Lalu sampai saat ini, dengan siapa petani-petani sawit berkawan, sampai-sampai tak ada yang memperjuangkan. Petani ya berkawan sesama petani, tak ada kelompok tani disini. Kelompok tani itu tak penting, tak ada gunanya. Oleh karena itu, dinas perkebunan atau dinas pertanian setempat tak terniat menginisiasinya.
Padahal jika ada niat kesana, intervensi pemerintah setempat bisa dilakukan via kelompok tani sawit ini. Bisa melakukan penyuluhan tentang penanaman atau perawatan tanaman sawit agar buahnya memiliki standard yang sama dengan permintaan pabrik, sehingga harganya bisa bersaing. Tapi ya sudahlah, otoritas setempat memang tak dioperasionalisasikan untuk petani. Itu pointnya. Mereka beroperasi sendiri, meskipun namanya dinas perkebunan atau dinas pertanian atau apalah, jika disuruh mengurus kebun, tentu akan mengotori pakaian seragamnya yang mentereng itu. Ini perkaranya.
Bagaimana mungkin mereka yang berseragam, yang sudah masuk kategori priyayi, harus disuruh kumpul-kumpul dengan petani, yang benar saja. Ini logika budaya toh, jadi tak perlu dibantah. Perasaan semacam itu sudah ada didalam jiwa para pekerja birokrasi sedari zaman raja monyet mengantarkan biksu Tong ke utara. Jadi jangan terlalu heran soal ini. Pendek kata, nasib petani sawit ya ada ditangan tengkulak, bukan ditangan pak Bupati atau ditangan pak Gubernur. Terlalu ngacok logikanya jika menggantungkan nasib ditangan mereka. Beliau-beliau itu bupati dan gubernur, mana mungkin mengurus petani, beda level, tolong dipahami itu. Titik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H