudah tidak ada lagi rahasia. Kuanggap kita tau sama lainnya.

Jangan khawatir. Aku cukup terpelajar untuk membedakan mana yang harus aku simpan. Dan mana yang kepada orang lain dapat aku ceritakan.

Ketemu. Ditutupnya bacaan. Puisiku menjawab pelan :

Ku katakan agar kau tau kenapa aku tak suka politik. Di negerimu politik tak memberi koma hanya titik. Tak ada teduh saat hujan. Tak sempat nafas sebelum menyelam.

Bukannya kau hanya diberi opsi. Antara satu atau dua. Sedangkan tak ada tempat untuk tapi. Tak juga tersisa kursi untuk jika.

Sungguh aku mempercayaimu. Namun kau juga harus melihat. Adakah hasil dari perdebatan selain rasa malu.

Kau seharusnya bertanya. Kenapa tak ada kotak suara untuk suara yang paling bersuara. Suara manusia.

Untuk yang tidak memilih. Karena tidak menghendaki apa apa. Dan yang memilih tanpa ingin menjadi siapa siapa.

Sedangkan segala kritik dan saran ada di jalanan. Di obrolan ronda malam. Di pinggir bantaran. Di perkotaan dan desa desa.

Ke manakah mereka bermuara. Atau mereka hilang begitu saja. Dihapus angin yang bersekutu. Dengan rapuh ingatan sang waktu.

Jangan sampai pemilumu itu. Hanya menampung bisik yang tak benar benar bersuara. Pilihan yang terpaksa. Rasa tidak enak kepada tetangga.

Jangan sampai. Kalau kau memilih nanti. Suaramu ditempatkan di dalam kotak paling sunyi. Dibunyikan belum tentu punya arti.

Aku bergumam sendiri:

Gagal aku membahas isu. Batal aku cari tau. Ia memilih siapa. Karena politiknya masih bicara manusia.

Dasar puisi. Baru sepuluh menit dicipta. Berlagak sudah lebih tua. Dari penulisnya.

Tak apa.

Jakarta, 15.55
10 Maret 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun