Mohon tunggu...
Imamuddin
Imamuddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Guru Sekolah dasar Universitas Muhammadiyah Malang

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Rusak Karena Kebodohan

23 Februari 2024   00:07 Diperbarui: 23 Februari 2024   00:17 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaian orang tidak asing dengan kata 'belajar' bagi setiap orang menganggap belajar adalah sebuah aktivitas wajib yang dilakukan. Kata 'belajar' merupakan kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kata-kata tersebut sudah sering kita dengar di banyak hal, terutama dari orang tua kita serta guru-guru di sekolah. Mungkin sudah tidak termasuk kata 'belajar' yang disuarakan dan didengarkan, belajar, belajar, dan belajar...!!!.

Belajar merupakan kata berasal dari kata 'ajar' yang artinya petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui.

Secara Leksikal kata 'belajar' memiliki arti yaitu; 1) usaha untuk memperoleh kepandaian/ilmu, 2) berlatih, dan 3) perubahan perilaku laku atau respons yang disebabkan oleh pengalaman.

Dan banyak orang juga yang beranggapan bahwa 'belajar' hanya di tempat sekolah saja. Banyak orang tua mengirim anak -- nya untuk sekolah sebagai salah satu cara untuk menuntut ilmu akan tetapi hal ini keliru, kenapa? Sekolah bukanlah satu --satunya cara untuk menuntut ilmu...!!!.

Dalam buku Deschooling Society, Ivan Illich menyampaikan keyakinannya bahwa dalam menuntut ilmu, tidak hanya dilakukan di sekolah atau lembaga saja dan masyarakat harus dibebaskan dari pemikiran yang mengaggap bahwa sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan.

"Buku Deschooling Society  ini sangat menginspirasi. Seperti contohnya yang bisa kita ambil dari buku tersebut yaitu melahirkan kelas-kelas alternatif seperti diskusi yang sedang kita lakukan sekarang ini. Jika kelas seperti ini kan tidak dibatasi seperti membayar atau tidak bahkan diskusi ini juga diperbolehkan untuk menyampaikan pendapat sebebas-bebasnya tanpa mempengaruhi kelulusan atau tidak."

Pemikiran lain yang dapat ditemui pada buku Deschooling Society yaitu mendekonstruksi lembaga-lembaga yang mapan. "Illich melihat bahwa setelah sekian lama dunia ini dihiasi oleh sekolah-sekolah yang tak terhingga jumlahnya, tetapi cita-cita untuk membangun kemanusiaan tidak terbayar dengan mahalnya sekolah yang ada."

Selama menempuh pendidikan secara sadar maupun tidak, interaksi anatara guru dan murid dalam sekolah bisa jadi sebuah penindasan. Tak haya "penindasan" oleh guru kepada muridnya, penindasan juga terjadi antarmurid, seperti penindasan senior-junior di sekolah-sekolah. Parahnya, penindasan tetap terjadi sampai perguruan tinggi. Anehnya dendam bersabda, beberapa orang yang tertindas seringkali menjadi penindas untuk lainnya. Mewarisi budaya tindas-menindas dengan dalih melatih mental. Sedangkan yang tertindas lainnya hanya bisa saba, mentok ya mengumpat, ironis dari sebuah ketakutan.

Buku"Pendidikan Kaum Tertindah" menyampaikan mengenai Humanisasi (memanusiakan manusia) dan dehumanisasi (hilangnya harkat manusia). Paulo Freire menengaskan pentinganya pendidikan bagi kaum tertindas karena usaha untuk mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat untuk membesakan manusia dari bentuk penindasan dan ketertindasan.

Pendidikan merupakan sebuah pola pembentukan diri sebagai manusia. Kita percaya bahwa pendidikan merubah pola hidup, pikiran dan gaya hidup dari yang tidak tahu menjadi mengetahui. Tokoh pendidikan Paulo Freire mulai dikenal pada tahun 1950-an, ketika terlibat dalam pengajaran membaca dan menulis pada suatu kegiatan pendidikan pemberantasan buta huruf untk petani miskin dengan cara menggunakan kata-kata sehari-hari untuk mempercepat proses belajar membaca.

Dalam hal "membaca", sosok pemikiran Pauolo Freire, kemampuan Freire dalam bidang pendidikan yang memberi pencerahan sadar politik dan sadar berfikir kitis membuat Freire ditunjuk sebagai direktur Program nasional Pemberantasan buta Huruf Brasil pada tahun 1963.

Sangat jauh sekali dari apa  yang menjadi  pemikiran dari Freire, banyak orang tua siswa bodoh amat dengan cara seperti itu, yang seharusnya orang tua sebelum mengirim anak nya masuk sekolah, yang menjadi guru pertama adalah orang tua anak itu sendiri. Dimulai dari mengajar, mendampingi dan membimbing anaknya.

Permasalah terjadi dengan faktor sosial; Perkotaan dan perdesaan.  Di perkotaan tidak asing lagi orang tua siswa dengan kesibukan pekerjaan. Banyak tetangga saya dari kampung berkiprah atau berangkat jauh meninggalkan kampung untuk menjadi Asisten Rumah Tangga (ART) di kota. Permasalahan ini menjadi kebiasaan orang di perkotaan, sehingga mereka rela membayar mahal orang yang merawat anaknya di uisa dini.

Sedangkan di perdesaan, masyarkat dengan kondisi sosial dengan kendala; kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pendidikan rendah. Menyebabkan secara mengawasan orang tua terhambat dengan kendala -- kendala tersebut.

Perkembanagan Kognitif menurut Jean Piaget yaitu proses berfikir anak yang diperoleh dari hasil kemantangan individu dalam mengamati objek-objek yang ada di lingungannya. Pada anak usia dini diketahui bahwasanya kecerdasan anak harus diberi stimulus dengan baik misalnya orang tua memberikan rasa aman secara fisik dan emosional dan orang tua memberikan model rangsangan yang mengacup pada proses berfikir anak bisa dengan membuat hasil karya sesuai keinginan anak.

Sudah jelas apa yang menjadi sebuah pola pemikiran yang di jelaskan di atas merupakan metode khusus yang seharunya orang tua memahaminya...!!

Pragmatisme Pendidikan merupakan ancaman pendidikan di Indoensia saat ini. Pendidikan berupa memberikan kesadaran untuk anak bangsa dengan banyak trobosan yang ada di kurikulum pendidikan saat ini. Problematika yang terjadi sekarang, di awali dengan kesadaran orang tua yang rendah atas kesadaran dalam merawat dan mendampingi anaknya dan di tambah pengaruh sekolah yang menjadikan ajang kompetisi. Sekolah bukan lagi tempat mendidik, mengajar dan menciptakan anak -- anak bangsa dalam kecakapan intelektual, berakhlak dan berbudi pekerti yang luhur.

Kebodohan terjadi ketika kita menyadari bahwa sekolah menjadi ajang "egosentris". terjadi pada sekolah dasar, menegah pertama dan menegah atas bahkan di perguruan tinggin. Kebodohan itu karana sekolah tidak mampu memahami makna dari pendidikan, setiap saya naik kelas, saya di hadapkan dengan banyak orang yang saya tidak kenal, orang-orang itu bergembira ketika anaknya di panggil untuk berdiri di hadapan siswa lainya dan untuk menerima penghargaan dari sekolah "Ranking Kelas".

Bodohnya penghargaan itu bukanlah bahan sebagai mempertadalam hasil belajarnya. Justru penghargaan itu sebagai alat dan cara untuk membodohkan diri sendiri, dengan merendahkan orang lain, merasa diri paling benar, dan sebagai alat penindasan, Bullying dst.

Seorang pakar filsafat data yang bernama Reza A.A Wattimena, pernah malakuakn penelitian dan menulis problematika yang terjadi di pendidikan Indnesia. Sistem pendidikan Indonesia sekarang ini masih berpijak pada nilai ujian. Di dalam sistem ini, jawabanya atas semua pertanyaan sudah dirumuskan sebelumnya. 

Anak hanya perlu mengahafal dan mengulang jawaban tersebut di dalam kelas ujian yang disediakan. Dari proses ini, kemampuan akademiknya diukur. Namun, sayangnya proses semacam ini justru membutuhkan kreativitas berpikir anak. Pertanyaan-pertanyaan asli yang menarik dan merangsang kedalam berpikir juga dibunuh. Akibanya, kemampuan berfikir anak menjadi tumpul. Ia mengalami kesulitan untuk merumuskan pertanyaan, berpikir kritis, berpikir mandiri dan berpikir refleksi.

Yang ingin dicapai dengan proyek filsafat untuk anak, menurut Zeitler, adalah pembentukan cara berpikir anak. Proyek ini tidak mengajarkan anak, apa yang harus dipikirkan, melainkan metode untuk  berpikir, sehingga ia bisa sampai pada kesimpulan yang terbuka, kritis  dan masuk akal. Peran orang dewasa tentu sangat besar dalam hal ini.  

Tugas orang dewasa adalah menciptakan suasana yang memungkinkan anak-anak untuk berfilsafat, guna mengembangkan kemampuan  dan kedalaman berpikirnya. Suasana ini harus diciptakan tidak hanya  di sekolah, baik sekolah dasar maupun taman kanak-kanak, tetapi juga  di dalam keluarga. Orang tua harus bekerja sama sepenuhnya dalam  dialog dengan guru di sekolah, maupun dengan orang-orang yang  memiliki otoritas untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia.

Yang kedua, minat anak juga harus dipahami sepenuhnya. Seperti disinggung sebelumnya, proyek filsafat untuk anak tidak memberikan obyek untuk berpikir, melainkan metode untuk berpikir. Obyek berpikirnya, dengan demikian, bisa ditentukan oleh anak itu sendiri. Anak  yang suka musik akan mudah untuk diajak berpikir filosofis tentang  musik, karena itu langsung terkait dengan minatnya. Oleh karena itu,  orangtua dan guru harus menyediakan waktu, kesabaran serta kesadaran untuk mendengar secara sungguh-sungguh minat dan bakat anak.

Letak kesalahan pendidkan dan sistem yang ada adalah sekolah tidak mendukung metode pembelajaran yang menciptakan berfikir kritis[i]. Kelalaian sekolah tersebut membiarkan kebodohan yang terjadi selama ini. Bulying, pelecehan dan penindasan menjadi rumah yang ada di tempat pendidikan atau persekolah. Berfikir secara kritis adalah senjata untuk menjatuhkan prinsip -- prinsip egosentris, kaum penindas dan sistem pendidikan yang tidak relevansi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun