Mohon tunggu...
Brooklyn Margracia
Brooklyn Margracia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa kedokteran

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Bahaya Self-Diagnosis: Ketika Internet Menjadi Dokter Anda

3 Juni 2024   17:25 Diperbarui: 4 Juni 2024   11:00 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Bahaya Self-Diagnosis: Ketika Internet Menjadi Dokter Anda

Oleh Brooklyn Margracia Widjojo, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga 

Istilah "self-diagnosis" mungkin jarang diungkit tapi kita semua pasti tanpa sadar pernah melakukannya. Di era digital yang serba cepat ini, internet telah menjadi sumber informasi utama bagi banyak orang. Namun, ketika kita mulai mengandalkan "Dr. Google" untuk mendiagnosis gejala kesehatan, kita memasuki wilayah berbahaya. Meskipun mudahnya akses informasi kesehatan secara online bisa memberikan pengetahuan dasar, namun risiko self-diagnosis tidak bisa diabaikan. Ketika kita merasa sedikit tidak enak badan, mencari tahu penyebabnya di internet sering kali mengarah pada kesimpulan yang menakutkan dan tidak akurat. Mulai dari sakit kepala biasa yang dianggap sebagai gejala tumor otak hingga rasa lelah yang didiagnosis sebagai penyakit kronis, self-diagnosis bisa mengarah pada kecemasan yang berlebihan dan pengobatan yang salah. Artikel ini akan mengupas bahaya-bahaya yang mengintai di balik kebiasaan ini dan mengapa konsultasi dengan profesional kesehatan tetap menjadi langkah terbaik.

Apa itu self-diagnosis?

Self-diagnosis merupakan sebuah proses di mana seorang individu mengidentifikasi maupun menyimpulkan bahwa ia mengidap sebuah penyakit berdasarkan gejala yang ia alami saat itu tanpa melakukan konsultasi kepada tenaga medis profesional. Perilaku ini sering kali berupa mencari gejala-gejala penyakitnya secara online, menggunakan alat pemeriksa gejala tidak kredibel, membaca literatur medis, atau bergantung pada informasi dari sosial media dan sumber-sumber tidak terpercaya lainnya. 

Risiko dan bahayanya self-diagnosis

  1. Misdiagnosis: Self-diagnosis berpotensi tinggi untuk mengakibatkan misinterpretasi dari gejala-gejala yang dialami sehingga penderita mengabaikan kondisi mendasar yang sebenarnya ia alami. Hal ini mengakibatkan pengobatan yang perlu diperoleh juga berujung kurang tepat dan tidak sesuai dengan diagnosis yang sebenarnya. 

  2. Health anxiety: Self-diagnosis dapat meningkatkan rasa cemas dan stress akibat informasi yang didapatkan dari sumber tidak terpercaya itu sulit untuk diinterpretasikan tanpa bantuan dari tenaga medis. Selain itu, health anxiety dapat timbul karena  fenomena yang dinamakan worst-case scenario di mana seorang individu memilih untuk lebih fokus pada informasi yang mengkonfirmasi ketakutannya sehingga ia mengabaikan informasi yang menyatakan bahwa kondisinya bukanlah hal yang serius. 

  3. Delay in professional help: Self-diagnosis tidak jarang menimbulkan akibat yang lebih serius karena pengabaian dari gejala-gejala dasar yang sebenarnya menandakan penyakit akut atau penyakit yang serius. Tidak hanya itu, hal sebaliknya juga terjadi ketika seseorang salah mendiagnosis dirinya sendiri mengalami penyakit yang begitu parah sehingga takut untuk mendapatkan penanganan medis. Muara dari kedua perilaku tersebut adalah keterlambatan dalam mendapatkan penanganan medis yang vital bagi penderitanya. 

Pengaruh Sosial Media terhadap Mindset Self-Diagnosis 

Seperti yang kita ketahui, self-diagnosis ini merupakan salah satu efek domino dari penggunaan sosial media secara tidak tepat, baik dari yang pengguna awam maupun yang merupakan influencer atau figur masyarakat di sosial media yang memiliki banyak pengikut. Pasalnya, apabila kita menelisik lebih jauh mengenai pengaruh dari influencer ini, kita bisa mengerti bahwasannya mereka mendatangkan kombinasi informasi yang kurang tepat karena tidak melalui riset yang benar dan literatur medis yang terpercaya. Mereka lebih banyak menggunakan narasi yang dibentuk dari pengalaman pribadi yang telah didiagnosis dengan kondisi tertentu dengan gaya bahasa yang persuasif sehingga mempengaruhi orang lain yang menganggap kondisi yang mereka alami sama. Tidak hanya sampai di situ, hal ini pun mengantarkan pada situasi yang lebih buruk, yakni banyaknya orang yang menormalisasi self-diagnosis di mana karena pengaruh sosial media, influencer dengan pengikut yang banyak, serta narasi-narasi yang dramatis, khalayak luas memiliki mindset bahwa self-diagnosis adalah hal yang tepat karena sangat umum untuk dilakukan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun