Moody's Investor memutuskan untuk memangkas outlook peringkat utang Tiongkok menjadi negatif dari sebelumnya stabil. Moody's beralasan, langkah ini dilakukan karena perkembangan ekonomi Tiongkok yang kurang menggembirakan. Sebut saja misalnya penebalan utang pemerintah, melemahnya nilai mata uang, dan ketidakpastian atas kemampuan pemerintah untuk melakukan reformasi lebih lanjut.
Dalam pernyataan resmi yang dipublikasikan Rabu (2/3), Moody's menjelaskan, kekuatan fiskal pemerintah Negeri Panda mulai melemah dan ada kemungkinan bahwa pemerintah pusat harus menanggung sebagian kewajiban pemerintah lokal, sebagian risiko atas kebijakan bank, serta risiko yang ditanggung perusahaan milik negara. Selain itu, lanjut Moody's, penurunan cadangan devisa di tengah derasnya arus dana yang hengkang menunjukkan peningkatan risiko pada kebijakan negara, mata uang, dan pertumbuhan. Di sisi lain, kegagalan dalam menjalankan reformasi juga menunjukkan kredibilitas pemerintah China yang kian melemah di mata pelaku usaha.
Langkah yang diambil Moody's ini adalah langkah serupa yang sebelumnya telah dilakukan oleh Standard & Poor's. Sebelumnya S&P mengingatkan ancaman melonjaknya nilai utang lokal Tiongkok yang berpotensi menekan peringkat kredit negara tersebut. Dan kali ini, Moody's pun mengonfirmasi peringkat utang jangka panjang Tiongkok di level Aa3. Namun demikian, menurut Moody's, kondisi fiskal dan cadangan devisa Negeri Panda masih "cukup besar", sehingga memberikan waktu kepada pemerintah untuk mengimplementasikan sejumlah reformasi dan menyeimbangkan kembali perekonomian secara bertahap.
Moody's mengatakan, pihaknya akan terus memangkas rating utang Tiongkok jika reformasi yang dilakukan tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Selain itu, Moody's juga bisa merevisi outlook peringkat utang menjadi stabil lagi jika Tiongkok memangkas jumlah tanggungan dengan melakukan restrukturisasi perusahaan milik negara.
Secara historis, pengguntingan peringkat utang negeri panda ini mengingatkan kita pada sejarah panjang utang Tiongkok. Selama krisis keuangan tahun 2008, Beijing menginstruksikan semua pemerintahan daerah untuk membangun jalan, jembatan dan pekerjaan umum lainnya untuk menjaga kinerja ekonomi dan menjaga agar para pekerja tetap mempunyai pekerjaan. Imbasnya, kebijakan ini memicu ledakan pinjaman yang perbandingannya nyaris sama dengan utang Jepang sejak tahun 1980-an. Sehingga muncul fenomena yang disebut para analis sebagai “kecelakaan properti dan pasar saham”, seperti "bank zombie" di Jepang dimana perbankan dibebani gelembung utang yang buruk.
Pada akhir 1990-an, setidaknya seperempat dari kredit di negara ini kian memburuk karena bertahun-tahun pinjaman tersebut diarahkan oleh negara yang memicu bailout $ 650 miliar dari bank-bank milik pemerintah. Cilakanya, penumpukan utang kali ini terjadi di tengah pertumbuhan ekonomi yang ternyata kian bergerak lambat, bahkan paling lambat dalam 25 tahun terakhir sehingga mendorong Presiden Xi Jinping untuk menggeser kebijakan ekonomi yang semula fokus pada sektor konstruksi dan manufaktur ke sektor jasa dan konsumsi (rebalancing). China mencoba menjauh dari pengutamaan industri berat dan ekspor yang keduanya selama ini ditopang oleh utang yang intensif. Namun demikian, pemerintah pusat tetap mempertahankan kontrol atas bank-bank, transaksi valuta asing dan arus modal.
Tujuannya agar pemerintah tetap bisa memanipulasi (mengontrol) sistem keuangan yang sedang menanggung beban utang dan bisa membatasi risiko ledakan finansial. Ada pula asumsi yang mengatakan bahwa kebijakan kontrol ini diambil agar pemerintah tetap bisa menyalurkan uang ke dalam perekonomian untuk mencegah gelombang default. Kebijakan ini juga telah didukung oleh pasar saham Tiongkok yang sebelumnya terlihat sangat dinamis. Disisi yang lain, pada saat yang sama, pelan-pelan pemerintah memperkenalkan disiplin pasar bebas agar terhindar dari ancaman kebangkrutan masif.
Data mutakhir dari McKinsey menunjukan, total pinjaman di China melonjak ke posisi 282 persen dari PDB pada pertengahan tahun 2014 dari level 158 persen pada tahun 2007. Pertumbuhan utang ini merupakan pertumbuhan tercepat dibanding negara emerging market manapun, bahkan hampir dua kali lipat dibanding pertumbuhan utang di AS dan Inggris sejak krisis keuangan tahun 2008 lalu. Sebagian kalangan menilai bahwa ini bisa menjadi masalah yang lebih besar dibanding yang ditunjukan oleh data. Justru ada yang beranggapan bahwa kepanikan pasar bisa saja terjadi karena sejatinya sulit untuk mengetahui berapa sebenarnya jumlah pinjaman yang tidak dibayar. Pasalnya, banyak lobang manipulatif dari peraturan yang ada dan praktik shadow banking yang semakin meluas akhirnya membuat prakiraan angka-angka sulit untuk dipercaya.
Kalangan yang masih optimis dengan perkembangan ekonomi Tiongkok mengatakan bahwa kekhawatiran yang berkembang tentang utang China adalah sesuatu yang berlebihan. Karena perusahaan dan pemerintah daerah hanya dapat tumbuh dan menemukan jalan keluar jika terjadi perluasan aktifitas ekonomi yang mendukung peminjam dan menciptakan inflasi, yang kemudian bisa mengikis beban pembayaran utang, begitu juga tingkat suku bunga tabungan yang tinggi dan bantuan untuk surplus current account.
Namun kalangan yang pesimis mengatakan bahwa masalahnya bukanlah masalah mengoreksi tingkat utang itu sendiri, tapi sejauh mana para pembuat kebijakan berjuang mengatasi kredit bermasalah dan mencegah terjadinya default. Sehingga opsinya meliputi pemotongan suku bunga, memperluas swap utang, termasuk untuk pinjaman lunak, lalu bank mendorong penjualan aset serta membuka peluang bagi banyak perusahaan untuk mengumpulkan dana melalui penjualan saham di bursa. Salah satu yang memperingatkan soal utang ini adalah Charlene Chu, mantan analis Fitch Ratings. Menurutnya, bahaya semakin meningkat karena ekonomi China semakin mendingin dan inflasi kian lambat sehingga utang semakin sulit untuk dilunasi. Bahkan ada risiko bahwa utang di China bisa menjadi hambatan pertumbuhan ekonomi global untuk beberapa dekade mendatang.
Pendekatan utang ini (dept level) menjadi salah satu teori yang mencoba menjelaskan perlambatan ekonomi Tiongkok, selain pendekatan "rebalancing" yang diperkenalkan oleh Micheal Pettis dari University of Peking. Masalahnya, terlalu berfokus pada masalah level utang bisa mengalihkan perhatian dari masalah yang sebenarnya dialami ekonomi Tiongkok, yakni masalah kualitas utang itu sendiri. Jika pinjaman yang dilakukan untuk membiayai kegiatan ekonomi yang produktif dan berkelanjutan, ini tentu saja bagus dan tidak perlu dikhawatirkan, alih-alih dianggap sebagai biang perlambatan. Jika utang dibuat untuk menggairahkan pasar atas nama pertumbuhan PDB, ini mungkin juga akan bagus dalam jangka pendek.
Tetapi jika pinjaman baru digelontorkan untuk roll over pinjaman lama, apalagi diinvestasikan pada perusahaan yang menggarap proyek gagal di satu sisi dan mereka menolak untuk mengakui kegagalan , apalagi mengakui sedang berada diambang kebangkrutan disisi lain, inilah situasi buruknya. Ancaman kredit macet yang bergulir terus akan menahan produktivitas China di masa depan, sama dengan yang dialami Jepang ketika perusahaan-perusahaan zombie membuat gelembung utang di negara itu meledak di awal 1990-an.
Faktanya, sampai sekarang, kualitas kredit di China terlihat tidak begitu baik. Namun seburuk apa persisnya, tidak ada yang mengetahui sama sekali, bahkan ada yang beranggapan situasinya lebih buruk dari yang dilaporkan. Jadi kalangan yang pesimis mungkin ada benarnya. Tapi bagaimanapun, masalah utang China tentu saja menjadi masalah yang tak terelakkan, sehingga pertanyaanya adalah apakah ini akan menimbulkan bahaya besar? Saya kira, masalah muncul ketika terdapat distorsi yang disebabkan oleh pinjaman yang buruk. Sehingga keluar dari kemerosotan tidak lagi cukup dengan hanya memotong atau meningkatkan utang atau memangkas suku bunga, tapi pemerintah harus menjamin bahwa sistem keuangan mempunyai nyali membiarkan perusahaan yang buruk untuk mati sebagaimana layaknya dan mengalokasikan modal untuk perusahaan yang sehat dan baik. Sanggupkah Tiongkok mengambil langkah tegas itu? Mari kita tunggu
[caption caption="Sumber: The Fiscal Times"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H