Mohon tunggu...
Asep B
Asep B Mohon Tunggu... Editor - Asep Burhanudin mantan wartawan yang masih giat menulis

Ada bersahaja

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

(1) Menyusuri Dalamnya Papua, Papua Sungguh Eksotis

16 Mei 2016   18:19 Diperbarui: 16 Mei 2016   18:25 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Papua Sungguh Eksotis

Jarum jam baru mengarah angka 7, pertanda watu masih pagi. Namun sorot mentari terasa menyengat dan memaksaku membuka jaket yang semalaman tak pernah lepas dari tubuh selama dalam pesawat.Waktu itu saya dan belasan rekan baru mendarat di Bandara Sentani, Jayapura, selepas penerbangan dari Jakarta. Letih, lelah seketika hilang manakala kaki mulai menapaki lapangan aspal menuju koridor tempat pengambilan bagasi.

Danau Sentani: Salah satu sudut Danau Sentani di Jayapura (Asep Burhanudin)
Danau Sentani: Salah satu sudut Danau Sentani di Jayapura (Asep Burhanudin)
Dalam jadwal, kami hanya memiliki 2 jam istirahat di Bandara ini untuk kembali melanjutkan penerbangan ke Wamena, sebuah Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya. Wamena, dalam catatan kami, merupakan satu dari beberapa kota penghubung  untuk menembus Pegunungan Tengah Papua di samping melalui Timika di Mimika. Di Pegunungan Tengah Papua, setidaknya terdapat 28 kota kabupaten, yang beberapa di antaranya belum bisa dilalui jalur darat. Satu satunya alat tarnsportasi andalan, ya jalur udara, dengan pesawat kecil berpenumpang 6-9 orang. Wamena sendiri mengandung arti Babi Enak (Wam=babi- Ea=enak).

Dalam kunjungan pertama kali ini, tujuan akkhir kami antara lain Kota Karubaga, Ibu Kota Tolikara.  Untuk bisa ke kota tujuan, sudah ada jalur darat, sekalipun belm seluruhnya mulus beraspal. Sementara dengan jalur udara, masih menggunaka pesawat berbadan kecil karena panjang  landasan masih dibawah 1000.m.

Banyak persiapan untuk  perjalanan ini, mulai sepekan sebelum berangkat kita diharuskan minum pil kina untuk mencegah malaria, juga pakaian/ jaket tebal, hingga makanan, termasuk obat-obatan pribadi. Kalau dihitung, mungkin perorangnya rata rata membawa dua atau tiga kerier berukuran rata- rata 30 L. Maklum, rencana satu bulan kita berada di Karuaga.Tak hanya itu, katanya, di sana untuk mendapatkan barang keperluan sangat sulit. Kalaupun ada harganya relatif mahal. Barang bawaan inilah yang kemudian kita harus berlama- lama di ruangan pengambilan bagasi Bandara Sentani.

Tak terasa, jadwaal penerbangan selanjutnya hanya tinggal hitungan belasan menit.  Bila dipotong waktu sarapan pagi pun tak ada waktu lagi untuk berleha-leha, sehingga kami pun memutuskan sarapan di lingkungan Bandara. Makanana di Jayapura relatif murah, tak ubahnya dengan harga di kota besar lainnya di Indonesia. Makanan favorit di kota ini berupa ikan nila, sejenis ikan darat yang berlimpah di Danau Sentani.

.

Jaya Pura, Ibu Kota Propinsi Papua sangat panas dibanding kota lainnya di Papua, mungkin sekalipun dengan Jakarta. Maklum selain terletak di pinggir laut, juga Danau Sentani yang nyaris mengurung sebagian kota Jayapura, yang memantulkan efek panas sinar matahari. Jayapura yang mengandung arti kota kemenangan, didirikan  oleh seorang tentara Belanda, Kapten Infanteri F.J.P Sachses, 7 Maret 1910 silam, dengan  nama Hollandia. Kota ini kala itu sebagai ibu kota salah satu distrik di Pulau Papua. Ketika tahun 1962 Jayapura sempat disebut Kota Baru, bahkan di tahun 1964 pernah diusulkan dengan nama Kota Sukarnopura.

Menuju Wanena

Sejak dari Jakarta, kita sudah diberi bekal tentang Papua, di antaranya serba tak jelas. Semua rencana bergantung cuaca yang sering berubah-ubah. Ternata benar juga, ketik usai boarding pass, yang dalam hitungan kita, tinggal naik pesawat, tiba- tiba penerbangan ditunda dengan alasan cuaca di Wamena tidak mendukung untuk pendaratan. Kabut, katanya, masih tebal dan suit untuk didarati. Apa boleh buat, kami pun memilih rebahan di bangku pajang ruang tunggu. Semilir AC sempat melelapkan istirahat saya yang semalaman berada dalam pesawat. Satu jam berlalu, akhirnya rombongan dipanggil untuk naik pesawat.

Bandara Wamena (Asep Burhanudin)
Bandara Wamena (Asep Burhanudin)
Mirip naik bis saat arus mudik lebaran, penumpang berebutmencari tempat duduk. Untungya sebagian besar barang kami sudah loadding lebih awal, menjadikan kami tak kesulitan berebut di antara mereka untuk mendapatkan tempat duduk. Pesawat yang kami tumpangi dioperasikan Trigana,  jenis propeller kapasitas 30 penumpang. Hanya seorang pramugari yang mengatur calon penumpang. Wajah cantik dengan balut seragam batik hijau saat itu terlihat  lusuh . Mungkin kecapaian tak ada yang membantu dia dalam pesawat yang terasa sangat panas ini. Saya mendapat posisi di pinggir paling depan, menjadikan leluasa mengabadikan hutan Papua yang baru kali ini saya lihat langsung.
Berdagang: Beberapa warga Wamena tengah menjajakan hasil taninya di depan Bandara Wamena (Asep Burhanudin)
Berdagang: Beberapa warga Wamena tengah menjajakan hasil taninya di depan Bandara Wamena (Asep Burhanudin)
Tak sedetik pun pandangan saya alihkan ketka pesawat mulai mengangkasa. Hamparan Danau Sentani nan jernih dari atas terlihat sangat kontras dengan gundukan rumah atap seng milik para nelayan berjejer rapat megikuti lekukan pantai danau. Selepas kemudian, hamparan hutan lebat yang terbelah kelokan Sungai Membramo, sungai terbesar di puau ini, sangat menantang untuk terus mengabadikan dari dalam pesawat. Saya hanya terganggu ketika pramugari yang lusuh tadi menyapa dan menyodorkan minuman teh dalam kotak untuk melepas dahaga.

Sekitar 30 menitan berada di udara, saya melihat dua bukit cukup tinggi, seolah menghadang pesawat. Selang beberapa saat kemudian pesawat terasa miring ke kiri. Tebing yang semula di depan berubah posisi  menjadi di sebelah kanan. Belum sadar apa yang dilihat, ternyata di kiri pun terdapat pemandangan yang sama, yakni tebing dengan pepohonan lebat. Untuk melihat ujungnya, terpaksa saya harus menongakkan kepala ke atas.  Rupanya pesawat yang kami tumpangi tengah mengiktuti alur tebing ini. Sempat miris, terlebih getaran dan lonjakan pesawat mulai terasa.

Rupanya penumpang di sebelah kami memahami perasaan was-was saya. Pria yang dari pakaian yang dikenakannya seragam tentara  berbisik, celah yang kita lalui merupakan pintu masuk Wamena, pertanda  sebentar lagi  mendarat. Benar, bisikan tentara yang mengaku Sersan Hartono  asal Solo yang sudah dua tahun berdinas di Wamena ini, terasa pesawat yang kami naiki menukik dan bless mendarat untuk kemudian berhenti di ujung landasan.

Dalam perbaikan: Beberapa ruas jalan menuju Tolikara saat itu masih dalam perbaikan (Asep burhanudin)
Dalam perbaikan: Beberapa ruas jalan menuju Tolikara saat itu masih dalam perbaikan (Asep burhanudin)
Udara pengap di pesawat berubah total menjadi udara dingin yang menyegarkan, ketika pintu pesawat terbuka. Terlebih udara semakin terasa segar manakala saya dan rombongan perlahan keluar dari pintu menapak landasan. Cukup berlama-lama saya berada di landasan, bahkan beberapa rekan mencoba mengabadikan dengan kamera tentengan masing masing. Sedikit narcis memang, namun itu dimaklum, terutama bagi mereka yang baru kali pertama menginjak tanah Papua, seperti saya ini. Sempat dibuat bingung ketika saya melihat bangunan Bandara. Atap seng berlantai tanah tanpa sekat bilik hanya pagar dari anyaman bambu yang memisahkan kedatangan dan keberangkatan. Amat sederhana sekali. Hanya bangunan wc saja yang terlihat masih bertembok. Menurut petugas Bandara, memang sudah beberapa bulan bangunan seperti ini dibuat setelah gedung utama Bandara habis terbakar.

Cukup lama kita mengurus barang bawaan pribadi dan barang milik bersama. Ini dikarenakan perwakilan atau orang kita di sana hanya seorang diri. Dia lebih mengutaamakan mencari mobil carteran tambahan untuk melanjutkan perjalan kami ke tempat tujuan, yakni Karubaga, Ibu Kota Tolikara. Katanya, mobil yang semula dia carter 5 unit ditaksir tidak bakalan cukup, sehingga harus ditambah 3 unitan lagi. Lagi-lagi karena udara yang dingin dan segar menjadikan saya dan rombongan tetap dibuat betah, sekalipun tertahan beberapa jam. Saya lebih banyak mengabadikan aktifitas warga lokal yang menjual pinang, jeruk dan kerajinan untuk buah tangan wisatawan di pinggir jalan.

Persimpangan Jalan ( pribadi)
Persimpangan Jalan ( pribadi)
Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 16.30. Barang sudah terkemas di belakang mobil carteran. Unik memang mobil angkutan umum di sini, semuanya double cabin dan double gardan. Di Jawa mobil type ini tergolong kendaraan mewah, hanya orang tertentu yang memilikinya. Di sini, ternyata dijadikan angkutatan umum. Mereka sudah biasa duduk di bak terbuka bila dalam cabin penuh penumpang.

Kabut mulai turun, udara dingin mulai menusuk persendian tulang. Jacket yang sejak awal nempel rapat di badan rupanya tak bisa mengusir seluruh hawa dingin pegunungan Wamena. Hal ini menjadikan waktu makan dipercepat. Ada beberapa rumah makan yang katanya sudah menjadi langganan pelancong di Wamena. Kami lebih memilih restauran yang berada di kompleks Hotel Baliem Pilamo. Katanya selain bersih, masakannya pun cukup enak dan beragam menu pilihan. Benar juga, setiba di sana, ruangan restouran cukup representatif. Jejeran kursi bisa menampung 40 orangan, ditambah aneka menu yang banyak. Di antara menu khas Wamena, yakni Udang selingkuh bakar atau ikan nila goreng. Udang selingkuh, begitu dinamainya, karena badannya udang sementara kakinya mirip kepiting, katanya seperti akibat perselingkuhannya. Ada-ada saja!!!

Hujan mulai turun sementara kabut semakin tebal menjadikan kami enggan untuk meninggalkan ruang makan. Saya mulai menangkap ada ketidakberesan ketika melihat beberapa sopir carteran berbisik - bisik di antara mereka. Saya coba hampiri, dan sempat dibuat kaget ketika seorang di antara mereka mengatakan enggan melanjutkan perjalanan dengan cuaca seperti ini. Katanya cukup riskan memaksakan jalan dengan cuaca seperti begini. Mereka mengkhawatirkan kabut akan semakin tebal ketika sudah sampai di pertengahan jalan nanti. Daerah yang mereka khawatirkan yakni lintasan Puncak Mega. Puncak Mega menurutnya, salah satu pegunungan lebat yang ketinggiannya 3.000 meter di atas permukaan air laut. Tak ada kendaraan yang berani lewat bila kabut sudah turun, terlebih di malam hari. Selain kiri kananya jurang curam, faktor keamanan lain, yang enggan mereka jelaskan. Nah lho, kalau untuk uruan ini kami akhinya sepakat menginap di Wamena dulu.

Double Gardan: Medan yang berat menjadikan hanya kendaraan double gardan seperti ini yang mampu menembus Papua Pegunungan Tengah (Asep Burhanudin)
Double Gardan: Medan yang berat menjadikan hanya kendaraan double gardan seperti ini yang mampu menembus Papua Pegunungan Tengah (Asep Burhanudin)
Jalur Puncak Mega, ketika itu belum diaspal, cukup lebar dan bisa dilalui dua kendaraan besar saat berpapasan. Di jalur ini sering terjadi kecelakaan karena  sering berkabut baik siang, terlebih malam haru. Sebagai pengingat pengendara di pinggir jalan teronggok puing bekas mobil yang sudah tak berbentuk akibat terjun ke bawah.

Menginap di Wamena

Masih untung hotel Baliem Pilamo sedang tidak banyak tamu, sehingga dengan kamar pas- pasan kami pun langsung check in di hotel ini yang untuk ukuran Wamena tergolong paling bagus dan lengkap.Cuaca dingin, sekalipun kamar hotel tanpa AC menjadikan rombongan kami sepertinya lebih banyak mengurung diri di dalam kamar dari pada keluar untuk jalan jalan. Mungkin, hanya satu dua orang yang mencoba ke luar ruangan, itu pun sebatas di teras dalam untuk merokok saja.

Hujan mulai reda dan kabut pun perlahan mulai sirna. Waktu itu baru menunjukan pukul 20.00 WIT. Jalan sudah mulai lenggang, hanya satu dua motor melewati jalan depan hotel. Atas ajakan teman se kamar, saya akhirnya keluar untuk melihat kota Wamena di malam hari. Jaket tebal lagi- lagi masih dirasa kurang, namun tidak mengurungkan niat kami untuk sekedar menuju satu- satunya super market yang masih buka di sana. Jangan harap Mol segede dan selengkap di kita, Mol Rotan, namanya, merupakan satu-satunya yang ada di Wamena dan masih buka. Tak banyak warga lokal yang belanja di sana, hanya beberapa pendatang yang terlihat belanja kebutuhan sehari hari. Beberapa turis bule terlihat belanja yang sama dengan kita. Menilik pakaiannya, mereka pun sama seperti kita, mau melanjutkan perjalanan ke pedalaman Papua.


Melanjutkan Perjalanan

Pagi buta saya sudah berkemas, air panas hotel cukup membantu untuk membasuh badan kami yang sudah hampir 24 jam tak dibersihkan. Tepat pukul.08.00 kami berangkat dengan 7 unit mobil double gardan konvoi beriringan. Mobil kami rata rata keluaran terbaru. Namun karena kurang perawatan dan dijadikan omprengan, bau apek pun selalu menusuk hidung dari balik jok mobil mahal ini.

Istirahat: Sejenak istirahat sebelum melanjukan kembali perjalanan (Asep Burhanudin)
Istirahat: Sejenak istirahat sebelum melanjukan kembali perjalanan (Asep Burhanudin)
Dari Wamena ke pertigaan menuju Bokondini jalan masih terasa mulus, sekalipun beberapa ruas jalan mulai mengelupaskan aspalnya. Jalan mulai menjadi tantangan rombongan kami setelah melewati pertigaan itu. Udara segar dan pemandangan yang bagus kerap dirusak dengan guncagan mobil akibat jalannya yang licin dan berlubang. Saking besarnya lubang saya harus selalu waspada menutup kaca samping. Kalau tidak, air bercampur lumpur pasti masuk ke dalam. Sopir rupanya sudah biasa menghadapi medan seperti ini. Tanpa keluhan dia sigap mengatur gigi tambahan manakala mendapat jalan berlubang penuh kubangan air dan terus menanjak.

Jalan Mobil Tertinggi di Indonesia

Jalan rusak tak henti- hetinya terus diterjang, beberapa jembatan pun banyak terputus akibat gerusan air. Akibatnya, warna mobil sudah tidak kelihatan aslinya, tertutup lumpur hitam pekat. Untuk melewati beberapal ruas jalan malahan kami terpaksa harus mendorong kendaraan saking gedenya kubangan.Tiga jam kemudian kami baru tiba di puncak gunung yang dinamai Puncak Mega yang berketinggian 3.000 MDL tadi. Saking tingginya permukaan jalan di sini, udara terasa dingin padahal waktu masih menunjukan pukul 11.00 siang. Merasa aneh jalan mobil melintas di ketinggian seperti ini menjadikan kami berhenti untuk sekedar menikmati dinginnya udara serta gugusan pegunungan dari ketinggian. Sebagai perbandingan, di Jawa Barat, puncak Gunung tertingginya saja, seperti Ciremai sekitar 2.650 MDPL. Untuk mencapai puncaknya, kita harus bersusah payah. Di sini ketinggian melebihi Ciremai, namun dengan mudahnya kita bis berada di atasnya.

Puncak Mega: Jalur provinsi di Puncak Mega yang berketinggian 3000 MDPL (Asep Burhanudin)
Puncak Mega: Jalur provinsi di Puncak Mega yang berketinggian 3000 MDPL (Asep Burhanudin)
Jalur Puncak Mega, ketika itu belum diaspal, cukup lebar dan bisa dilalui dua kendaraan besar saat berpapasan. Di jalur ini sering terjadi kecelakaan karena  sering berkabut baik siang, terlebih malam hari. Sebagai pengingat pengendara, di pinggir jalan teronggok puing bekas mobil yang sudah tak berbentuk akibat terjun ke bawah. Menurut para sopir, jika malam hari, seseorang kalau tidak mendesak tidak diperkenankan turun sendirian.Binatang buas, seperti srigala masih banyak berkeliaran di jalur ini.
Istiraha di Puncak Mega (Asep Burhanudin)
Istiraha di Puncak Mega (Asep Burhanudin)
Tiba di Karuba

Puas menikmati Puncak Mega kami meneruskan kembali perjalanan. Terpaut satu jam kemudian kami mulai memasuki kota Karubaga, Ibu Kota Tolikara. Jalan aspal mulai terlihat walau banyak mengelupas, menandakan kawasan perkotaan sudah di pelupuk mata. Jalanan terus menurun. Di sebelah kiri mulai terlihat honai (rumah penduduk), sekalipun letaknya tak beraturan, setiap honai memiliki pagar setinggi satu meteran dengan pintu gerbang bertangga. Katanya, supaya bagi piaraan mereka tak bisa keluar.

Kota Karubaga, Ibu Kota Kab. Tolikara (Asep Burhanudin)
Kota Karubaga, Ibu Kota Kab. Tolikara (Asep Burhanudin)
 Jangan berharap Kota Kabupaten sama dengan kota lainnya di Indonesia.Mol, jalanan mulus dan taman kota menghiasi sebagai karakter kota. Di sini, jauh berbeda. Yang menandakan ini sebuah kota, terdapat dereta bangunan beratap seng dengan dinding triplek atau kayu papan. Bangunan ini merupakan kawasan pertokoan yag menjual aneka keperluan masyarakat setemat. Kawasan petokoan mayoritas milik para pendatang asal P Suawesi.
Bekas Hotel Bintang: Di Karubaga terdapat sebuah bangunan bekas hotel, namun entah kenapa bangunan masih baru ini tidak difungsikan dan dijadikan kegiatan pemeritahan Tolikara (Asep Burhanudin)
Bekas Hotel Bintang: Di Karubaga terdapat sebuah bangunan bekas hotel, namun entah kenapa bangunan masih baru ini tidak difungsikan dan dijadikan kegiatan pemeritahan Tolikara (Asep Burhanudin)
Saat itu jalan masih belum berhotmik, terlebih di setiap perempatan terdapat  lampu stopan pengatur lalu- lintas.  Bahkan listrik pun nyala hanya malam hari saja. Beberapa warga asli Papua terlihat bergerombol di pinggir jalanan yang berdebu pekat. Dengan pakaian, mereka terlihat mengunyah pinang yang sesekali diludahkan di sembarang tempat. Akibatnya bisa diterka, warna merah bekas ludahan pinang kerap ditemui di pinggir jalan.
Kota Karubaga di malam hari (Asep Burhanudin)
Kota Karubaga di malam hari (Asep Burhanudin)
Cukup lama saya mengitari kota Karubaga yang dingin ini, Kantor Polres berdampingan dengan rumah dinas bupati dan hanya dipisahkan kantor Distrik Karubaga. Di samping kiri kanannya sekolah SD dan SMP. Sementara di bagian belakang Kantor polres terdapat deretan pertokoan yang terbuat dari triplek beratapkan seng juga. Cukup komplit toko di sini, selain menjual aneka kebutuhan pangan, juga pakaian. Bahkan fasilitas hiburan seperti meja bilyar pun tersedia.Kota Karubaga seperti terbelah dua oleh Bandara Karubaga yang berada persis di tengah tengah. di sayap atau sebrang kantor polres terdapat gedung Bank Papua, Kantor Koramil serta deretan pertokoan sejenis. Para pedagang di Karubaga kebanyakan kaum pendatang yang mayoritas dari Sulawesi. Di taksir tidak kurang 200 pertokoan milik mereka mengitari sisi kiri kanan Bandara. Sementara kantor pemerintahan Bupati dan rumah dinas DPRD berada di bagian atas jauh dari perkotaan.
Tarian Papua. Masyarakat Tolikara tengah menari khas mengitari Kota Karubaga (Asep Burhanudin)
Tarian Papua. Masyarakat Tolikara tengah menari khas mengitari Kota Karubaga (Asep Burhanudin)
Tolikara merupakan pemerintahan baru hasil pemekaran dari kabupaten Induknya Kabupaten Jaya Wijaya 10 tahun lalu. Setidaknya ada 46 distrik, setingkat kecamatan di Tolikara. Penduduk Tolikara, berdasarkan sensus 2010 sekitar 270.327 Jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki 149.483 jiwa dan perempuan 120.844 jiwa.

Berapa Biaya ke Tolikara

Sekalipun kami ke sana seluruhnya dibiayai kantor, saya bisa menyimpulkan berapa dana yang dibutuhkan sebenarnya bila kita berkunjung  sendiri. Bila kita berangkat dari Jakarta, ada baiknya menggunakan maskapai yang menerapkan tarif rendah.

Ramah; Masyarakat Pegunungan Tengah papua umumnya ramah, ini bisa dicirikan ketika warga membantu membersihkan kotoran yang menempel di jaket. (pribadi)
Ramah; Masyarakat Pegunungan Tengah papua umumnya ramah, ini bisa dicirikan ketika warga membantu membersihkan kotoran yang menempel di jaket. (pribadi)
Memang Garuda atau Batik Air yang memberikan fasilitas lengkap, namun Lion juga memberikan keleluasaan, artinya membiarkan penumpang membawa makanan dan minuman buat disantap di dalam pesawat saat mengudara. Kalau Garuda bisa transit di Makasar, terkadang Lion bisa langsung tanpa transit, sehingga wajib hukumnya bawa nasi bungkus di pesawat karena lama penerbangan sekitar 7 hingga 8 jam. Harga Tiket rata rata Rp.7,5 juta berarti PP sekitar Rp.15 jutaan. Sementara dari Jayapura dilanjutkan ke Wamena dengan Trigana yang sekali jalan sekitar Rp.500 ribu, berarti PP sekitar satu juta rupiah. Dari Wamena, kalau mencarter mobil sekitar Rp.2,5 juta/ hari.
dsc-0270-5739aa2f707a61890c79e4e6.jpg
dsc-0270-5739aa2f707a61890c79e4e6.jpg
Tapi untuk perorangan sekitar Rp.250.000 sekali jalan. Sebetulnya dari Wamena ke Karubaga ada penerbangan yang dioperasikan Susi Air. Harga tiket dan keberangkatannya sangat tidak jelas bergantung cuaca dan kosongnya penumpang. Pesawat ini lebih mengutamakan warga lokal yang harganya relatif murah sekitar Rp.300 ribu sekali jalan. Selamat mencoba!!!  (Asep Burhanudin)

Catatan:

Kisah perjalanan ini saya tulis dua tahun lalu, mungkin sejalan dengan derap pembangunan di sana, sudah mulai mengalami perbaikan, termasuk beberapa ruas jalan sudah mulus diaspal. Lapangan wamena, misalnya kini sudah setara dengan bandara internasional.

(Asep Burhanudin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun