Kata education (pendidikan) berasal dari bahasa Latin, educare, yang artinya mengeluarkan. Jadi yang dilakukan dalam pendidikan itu sebenarnya fokusnya adalah mengeluarkan (potensi anak), dan bukan kegiatan memasukkan informasi dari luar kepada anak. Lalu bagaimana model pendidikan di negeri kita saat ini?
Tahukah anda bedanya mengejar anjing dan dikejar anjing? Keduanya sama-sama menguras tenaga, tetapi berbeda akibatnya bagi jiwa dan pada akhirnya bagi badan.
Saat kita mengejar anjing, energi baru akan muncul ketika kita melihat anjing lewat di hadapan kita. Kita memiliki semangat yang kuat agar bisa menangkapnya.
Tetapi, ketika kita dikejar anjing. berlari rasanya menguras seluruh energi kita. lemas tak berdaya.
Pak Fauzil Adhim menggunakan analogi mengejar anjing dan dikejar anjing untuk membedakan proses belajar anak-anak yang didasari oleh kecintaan terhadap ilmu dan yg didasari oleh ketakutan atau paksaan.
Kalau semangat yang kita tanamkan kepada anak, maka ia akan senantiasa memiliki energi dan kesegaran untuk mengejar anjing yang bernama cita-cita. Tetapi kalau ia kita paksa untuk meraih sesuatu yang kita harapkan mereka miliki, kitalah yang menjadi anjing penjaga itu. Anak-anak kita belajar bukan karena haus ilmu, melainkan karena takut kepada kita. Tidak ada lagi semangat mereka untuk belajar.
Yang paling pokok adalah menumbuhkan semangat mereka dan merangsang gairah untuk belajar. Bukan dengan menambah waktu belajar semakin lama dan panjang seperti choki-choki.
Sedihnya saya dengan kebijakan penambahan jumlah jam belajar di sekolah.
Apakah belajar terus-menerus akan mencerdaskan anak?
Guru besar psikologi di Temple University, Kathy Hirsh Pasek, melakukan penelitian di The Better Baby Institute milik Glenn Doman yg memperkenalkan metode pembelajaran membaca sejak bayi.
Hasil penelitian, anak-anak yg dilatih membaca ala Glenn Doman memang mampu membaca dgn cepat, tetapi segera kehilangan antusiasme belajarnya begitu mereka mulai beranjak besar.
Anak-anak itu juga cenderung mempunyai sikap yg kurang positif terhadap belajar dibandingkan dgn anak-anak yg tdk didrill (dilatih secara berulang-ulang) untuk membaca sejak bayi.
Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, pernah berkata, ‘Hendaklah anak kecil diberi kesempatan bermain. Melarangnya bermain dan menyibukkannya dengan belajar terus akan MEMATIKAN HATINYA, MENGURANGI KECERDASANNYA DAN MEMBUATNYA JEMU TERHADAP HIDUP sehingga ia akan sering mencari alasan untuk membebaskan diri dari keadaan sumpek ini.’
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa melarang anak bermain dan menyibukkannya dengan belajar terus ternyata akan mengurangi kecerdasan anak. Mengapa?
Bisa jadi karena anak-anak kita belajar seperti robot. Mereka belajar disertai beban, belajar tanpa tujuan, tanpa keterlibatan emosi dan tanpa bisa menikmati. Materi yg mereka hapal hanya akan menjadi kotoran data (data smog) dan kotoran itu menyebabkan kita mengalami brain meltdown (penurunan kemampuan otak), seperti yang digambarkan David Shenk dalam bukunya Data Smog.
Berbagai penelitian tentang pembelajaran telah mengajarkan kepada kita bahwa semangat yang menyala-nyala, budaya belajar, tujuan yang kuat dan proses belajar yang menyenangkan jauh lebih berharga daripada seberapa banyak yang mereka pelajari. Dalam keadaan bersemangat, menghapal seratus kalimat bukan hal yang berat. Tetapi, dalam keadaan tertekan, dua puluh kalimat saja bisa membuat tenggorokan tersendat-sendat.
Ya, seharusnya tugas kita adalah membuat anak kasmaran belajar.
Ya, seharusnya anak-anak kita belajar karena kecintaan mereka yang luar biasa terhadap ilmu.
Ya, seharusnya belajar itu adalah hak, bukan kewajiban.
Ya, seharusnya belajar itu menyenangkan, bukan membebani.
*Istilah Kasmaran Belajar diperkenalkan pertama kali oleh guru besar ITB, pak Iwan Pranoto.
www.britaniasari.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H