Mohon tunggu...
Ronny P Sasmita
Ronny P Sasmita Mohon Tunggu... Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia -

Penyeruput Kopi, Provokator Tawa, dan Immigrant Gelap di Negeri Kesunyian

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kapitalisme Demokrasi, Ekonomi Rente, dan Pancasila

10 Maret 2016   05:11 Diperbarui: 10 Maret 2016   06:46 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Serta yang ketiga, menurut Hatta, adalah pengaruh paham komunisme. Terlepas seperti apa cara pandang kita sekarang terhadap paham kiri ini, bagaimanapun komunisme juga telah memberi landasan berfikir kritis bagi masyarakat Indonesia yang terjajah waktu itu untuk terus menyuarakan kemerdekaan dan menyuarakan hak-hak politik ekonomi kepada pemerintahan kolonial. Paham ini juga memberi cara pandang kritis pada masyarakat pribumi, terutama intelektual-intelektual muda pencetus gerakan kemerdekaan, dalam menilai bahwa kolonialisme-imprealisme adalah anak kandung dari kapitalisme.

Jika dilihat dialektika perdebatan menjelang dan setelah proklamasi kemerdekaan, hampir semua anggota BPUPK dan PPKI sepakat bahwa tatanan demokrasi yang ingin ditegakan di Indonesia bukanlah tatanan demokrasi yang memprioritaskan individualisme sebagaimana yang dianut oleh negara-negara liberal, tapi juga bukan tatanan yang menghancurkan hak-hak individu atas nama kolektifitas (negara) sebagaimana yang di anut oleh negara-negara berhaluan kiri.

Dalam perjalanannya sampai saat ini, tarik ulur antara indiviualisme dan kolektifisme mengejawantah ke dalam setiap fenomena demokrasi Indonesia. Ekonomi rente bertahan sebagai bagian dari eksistensi politik kolektif penguasa di satu sisi dan berlansungnya aglomerasi kapital di tangan-tangan segelintir konglomerasi menjadi indikasi kehadiran paham indiviualisme di sisi yang lain. Dan semua itu atas nama rakyat, baik rakyat yang mendapat akses dan priveledge untuk mengakumulasi modal sebanyak yang mereka bisa, maupun rakyat yang hanya punya hak mencoblos, kemudian terlupakan. Dan terbukti sampai hari ini bahwa demokrasi procedural yang berkembang di tanah ibu pertiwi adalah demokrasi yang tumbuh, hidup, serta berkembang biak untuk demokrasi itu sendiri, bukan untuk para pihak yang selalu kecewa atas apapun yang dicoblosnya di dalam bilik suara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun