Mohon tunggu...
Brilliant Danu
Brilliant Danu Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Teknik Kelautan ITS

Be Yourself

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Dengan Konsep Building With Nature

23 Maret 2022   14:24 Diperbarui: 23 Maret 2022   14:30 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara maritim dengan wilayah perairan lebih luas dari daratannya. Indonesia mempunyai kurang lebih 17.499 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang kedua setelah Kanada). Selain itu, Indonesia juga memiliki laut dan selat yang dijadikan sebagai alur transportasi baik nasional maupun internasional. Indonesia mempunyai kekayaan sumber daya kelautan dan perikanan yang melimpah dan dapat menjadi senjata utama untuk mendukung pembangunan nasional. Pembangunan kelautan dan perikanan tersebut dilaksanakan untuk mewujudkan 3 (tiga) misi utama, yakni: (1) kedaulatan (sovereignity), (2) keberlanjutan (sustainability), dan (3) kesejahteraan (prosperity). Namun jika pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan tidak memperhatikan upaya perlindungan terhadap lingkungan akan berdampak ke keberlanjutan dari pemanfaatannya.

Hal inilah yang terjadi di daerah pesisir Demak, dimana terdapat kerusakan pesisir akibat dari adanya konversi lahan. Konversi lahan yang dimaksud adalah yang mulanya lahan hutan mangrove diubah menjadi lahan tambak yang sehingga ketika ombak datang pesisir pantai tergerus dan mengalami abrasi. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu adanya konsep pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu daerah pesisir yang terdampak adalah daerah pesisir Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. 

Kecamatan Sayung mengalami erosi yang parah terhitung sejak tahun 2002 yang mengerosi daerah pesisirnya seluas 145.5 ha. Lalu pada tahun 2005, luas total daerah pesisir yang telah tererosi mencapai 758.3 ha. Berdasarkan hasil penelitian terkait erosi daerah pesisir di Kecamatan Sayung, pada tahun 2003 terjadi erosi 2.24 km, lalu bertambah menjadi 2.58 km di tahun 2009 dan 2.24 km pada tahun 2013. Hal ini juga diperparah dengan pengalihan fungsi lahan hutan bakau yang berguna untuk mengurangi dampak erosi sekaligus menangkap sedimen menjadi daerah budidaya atau tambak oleh warga sekitar.

Pengalihan fungsi lahan yang masif untuk tambak tanpa diikuti dengan perestorasian kawasan hutan bakau, makin memperparah erosi yang terjadi di kawasan tersebut. Satu desa di Kecamatan Sayung telah hilang terendam dan beberapa lahan tambak juga telah rusak. Tak hanya manusia yang terkena dampaknya, ekosistem ikan juga telah hilang bersamaan dengan pengalihan lahan hutan bakau menjadi tambak. Konsep dari Build with Nature ini memiliki prinsip dimana tetap memaksimalkan pemanfaatan daerah pesisir bagi masyarakat sekitar. Tidak seperti pendekatan Hard Structure, pemanfaatan daerah pesisir masih bisa dilaksanakan secara maksimal. Implementasi terhadap konsep hard structure juga dilakukan agar perlindungan yang ditawarkan juga maksimal. Pendekatan ini diambil karena masyarakat sebelumnya juga memanfaatkan daerah pesisir. Pemanfaatan daerah pesisir dengan aquaculture atau tambak telah dilakukan masyarakat di daerah pesisir tersebut. Namun pemanfaatan tersebut tidak memperhatikan lingkungan sekitar yang dibuktikan dengan pengalihan lahan mangrove sebagai budidaya tambak seperti yang telah dijelaskan diatas.

Peninjauan masalah yang dilakukan tidak hanya persoalan erosi saja, namun juga permasalahan pemberdayaan masyarakat karena dalam upaya perlindungan daerah pesisir harus memperhatikan pemberdayaan masyarakat. Upaya pertama yang dilakukan adalah mengajak elemen masyarakat untuk ikut dalam upaya menanggulangi permasalahan erosi.

Selanjutnya, melakukan pembuatan struktur semi-permeable yang berguna untuk menangkap dan menahan sedimen. Setelah struktur semi-permeable dibangun, langkah selanjutnya adalah dengan merestorasi area hutan mangrove. Untuk menambahkan aspek pengembangan sosial masyarakat, restorasi hutan mangrove dikombinasikan dengan pemanfaatan lahan untuk budidaya tambak. Selain itu, ditemukan kasus penurunan muka tanah akibat aktivitas pengembangan daerah industri disekitar lokasi pesisir.

Pasalnya, dengan adanya penurunan muka tanah yang terjadi di daerah pesisir tersebut akan membuat segala upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan erosi di daerah pesisir menjadi sia -- sia. Tak hanya daerah pesisir saja yang terkena dampak, melainkan juga daerah persawahan disekitar lokasi pengembangan industri. Permasalahan ini tidak serta merta dapat diselesaikan dengan menunda atau membatalkan perencanaan wilayah industri di Demak. Wilayah Demak juga diketahui memiliki kemajuan yang rendah, atau degradasi dengan wilayah -- wilayah lain. Hal ini yang membuat dilema antara dua kepentingan yang sama pentingnya.

Penurunan muka tanah (land subsidence) merupakan suatu proses gerakan penurunan muka tanah yang didasarkan atas suatu datum tertentu dimana terdapat berbagai macam variabel penyebabnya yang dikaji tertentu menurut pengkajian dengan disiplin ilmu geodesi. (Marfai, 2006). Penyebab -- penyebab terjadinya penurunan muka tanah ini antara lain pembebanan yang terjadi di atas permukaan tanah, penghilangan atau pengambilan isi dari pori -- pori tanah yaitu air dan udara untuk proses pemadatan tanah atau eksploitasi air tanah untuk kebutuhan secara berlebihan, kejadian bencana seperti gempa bumi yang merusak struktur tanah, variabel ketidakstabilan tanah akibat proses -- proses tertentu, dan masih banyak lagi. Pada kasus pembangunan daerah pesisir di Demak adalah proses penurunan tanah secara tidak langsung oleh proses pemadatan tanah yang tanpa melakukan rekayasa tanah terlebih dahulu pada lokasi pembangunan. Daerah yang terjadi peristiwa tersebut umumnya berupa rawa, delta, endapan banjir dimana sangat sesuai dengan kondisi daerah pesisir di Demak.

Menurut Whittaker dan Reddish ada beberapa penyebab dari penurunan muka tanah atau Land Subsidence yang akan dijelaskan pada paragraph ini. Penyebab pertamanya adalah faktor alami yang berupa siklus geologi dan sedimentasi daerah cekungan. Siklus geologi yang disebutkan berupa proses pelapukan atau denuation, pengendapan atau deposition, dan pergerakan dari kerak bumi akibat aktivitas lempeng atau disebut crustal movement. Salah satu faktor lainnya adalah sedimentasi pada daerah cekungan.

Pada daerah cekungan merupakan lokasi terjadinya aktivitas tektonik lempeng, terutama diperbatasan lempeng. Sedimen pada daerah cekungan yang semakin lama semakin menumpuk menyembabkan beban yang bekerja pada lapisan tanah terus meningkat yang disusul dengan kompaksi sedimen sehingga menyebabkan penurunan muka tanah. Penyebab penurunan muka tanah yang kedua adalah akibat adanya pengambilan air tanah atau disebut Groundwater Extraction. Aktivitas pengambilan air tanah ini biasanya dilakukan pada lokasi pengembangan wilayah industri, dimana terdapat banyak sekal pembangunan yang dilakukan dan dilakukan pemadatan tanah dengan menghilangkan air dari pori -- pori tanah. Pengambilan air tanah yang dilakukan secara besar -- besaran pada lapisan akuifer akan berdampak pada wilayah sekitar pembangunan. Kekosongan pori -- pori tanah ini menyebabkan tekanan hidrostatis dibawah permukaan tanah berkurang dan pemampatan lapisan akuifer. Faktor penyebab terjadi penurunan muka tanah selanjutnya adalah akibat beban bangunan atau bisa disebut settlement. Pemampatan tanah bisa terjadi akibat pembebanan yang dikarenakan penambahan beban berupa bangunan diatas permukaan tanah. Pembebanan ini memicu terjadinya pemampatan tanah ini diakibatkan adanya deformasi pada partikel tanah, relokasi partikel, keluarnya air dan/atau udara dari pori -- pori, dan sebab lainnya yang tidak bisa dipisahkan dari keadaan tanah tersebut.

Untuk mengatasi masalah tersebut perlu adanya konsep pembangunan yang berkelanjutan. Dalam hal ini, pembangunan yang dimaksud adalah masyarakat pesisir tetap bisa menikmati sumber daya alam kelautan tanpa merusak ekosistem laut atau bisa disebut dengan building with nature. Building with Nature atau dalam bahasa Indonesia disebut membangun besama alam adalah solusi yang diambil dalam penyelesaian permasalahan erosi pada daerah pesisir utara jawa, atau lebih spesifiknya di wilayah Pesisir Demak agar upaya perlindungan bisa berkelanjutan dan mendapat partisipatif dari masyarakat.

Konsep Building with Nature ini dengan cara melakukan restorasi ekosistem mangrove yang sebelumnya dialih fungsikan oleh masyarakat sekitar untuk kegiatan budidaya tambak. Upaya perlindungan dengan pendekatan Building with Nature ini merupakan salah satu upaya perlindungan yang menawarkan sebuah konsep berkelanjutan dengan solusi infrastruktur tradisional. Dimana tujuan akhir disini adalah pemanfaatan daerah pesisir yang tetap bisa dikelola masyarakat sekitar yaitu menciptakan sebuah nilai tambah pada ekonomi masyarakat. Hal ini merupakan solusi ideal dimana terdapat kombinasi perlindungan daerah pesisir dengan tumbuhan mangrove yang memiliki nilai ekonomi dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pada upaya perlindungan pantai dengan pendekatan building with nature tidak serta merta hanya melakukan konservasi terhadap ekosistem mangrove, melainkan juga menerapkan sebuah hard structure untuk menunjang upaya perlindungan daerah pesisir dengan pendekatan building with nature.

Hard structure yang digunakan adalah dengan metode sederhana yaitu dengan membangun dinding penghalang semi-permeabel yang digunakan untuk merangkap sedimen dan juga menunjang pertumbuhan mangrove secara alami. Karena jika dilakukan penanaman mangrove secara langsung akan menimbulkan sebuah dampak yang buruk bagi ekosistem, yaitu perbedaan jenis mangrove yang tidak sesuai dengan ekosistemnya dimana akan merubah keadaan ekosistem itu sendiri. Pada upaya perlindungan daerah pesisir dengan pendekatan building with nature, juga dibangun lokasi untuk kegiatan masyarkat yaitu budidaya tambak dengan mengkombinasikan lahan hutan mangrove dan kolam tambak. Selain itu, perlu dilakukan desain hutan mangrove untuk menempatkan sarana penunjang yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata.

Tumbuhan mangrove sendiri memiliki beberapa fungsi yang bisa bermanfaat bagi alam dan juga manusia. Tumbuhan mangrove memiliki sifat yang tahan genangan air laut atau bisa disebut dengan istilah halofit, di seluruh bagian tubuh tanaman mangrove memiliki pori eksresi garam, memiliki anatomi akar nafas atau disebut pneumatofor sebagai penopangnya, serta sifat buahnya yang sangat mudah mengalami perkecambahan. Mangrove memiliki sebuah unsur yang penting dalam hal penyeimbangan ekosistem di daerah pesisir. Setiap fungsi yang ditawarkan oleh tumbuhan mangrove memiliki keterkaitan dan manfaat yang sungguh ideal. Fungsi mangrove sendiri jika ditinjau dari Bioekologisnya, mangrove dapat menjadi sebuah ekosistem bagi aneka ragam biota laut yang berada disekitar daerah pesisir. Manfaat lainnya yang mungkin beberapa masyarakat yang bertempat disekitar daerah pesisir adalah pemenuhan nutrisi bagi biota -- biota laut yang hidup disekitar lokasi hutan mangrove.

Manfaat yang bisa berguna bagi masyarakat lainnya adalah bahwa tumbuhan mangrove ternyata memiliki sistem perakaran yang mampu untuk menahan atau menampung berbagai bakteri dan penyakit yang berasal dari laut lepas sehingga dengan adanya tumbuhan mangrove ini bisa menjadikan sebuah upaya dalam melindungi tambak mereka dari berbagai penyakit yang berasal dari laut lepas.

Hal inilah yang menjadi ketidakpahaman masyarakat sekitar akan keberadaan tumbuhan mangrove, masyarakat hanya mengetahui bahwa penempatan lokasi budidaya tambak di lokasi ekosistem hutan mangrove sangat cocok untuk pembukaan lahan untuk budidaya tambak. Hal ini menyebabkan terjadinya peralihan fungsi lahan oleh masyarakat sekitar karena ketidaktahuan mereka bahwa yang menunjang kegiatan budidaya tambak adalah keberadaan hutan mangrove tersebut. Fungsi tumbuhan mangrove jika ditinjau untuk upaya dalam konservasi ekosistem daerah pesisir adalah kemampuan tanaman mangrove dalam meredam gelombang laut serta kemampuan tanaman mangrove dalam memerangkap sedimen sehingga erosi di daerah pesisir pantai dapat diminimalisir.

Terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut yang akan dijelaskan diparagraf ini. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mekakukan simulasi untuk kondisi yang sebenarnya. Melakukan sebuah pemodelan kondisi dengan cara mengkalibrasikan kondisi yang terjadi didukung dengan data dari lapangan. Data yang dimasukkan untuk memodelkan kondisi yang terjadi adalah batimetri, data pasut, data sedimen, dan simulasi waktu yang akan digunakan untuk flow model. Untuk pemodelan gelombang, dimasukkan data ketinggian signifikan, periode signifikan, dan arah dominan gelombang. Langkah kedua yaitu modifikasi untuk kondisi yang diinginkan. Untuk mendapatkan sediment trap yang lebih banyak disekitar pembangunan struktur pada lokasi tersebut dilakukan sebuah modifikasi dengan pendekatan hybrid engineering. Pemodelan yang telah dilakukan, dimodifikasi dengan menambah dua hybrid structure secara paralel didepan struktur yang sudah ada. Sehingga tujuan untuk menahan sedimen agar tidak bisa dengan mudah terbawa oleh gelombang bisa dicapai.

Setelah dilakukannya pemodelan dalam perencanaan pembangunan lokasi mangrove didukung dengan pelindung semi-permeabel yang berguna untuk sediment trap dengan pendekatan hybrid engineering, maka hal yang dilakukan selanjutnya adalah pembangunan beberapa sarana penunjang bagi masyarakat sekitar agar bisa tetap memanfaatkan sumber daya yang ada. Ada beberapa perencanaan yang akan dilakukan untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat. Yang pertama adalah pembangunan tambak dengan memanfaatkan sistem budidaya tambak terhubung mangrove atau mixed mangrove-aquaculture. Inovasi yang ada pada sistem budidaya tambak terhubung mangrove ini adalah pemisahan antara tambak dan mangrove. Sistem budidaya tambak terhubung mangrove ini berbeda dengan metode tradisional yang dilakukan masyarakat yaitu mangrove ditanam di pematang tambak atau bahkan didalam kolam sehingga mangrove tidak berinteraksi dengan air terbuka. Hal tersebut dinilai kurang efektif karena mangrove sendiri memiliki fungsi yang menguntungkan bagi kegiatan budidaya tambak karena mangrove mampu untuk menyaring penyakit dan bakteri yang berasal dari laut lepas sehingga menjadikan air yang digunakan untuk budidaya tambak lebih bersih. Pada sistem budidaya tambak terhubung mangrove, mangrove ditanam didepan lokasi kolam tambak dimana mangrove dapat berinteraksi langsung dengan air terbuka. Sistem budidaya tambak terhubung mangrove ini akan memaksimalkan fungsi dari mangrove antara lain sebagai menjaga agar air dari laut yang digunakan untuk mengisi kolam menjadi lebih bersih dari berbagai penyakit dan bakteri dari laut lepas dan mangrove tetap bisa menjalankan fungsinya untuk melakukan perlindungan terhadap erosi dengan meredam gelombang air laut dan merangkap sedimen.

Selain itu, perlu adanya pengkajian hukum yang terkait dengan permasalahan diatas. Hukum yang akan dikaji pertama adalah UU Nomor 32 Tahun 2014 Kelautan. Pada UU Nomor 32 Tahun 2014 Kelautan memiliki ruang lingkup yang diatur dalam UU ini, pada pasal 4 ayat 2 dijelaskan ruang lingkup dari UU Nomor 32 Tahun 2014 Kelautan mengatur hal - hal yang berkaitan penyelenggaraan kelautan secara terpadu dan berkelanjutan.

Pada pasal yang sama juga dijelaskan cakupan dari penyelenggaraan kelautan, dimana salah satu cakupannya adalah melakukan perlindungan lingkungan pesisir. Salah satu tujuan dari penyelenggaraan kelautan sesuai yang disebutkan pada pasal 3 huruf c dan d adalah melakukan pemanfaatan sumber daya pesisir dengan tetap mempertahankan kelestariannya sehingga masih bisa dimanfaatkan oleh generasi berikutnya. Pada pasal 22 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2014 Kelautan dijelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir dengan wewenang yang telah diberikan pada pasal tersebut. Namun dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir ini dijelaskan bahwa dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatannya harus tetap memiliki tujuan.

Tujuan dari pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dijelaskan pada pasal 22 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2014 Kelautan yaitu melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya seumber daya pesisir dimana juga mencakup ekosistem yang ada sehingga tercipta pemanfaatan sumber daya pesisir yang berkelanjutan.

Pada pasal yang sama ayat 2 point c disebutkan bahwa peran masyarakat dan Lembaga pemerintah dalam upaya pengelolaan sumber daya pesisir ini harus dicapai dengan adil, seimbang dan berkelanjutan.

Dari tujuan yang telah disebutkan diatas sudah jelas bahwa dalam pemanfaatan sumber daya pesisir harus mempertimbangkan aspek ekosistem, peran masyarakat, dan menjunjung keadilan bagi masyarakatnya. Maka sudah jelas bahwa aktivitas pengembangan industri yang tengah dilakukan dirasa kurang adil karena masyarakat sekitar mendapat dampak dari penurunan muka tanah ini. Hal ini tentunya juga melanggar karena tidak memperhatikan ekosistem. Diatur pada pasal 32 ayat 4 bahwa aktivitas pengembangan wilayah indsutri tersebut wajib mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan dalam pembangunannya. Meskipun tujuan dari pengembangan wilayah industri tersebut dilakukan agar wilayah pesisir demak tidak tertinggal. Namun pada UU Nomor 32 Tahun 2014 Kelautan ini dengan jelas bahwa aktivitas apapun meski itu mampu memberdayakan masyarakat sekitar, harus tetap memperhatikan lingkungan atau ekosistem yang ada.

Pengkajian berikutnya adalah PP No. 22 Tahun 2021 PPLH sebagai penjelasan lebih lanjut dalam perlindungan lingkungan hidup. Pada pasal 1 ayat 2 yang menjelaskan PPLH atau Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa pelestarian dan pencegahan perusakan lingkungan hidup dilakukan dengan upaya yang tersusun secara sistematis dan terpadu, upaya yang dilakukan meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, serta penegakan hukum.

Pendefinisian terkait istilah - istilah yang diatur dalam PP No. 22 Tahun 2021 PPLH telah tertulis pada pasal 1 ayat 1 hingga ayat 103. Pasal 3 ayat 1 mengatur bahwa pelaksanaan kegiatan dan/atau usaha yang berdampak bagi lingkungan hidup wajib memiliki persetujuan lingkungan, dari pasal tersebut sudah jelas bahwa setiap kegiatan dan/atau usaha harus memperhatikan lingkungan hidup dengan bukti yaitu mendapat persetujuan lingkungan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang telah disebutkan pada pada pasal 1 ayat 4.

Persetujuan lingkungan inilah yang nantinya akan dipakai sebagai prasyarat dalam penerbitan perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah sesuai dengan pasal 3 ayat 3. Pengaturan mengenai persetujuan lingkungan yang nantinya akan diperlukan agar kegiatan pengembangan wilayah industry di wilayah pesisir diizinkan untuk beroperasi diatur pada bab II PP No. 22 tahun 2021 PPLH. Bab II PP No. 22 Tahun 2021 PPLH akan dijelaskan tiap bagiannya apa saja yang perlu diketahui mengenai AMDAL, UKL-UPL, atau SPPL. Pada bagian kesatu membahas soal persetujuan lingkungan dan kondisi - kondisi untuk melaksanakan AMDAL, UKL-UPL, atau SPPL. Bagian kedua dari bab II membahas lebih lanjut mengenai penyusunan AMDAL dan uji kelayakan formulir AMDAL. Bagian ketiga dari bab II disini membahas terkait penyusunan dan pemeriksaan formulir UKL-UPL. Selanjutnya pada bagian keempat dari bab II membahas pengisian SPPL.

Bagian kelima disini menjelaskan terkait penyusun AMDAL atau orang - orang yang menyusun AMDAL tersebut. Saat melakukan uji kelayakan terhadap AMDAL diperlukannya sebuah tim khusus dari pemerintah, pada bagian keenam dijelaskan mengenai lembaga dan tim uji kelayakan lingkungan hidup. Saat melaksanakan uji kelayakan lingkungan hidup, diperlukan ahli bersertifikat uji kelayakan lingkungan hidup yang dijelaskan pada bagian ketujuh.

PP No. 22 Tahun 2021 PPLH yang berlaku pada tahun 2021 terdapat kebingungan bagi usaha dan/atau kegiatan yang telah berjalan sebelum PP ini berlaku, maka dijelaskan pada bagian kedelapan bagi usaha dan/kegiatan yang telah berjalan untuk menyusun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) dan Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH). Pada bagian selanjutnya dari bab II yaitu bagian kesembilan, dijelaskan terkait perubahan persetujuan lingkungan jika usaha dan/atau kegiatan terdapat perubahan. Pada bagian kesepuluh bab II menjelaskan bantuan pemerintah untuk penyusunan AMDAL bagi usaha mikro dan kecil sehingga usaha mikro dan kecil dapat melakukan kegiatannya karena fasilitas dan biaya yang sangat memberatkan bagi pemilik usaha mikro dan kecil untuk menyusun AMDAL. Pada bagian terakhir yaitu bagian kesebelas memberikan kejelasan pendanaan dalam proses persetujuan lingkungan.

Dengan adanya beberapa langkah dan pengkajian hukum yang telah disebutkan diatas maka saya harap permasalahan yang ada di daerah pesisir Kota Demak dapat teratasi dan juga masyarakat dapat merasakan efek dari buliding with nature ini. Selain itu, Pemerintah setempat juga harus tetap mengontrol segala aktivitas yang terdapat di pesisir Demak agar kedepannya hal yang sama tidak terulang kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun