Mohon tunggu...
BRORIVAI_Center
BRORIVAI_Center Mohon Tunggu... Politisi - Kehadiran lembaga BRC pada dasarnya untuk kemajuan Sulsel

BRC ( BRORIVAI Center )

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Benarkah Pragmatisme Politik Menghadirkan Kepemimpinan Otakratis?

16 Juni 2019   17:23 Diperbarui: 16 Juni 2019   17:27 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Abdul Rivai Ras | Alumnus National Security Leadership, Elliot School of International Affairs, GWU

Gaya kepemimpinan ini tentunya sangat berkorelasi dengan sifat pragmatisme karena selalu merasa diri selalu benar sehingga keputusan hanya bertumpu pada dirinya sendiri. Apalagi ketika kekuasaan yang diperolehnya sangat sarat dengan pragmatisme politik yang banyak mengabaikan prinsip dasar demokrasi.

Bila ditelaah secara mendalam, pragmatisme itu adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.

Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual dan konkret. Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja.

Representasi atau penjelmaan realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta umum. Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan. Secara realitas filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.

Pragmatisme yang diaktualisasikan dalam dunia politik tentu terdapat keuntungan dalam kelompok dan pribadi tertentu. Sebaiknya kerugian besarnya adalah dapat menjelma pada tindakan yang a-demokratis karena banyak diwarnai dengan gaya kepemimpinan yang otokratis yang mengabaikan partisipasi publik secara luas.

So, What Next?

Bagaimana menyikapi pragmatisme politik dan mencegah potensi matinya demokrasi menjadi pekerjaan rumah kita semua.

Dalam pemikiran liberal, tentu pragmatisme tetap menjadi pertimbangan karena dinilai sebagai sebuah cara untuk menyatukan hal-hal yang realistik dan rasionalistik. Artinya bahwa dinamika politik masa kini yang sarat dengan perubahan dan pendekatan "revolutionary" memerlukan politik pragmatis dan disertai gaya kepemimpinan yang superioristik.

Hal ini menarik untuk menjadi pembelajaran dalam aktualisasi kepemimpinan politik yang berkembang di Indonesia. Setidaknya, kepemimpinan nasional yang baru dan dinyatakan terpilih secara sah kelak harus melakukan penguatan demokrasi yang subtantif.

Pemerintah yang berkuasa nantinya harus mampu menata sistem demokrasi yang dimulai dari revisi kesisteman politik dalam pemilu, regulasi hingga tata kerja lembaga politik yang lebih transparan dan akuntabel. Misalnya saja dalam mencegah mewabahnya pragmatisme politik, ke depan setiap warga negara yang ingin ikut dalam pertarungan kekuasaan harus menghindari pemanfaatan jaringan kekuasaan untuk kepentingan keluarga dan kerabat serta praktek politik uang.

Langkah ini dapat diambil dengan cara meningkatkan mekanisme pengawasan super ketat dan sistem kendali maupun sanksi yang menjerahkan terhadap pelanggaran atau kecurangan yang dilakukan oleh peserta maupun penyelenggara pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun