Sehingga perkembangannya secara statistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas Pikkety dalam buku “Capital in The Twenty Century” dan oleh Stiglitz sendiri di dalam “The Price of Inequality” atau oleh Robert Reich dalam “Inequality for All”, tingkat pertumbuhan kekayaan kelompok ekonomi teratas jauh melampui tingkat pertumbuhan gaji para pekerja (wage) dan tingkat pertumbuhan standard hidup layak para pekerja (standard of living).
Menurut para ekonom ini, ada pergerakan tingkat pertumbuhan yang tidak singkron antara kelompok masyarakat kaya dengan masyarakat menengah ke bawah. Di satu sisi kekayaan para konglomerat terus tumbuh setiap tahun dengan angka yang cukup boombastis, sementara itu disisi lain gaji karyawan dan standar hidup layak para pekerja nyaris stagnan. Sehingga menimbulkan jurang (cliff) yang sangat tajam antara masyarakat kaya (the have) dengan masyarakat menengah ke bawah
Sementara itu secara politik, Francis Fukuyama, penulis buku kontroversial “The end of History and The Last Man” tahun 1992, yang sebelumnya begitu percaya diri dan agak jumawa mengatakan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme adalah tujuan akhir dari evolusi peradaban manusia, akhirnya meralat pendiriannya. Dalam karya-karya terbarunya, baik “ The Origin of Political Order – terbit tahun 2011” maupun “Political Order and Political Decay – terbit tahun 2014”, Frank, panggilan akrab beliau, mulai pesimis dengan perkembangan mutakhir demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas.
Kapitalisme dan demokrasi liberal telah memperlihatkan tanda-tanda yang kurang baik yang bisa merusak idealitas demokrasi itu sendiri. Frank, sebagaimana Joseph Stiglitz, menyayangkan berkembangnya model “rent seeking economic” yang ternyata berimbas buruk pada dunia politik. Ekonomi rente yang secara terus-menerus memberi peluang besar terhadap para pemilik modal untuk mengakumulasi kekayaanya malah mendorong terbentuknya pola patrimonialistik (political phatrimony) dalam sistem politik.
Menurutnya, model ekonomi rente mendorong terbentuknya relasi politik patron-klien (clientalism patern) yang sayangnya malah menumpulkan responsivitas pemerintah terhadap rakyatnya. Para pemilik modal dengan mudah menyetir arah kebijakan pemerintah, bahkan mereka mempunyai kemampuan memaksa di dalam proses pembuatan kebijakan karena piutang politik selama masa kontestasi yang harus dibayar oleh para politisi.
Melorotnya responsivitas pemerintah (the govern) terhadap kepentingan masyarakat pemilih berimbas pada memburuknya kualitas akuntabilas publik. Pemerintah merasa jauh lebih bertanggung jawab kepada kemajuan usaha dan akumulasi modal segelintir orang ketimbang kepada rakyat. Sehingga akhirnya demokrasi sebagai sebuah imperatif moral dan sebagai sistem instrumental yang mendorong aktualisasi kebebasan dan kemanusiaan malah terdegradasi sedemikian rupa. Demokrasi kembali ke sistem scumpeterian (merujuk pada pemikir ekonomi fenomenal Joseph Scumpeter) yang sangat teknis dan prosedural.
Kondisi seperti ini pula yang kemudian disinyalir oleh Larry Diamond sebagai penyebab tersendatnya proses konsolidasi demokrasi di banyak negara dan mengakibatkan resesi demokrasi secara massif di berbagai belahan dunia yang sebelumnya sempat tersapu oleh gelombang demokratisasi ketiga versi Samuel P. Huntington. Relasi negara dan para pemilik modal semakin hari semakin mesra atas nama demokrasi. Disatu sisi, rakyat tetap dibiarkan memilih secara bebas, tapi disisi lain apapun pilihan rakyat pada akhirnya hanya menjadi basa basi politik untuk memperbaharui aktor-aktor yang akan meneruskan pengabdiannya kepada pemilik modal dan pasar.
Nah, secara fundamental- ideologis maupun secara historis, demokrasi pancasila lahir dari perdebatan-perdebatan yang tak jauh berbeda dengan dialektika pemikiran demokrasi ini. Para founding father kita, mulai dari Soekarno, Hatta, Syahrir, Soepomo, Moh. Yamin, Agus Salim, bahkan Tan Malaka, dan lain-lain, berjibaku secara intelektual untuk melahirkan garisan ideologis yang “pas” dan “pantas” untuk Indonesia waktu itu, baik pada masa pra kemerdekaan maupun beberapa waktu setelah deklarasi kemerdekaaan Indonesia.
Selain bersaing dalam memberikan landasan ideal untuk ideologi Indonesia yang baru merdeka, mereka juga saling mencarikan landasan empirik dan historis bahwa sebenarnya demokrasi telah berlangsung lama di Indonesia jauh hari sebelum istilah demokrasi itu lahir. Salah satunya menurut pandangan Hatta, misalnya. Hatta menyatakan, ada tiga fakta yang mengindikasikan bahwa demokrasi telah berlangsung lama di Indonesia jauh hari sebelum kemerdekaan.
Pertama adalah adanya tradisi “rembuk desa” yang sudah berlangsung sedari dulu di banyak daerah di Indonesia dimana keterlibatan langsung masyarakat desa sangat berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan sebuah desa. Kedua, kedatangan Islam ke nusantara juga telah memberi cara pandang baru bagi masyarakat nusantara dalam mengidentifikasi diri terhadap sistem yang lebih luas (sistem sosial, ekonomi, politik, dll). Menurut Islam, semua manusia sama dihadapan tuhan, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan masing-masing manusia.
Disatu sisi, cara pandang Islam ini sangat berpengaruh terhadap masayarakat Hindia Belanda waktu itu dimana sekat-sekat sosial ekonomi tidak lagi membedakan status seseorang di dalam masyarakat . Dan disisi lain, pandangan ini juga sangat berjasa dalam menghapus sistem feodalisme eksploitatif yang sudah berlangsung lama di hampir semua dataran nusantara karena setiap masyarakat akhirnya merasa berkedudukan sama dalam tatanan sosial politik.