Catatan Kecil Brorivai dari L.A. Untuk Perdamaian Papua:
Ketika saya membaca buku Marianne Deborah Williamson tentang "A Politics of Love", yang menggambarkan semangat untuk revolusi baru Amerika, sontak saya berpikir tentang isu konflik di Papua yang hingga kini tak pernah padam.
Kasus munculnya aksi unjuk rasa di berbagai wilayah provinsi Papua dan Papua Barat yang menentang dugaan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur salah satu peristiwa yang dapat memicu gejala disintegrasi, bahkan dapat menabur benih kanker politik di Tanah Air.
Untuk mengatasi isu Papua, saya menganjurkan untuk dilakukan dengan pendekatan "Politik Cinta" ala Williamson dengan mengedepankan hak-hak sipil dan kesetaraan serta tidak menaburkan kebencian. Selain itu, memenuhi janji bangsa kita yang terus membangun Papua dalam satu bingkai kesatuan tanpa putus.
Dari esensi pemikiran Williamson, banyak yang saya dapat pelajari. Ia mengilustrasikan bahwa, pentingnya mengatasi politik kanker yang menakutkan dan perpecahan yang mengancam bagi negara khususnya Amerika Serikat hari ini.
Williamson mendesak semua orang Amerika harus sadar secara spiritual untuk kembali ke --- dan bertindak di luar dari --- nilai terdalam kita yakni "cinta".
Seperti kita tahu bahwa, Amerika adalah salah satu pencapaian sosial yang luar biasa. Dari kaum "abolisionis" yang berjuang untuk melarang perbudakan, hingga "suffragette" yang memperjuangkan hak warga negara, perempuan, hingga hak-hak sipil lainnya yang memerangi segregasi dan melembagakan supremasi kulit putih, mencari kesetaraan untuk semua dari generasi ke generasi, serta telah bangkit untuk memenuhi janji bangsanya.
Buku tulisan Williamson ini juga melukiskan tentang perjalanan sejarah Amerika selama ini yang sukses dan menempatkan para aktifis dan pergerakan yang terus memberlakukan nilai-nilai terdalam bagi bangsanya.
Namun hari ini, Ia menilai Amerika mulai menghadapi situasi kekacauan. Karena kanker ketakutan spiritual ikut mengancam tertundanya kemajuan yang telah dicapai. Perselisihan dan kebencian menyulut bubarnya ikatan komunal dan merusak semangat tanggung jawab sosial yang ada.
Dalam manifesto spiritual yang kuat Williamson ini, Ia menawarkan tonik bagi keganasan budaya yang kini terjadi. Ia mendesak untuk meniru para pahlawan masa lalu mereka dan tetap menjalani komitmen spiritual yang mendalam.
Menurutnya beberapa orang yang telah menaburkan kebencian, dimohonkan untuk segera kembali menabur cinta. Hal ini sangat relevan dan tercermin dalam kasus Papua di Tanah Air, yang pada dasarnya saat ini membutuhkan perhatian yang dalam dan terus konsisten untuk membangun peradabannya.
Hal ini segaris dengan pemikiran Williamson yang berpendapat bahwa, "kita harus melakukan lebih dari sekadar menanggapi masalah politik eksternal, kita juga harus mengatasi penyebab internal yang lebih dalam yang menyebabkan adanya disfungsi saat ini".
Kita membutuhkan politik cinta yang utuh dan seutuhnya yang tidak hanya berasal dari kepala tetapi dari hati, bukan hanya dari pemahaman intelektual tetapi dari kasih sayang yang tulus satu sama lain.
Dengan berkomitmen untuk mencintai, kita akan memberikan kontribusi yang berarti pada energi yang menggembirakan, mencegah keganasan, dan hal-hal yang mengganggu serta menekan eskalasi pada saat kritis.
Mengutip kata-kata Abraham Lincoln, "we must think anew, and act anew . . . and then we shall save our country." - artinya kita harus segera berpikir baru, dan bertindak baru dan bukan kemudian berhenti, tetapi kita segera mengambil langkah-langkah konkrit untuk menyelamatkan bangsa dan negara kita. "
Los Angeles, 29 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H