[caption caption="blog.kelapa-sawit.com"][/caption]Berkebun sawit itu gampang-gampang susah. Bahkan belakangan ini, susahnya lebih banyak ketimbang gampangnya. Harga jual yang berbeda itu sudah biasa, karena kebun sawit rakyat Kabupaten Agam Sumbar dicap tak berstandard korporat lantaran dikelola secara mandiri. Yang penting berbuah, petik, kemudian hubungi tengkulak, barang ditimbang, lalu terima uang. Berapapun harga tak jadi soal. Toh jika ditawar-tawarpun, harga tetap mangkrak ogah bergerak, alih-alih naik, yang ada kian meluncur ke bawah.
Jika terus ditawar, tengkulak kesal, tak jadi sawit diganti pakai uang. Jika tak jadi, uang gagal masuk saku. Persoalanya, sawit tak mungkin dimakan pakai nasi, la wong bukan lalapan. Tak dijual, ujung-ujungnya busuk. Sawit busuk, uang tak dapat, anak bini mau makan apa. Anak sekolah diongkosin pakai apa. Bensin motor mau dibayar pakai daun singkong, tentu tak mungkin.
Kebun sawit kepunyaan sendiri itu secara bisnis punya logika tersendiri, jika tak mau dibilang logika terlantar, logika buangan para pembesar. Berbeda dengan sawit korporasi atau sawit koperasi yang sudah jadi anak asuh korporasi (konglomerasi). Mereka tinggal produksi, sistem dan standard telah ditetapkan, hargapun tentu telah disepakati untuk jangka waktu tertentu.
Konon, koperasi-koperasi ini adalah badan usaha-badan usaha dari marga atau suku tertentu, jika tak mau saya bilang sebagai atm berjalan para petinggi adat. Entah warga sukunya makan ayam atau bangkai ikan bersayur singkong, makan pakai piring atau tempurung, itu lain soal. Sawit tetap berproduksi, gocek pengelola dan pembesar-pembesar adat makin bengkak, hidupnya kian mentereng. Bahkan konon ada yang menyewa bodyguard karena merasa parno jangan-jangan ada warga suku yang tak terima dengan ketimpangan yang disengaja ini.
Lucunya itu memang dibagian ini, sudahlah mereka menikmati sendiri-sendiri, harga sawit yang didapat dari pabrik pengolahan adalah harga istimewa pula. Kurang apa coba hidup mereka. Konon uang saku miliaran sudah menjadi rahasia umum. Mobil mentereng ditengah nagari sudah menjadi pemandangan biasa. Maksudnya pemandangan yang dipaksa terasa biasa, daripada uang mereka dipaksa bekerja untuk menakut-nakuti para penentang tetua, ya mending dianggap biasa saja. Ya tetua, tetua adat maksudnya, setidaknya begitulah mereka mem-branding badannya. Tetua adat makan sendiri, abis makan membakar rokok, lalu sisa puntungnya dilemparkan ke warga sukunya.
Bisa dibayangkan, puntung yang mereka buang dibeli pakai uang sawit yang harganya diatas sawit petani. Ini bagian lucu lainya. Di daerah ini, harga bukan kepunyaan pasar, harga bukan bentukan mekanisme pasar berdasarkan hukum permintaan dan penawaran (demand dan supply), karena harga adalah milik pembesar. Mengapa petani kebagian harga sisa? Karena petani bukan pembesar. Kebun sawitnya tak terlalu terawat dengan ukuran yang pas-pasan, karena modal investasinya pun tak seindah rekening para pembesar. Pahitnya lagi, Pemda setempat tak berniat memberi pelatihan, agar sawit petani bisa tokcer dengan harga yang mentereng. Pemda diam saja nampaknya, padahal banyak hal yang bisa mereka perbuat untuk para petani sawit.
Otoritas setempat bisa saja intervensi harga, atau jika itu tak diperbolehkan dalam hukum ekonomi, setidaknya ada kebijakan intervensi bagaimana caranya agar sawit petani punya kualifikasi seharga sawit pembesar-pembesar itu. Tapi mengapa tak dilakukan? Jawabnya toh sudah jelas, yang memberi makanan tambahan kepada penguasa lokal tentu bukan petani. Boro-boro mau kasih pemasukan tambahan kepada penguasa, menambah modal untuk investasi sawit saja nafas sudah kelangit rasanya. Buat beli pupuk, buat perawatan batang dan putik, buat pestisida ini dan itu, modal dari mana. Harapanya cuma pada buah sawit. Nah masalahnya, buahnya sekilo dihargai dibawah harga sebatang rokok. Lalu bagaimana ceritanya bisa kasih tambahan pemasukan buat penguasa? Elusif.
Soal aturan main penanaman juga semestinya ada pencerahan dari otoritas terkait, lalu soal perawatan tanaman sawit, dll. Sebetulnya banyak celah bagi penguasa untuk bermain, bermain dalam artian ikut menyejahterakan petani sawit. Tapi ya sudahlah, penguasa setempat paham betul bahwa petani sawit didaerahnya lumayan banyak, tapi mereka lebih paham bahwa ada beberapa konglomerasi perkebunan sawit juga disana. Sehingga keberpihakan yang menguntungkan sudah jelas arahnya kemana. Jadi saya pikir, jika situasinya masih seperti ini, jangan lah dicoba-coba menularkan cita-cita menjadi petani sawit kepada anak-anak anda. Toh hasilnya akan sangat mengecewakan.
Tapi bagaimana mungkin, untuk membuat sang anak beralih profesi selain menjadi petani sawit tidak mudah alias susah. Sekolahnya harus ditinggikan, ditinggikan sampai mana? La wong buat makan sehari-hari saja, hasil penjualan panen sawit tak cukup. Bisa tamat SMP ya syukur, apalagi bisa tamat SMA. Tamat sekolah semacam itu dibawa ke kota ya mau jadi apa? Mau jadi OB? Kalau jadi OB gajinya sama dengan gaji manager, ya tak jadi soal. Kan bisa diraba sendiri, bahkan gaji OB itu tak terdaftar di dalam gaji profesi karena jumlahnya off the record, terkadang hanya setengah dari UMR setempat. Lalu apakah tidak terlindungi pasal ketenagakerjaan?
Nah itu dia masalahnya, cuma OB kok, masa harus dilindungi pakai pasal-pasal. Toh mereka yang butuh pekerjaan, begitulah jawabanya. Lalu mau apa? Jadi petani sawit lagi, ya itu pilihan yang paling mungkin. Karena kalau anak disuruh merantau, memangnya ada uang sawit yang bisa dijadikan modal awal. Merantau butuh biaya awal, jika belum kerja, ya minimal bayar biaya hidup dirantau.
Soal tempat tinggal, ya masih bisa lah numpang disana sini, numpang disaudara atau di kawan-kawan sekampung yang kebetulan merantau di kota yang sama. Nah, apalagi merantau dengan niatan berdagang, itu lebih berat lagi karena kudu ada modal usaha. Sepertinya agak susah, bahkan susah sangat. Toh kondisinya sudah jelas seperti yang dipaparkan tadi, ya pasti susahlah jika harus mencarikan modal usaha buat anak merantau, yang benar saja.
Lalu sampai saat ini, dengan siapa petani-petani sawit berkawan, sampai-sampai tak ada yang memperjuangkan. Petani ya berkawan sesama petani, tak ada kelompok tani disini. Kelompok tani itu tak penting, tak ada gunanya. Oleh karena itu, dinas perkebunan atau dinas pertanian setempat tak terniat menginisiasinya.
Padahal jika ada niat kesana, intervensi pemerintah setempat bisa dilakukan via kelompok tani sawit ini. Bisa melakukan penyuluhan tentang penanaman atau perawatan tanaman sawit agar buahnya memiliki standard yang sama dengan permintaan pabrik, sehingga harganya bisa bersaing. Tapi ya sudahlah, otoritas setempat memang tak dioperasionalisasikan untuk petani. Itu pointnya. Mereka beroperasi sendiri, meskipun namanya dinas perkebunan atau dinas pertanian atau apalah, jika disuruh mengurus kebun, tentu akan mengotori pakaian seragamnya yang mentereng itu. Ini perkaranya.
Bagaimana mungkin mereka yang berseragam, yang sudah masuk kategori priyayi, harus disuruh kumpul-kumpul dengan petani, yang benar saja. Ini logika budaya toh, jadi tak perlu dibantah. Perasaan semacam itu sudah ada didalam jiwa para pekerja birokrasi sedari zaman raja monyet mengantarkan biksu Tong ke utara. Jadi jangan terlalu heran soal ini. Pendek kata, nasib petani sawit ya ada ditangan tengkulak, bukan ditangan pak Bupati atau ditangan pak Gubernur. Terlalu ngacok logikanya jika menggantungkan nasib ditangan mereka. Beliau-beliau itu bupati dan gubernur, mana mungkin mengurus petani, beda level, tolong dipahami itu. Titik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H