Kementerian Perdagangan Tiongkok mengatakan kepada media, mulai tahun ini pemerintah tidak akan lagi menetapkan target tahunan untuk aktivitas perdagangan luar negeri. Hal ini diambil setelah Presiden Xi Jinping menetapkan orientasi ekonomi terbaru Tiongkok yang berbasis pada konsumsi dan jasa. Dihapusnya kebijakan penetapan pertumbuhan perdagangan tahunan pada 2016, terbukti menjadi pilihan bijaksana, karena ekspor berkemungkinan akan menjadi terus memburuk, sebelum kembali ke jalur pemulihan.
Tapi bagaimanapun, diperkirakan aktivitas perdagangan luar negeri masih akan mendapat tekanan yang besar sepanjang 2016, meskipun peningkatan permintaan berpeluang melonjak secara temporer. Sehingga Beijing harus tetap waspada karena ekspor yang lemah, berpotensi menimbulkan risiko pelemahan ekonomi Tiongkok lebih lanjut. Dengan kata lain, pemerintah Tiongkok harus bersiap-siap mengeluarkan kebijakan fiskal terbaru untuk mengantisipasinya.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Secara umum, nilai ekspor Indonesia turun 20,72% secara year on year pada Januari dibandingkan penurunan 15,2% menurut estimasi pasar. Meskipun memang menorehkan surplus, surplus neraca perdagangan ternyata ditopang oleh impor yang merosot semakin tajam pada bulan pertama 2016. Data dari BPS menunjukan bahwa nilai impor barang ke Tanah Air merosot 17,15% pada Januari setelah turun 16,02% pada Desember. Ini menandakan bahwa demand domestic masih belum pulih, terutama untuk barang modal dan bahan baku.
Perlambatan ekonomi Tiongkok terbukti menggerus nilai ekspor Indonesia ke negeri tersebut. Tiongkok digeser oleh Jepang sebagai negara penerima ekspor nonmigas nomor dua setelah Amerika. Ini adalah indikasi bahwa permintaan dari Tiongkok benar-benar sedang melambat sesuai dengan dinamika ekonomi domestiknya. Namun sebaliknya, justru negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari 2016 ditempati oleh Tiongkok dengan nilai US$2,48 miliar (26,86 persen), Jepang US$0,90 miliar (9,73 persen), dan Thailand US$0,66 miliar (7,20 persen).
Devaluasi yuan dan stagnasi ekonomi Jepang akan membuat produk dari kedua negara ini membanjiri pasar dalam negeri, karena memang itulah yang mereka harapkan. Lalu bagaimana dengan produk dan komoditas non mogas kita? Komitmen pemerintah yang bertekad meningkatkan pertumbuhan sektor nonmigas sampai 8%an harus diiringi dengan penemuan pangsa pasar baru, karena kedua negara utama Asia ini memang sedang dalam posisi bertahan. [caption caption="www.centralfutures.com"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H