Cukup lama kita mengurus barang bawaan pribadi dan barang milik bersama. Ini dikarenakan perwakilan atau orang kita di sana hanya seorang diri. Dia lebih mengutaamakan mencari mobil carteran tambahan untuk melanjutkan perjalan kami ke tempat tujuan, yakni Karubaga, Ibu Kota Tolikara. Katanya, mobil yang semula dia carter 5 unit ditaksir tidak bakalan cukup, sehingga harus ditambah 3 unitan lagi. Lagi-lagi karena udara yang dingin dan segar menjadikan saya dan rombongan tetap dibuat betah, sekalipun tertahan beberapa jam. Saya lebih banyak mengabadikan aktifitas warga lokal yang menjual pinang, jeruk dan kerajinan untuk buah tangan wisatawan di pinggir jalan.
Kabut mulai turun, udara dingin mulai menusuk persendian tulang. Jacket yang sejak awal nempel rapat di badan rupanya tak bisa mengusir seluruh hawa dingin pegunungan Wamena. Hal ini menjadikan waktu makan dipercepat. Ada beberapa rumah makan yang katanya sudah menjadi langganan pelancong di Wamena. Kami lebih memilih restauran yang berada di kompleks Hotel Baliem Pilamo. Katanya selain bersih, masakannya pun cukup enak dan beragam menu pilihan. Benar juga, setiba di sana, ruangan restouran cukup representatif. Jejeran kursi bisa menampung 40 orangan, ditambah aneka menu yang banyak. Di antara menu khas Wamena, yakni Udang selingkuh bakar atau ikan nila goreng. Udang selingkuh, begitu dinamainya, karena badannya udang sementara kakinya mirip kepiting, katanya seperti akibat perselingkuhannya. Ada-ada saja!!!
Hujan mulai turun sementara kabut semakin tebal menjadikan kami enggan untuk meninggalkan ruang makan. Saya mulai menangkap ada ketidakberesan ketika melihat beberapa sopir carteran berbisik - bisik di antara mereka. Saya coba hampiri, dan sempat dibuat kaget ketika seorang di antara mereka mengatakan enggan melanjutkan perjalanan dengan cuaca seperti ini. Katanya cukup riskan memaksakan jalan dengan cuaca seperti begini. Mereka mengkhawatirkan kabut akan semakin tebal ketika sudah sampai di pertengahan jalan nanti. Daerah yang mereka khawatirkan yakni lintasan Puncak Mega. Puncak Mega menurutnya, salah satu pegunungan lebat yang ketinggiannya 3.000 meter di atas permukaan air laut. Tak ada kendaraan yang berani lewat bila kabut sudah turun, terlebih di malam hari. Selain kiri kananya jurang curam, faktor keamanan lain, yang enggan mereka jelaskan. Nah lho, kalau untuk uruan ini kami akhinya sepakat menginap di Wamena dulu.
Menginap di Wamena
Masih untung hotel Baliem Pilamo sedang tidak banyak tamu, sehingga dengan kamar pas- pasan kami pun langsung check in di hotel ini yang untuk ukuran Wamena tergolong paling bagus dan lengkap.Cuaca dingin, sekalipun kamar hotel tanpa AC menjadikan rombongan kami sepertinya lebih banyak mengurung diri di dalam kamar dari pada keluar untuk jalan jalan. Mungkin, hanya satu dua orang yang mencoba ke luar ruangan, itu pun sebatas di teras dalam untuk merokok saja.
Hujan mulai reda dan kabut pun perlahan mulai sirna. Waktu itu baru menunjukan pukul 20.00 WIT. Jalan sudah mulai lenggang, hanya satu dua motor melewati jalan depan hotel. Atas ajakan teman se kamar, saya akhirnya keluar untuk melihat kota Wamena di malam hari. Jaket tebal lagi- lagi masih dirasa kurang, namun tidak mengurungkan niat kami untuk sekedar menuju satu- satunya super market yang masih buka di sana. Jangan harap Mol segede dan selengkap di kita, Mol Rotan, namanya, merupakan satu-satunya yang ada di Wamena dan masih buka. Tak banyak warga lokal yang belanja di sana, hanya beberapa pendatang yang terlihat belanja kebutuhan sehari hari. Beberapa turis bule terlihat belanja yang sama dengan kita. Menilik pakaiannya, mereka pun sama seperti kita, mau melanjutkan perjalanan ke pedalaman Papua.
Melanjutkan Perjalanan
Pagi buta saya sudah berkemas, air panas hotel cukup membantu untuk membasuh badan kami yang sudah hampir 24 jam tak dibersihkan. Tepat pukul.08.00 kami berangkat dengan 7 unit mobil double gardan konvoi beriringan. Mobil kami rata rata keluaran terbaru. Namun karena kurang perawatan dan dijadikan omprengan, bau apek pun selalu menusuk hidung dari balik jok mobil mahal ini.
Jalan Mobil Tertinggi di Indonesia
Jalan rusak tak henti- hetinya terus diterjang, beberapa jembatan pun banyak terputus akibat gerusan air. Akibatnya, warna mobil sudah tidak kelihatan aslinya, tertutup lumpur hitam pekat. Untuk melewati beberapal ruas jalan malahan kami terpaksa harus mendorong kendaraan saking gedenya kubangan.Tiga jam kemudian kami baru tiba di puncak gunung yang dinamai Puncak Mega yang berketinggian 3.000 MDL tadi. Saking tingginya permukaan jalan di sini, udara terasa dingin padahal waktu masih menunjukan pukul 11.00 siang. Merasa aneh jalan mobil melintas di ketinggian seperti ini menjadikan kami berhenti untuk sekedar menikmati dinginnya udara serta gugusan pegunungan dari ketinggian. Sebagai perbandingan, di Jawa Barat, puncak Gunung tertingginya saja, seperti Ciremai sekitar 2.650 MDPL. Untuk mencapai puncaknya, kita harus bersusah payah. Di sini ketinggian melebihi Ciremai, namun dengan mudahnya kita bis berada di atasnya.
Puas menikmati Puncak Mega kami meneruskan kembali perjalanan. Terpaut satu jam kemudian kami mulai memasuki kota Karubaga, Ibu Kota Tolikara. Jalan aspal mulai terlihat walau banyak mengelupas, menandakan kawasan perkotaan sudah di pelupuk mata. Jalanan terus menurun. Di sebelah kiri mulai terlihat honai (rumah penduduk), sekalipun letaknya tak beraturan, setiap honai memiliki pagar setinggi satu meteran dengan pintu gerbang bertangga. Katanya, supaya bagi piaraan mereka tak bisa keluar.
Berapa Biaya ke Tolikara