Topik : PerselisihanÂ
Tema : perbedaan lifestyle anak pintar yang berketurunan Belanda dan pribumiÂ
Judul : Pipin Anak Pintar
Orientasi :Â
"Hati-hati bekerja papa!" Ucap seorang anak perempuan berambut pirang. Pipin terus memandangi luar jendela rumahnya. Ia sangat kesal dengan gadis Belanda berambut pirang itu, yang tak lain adalah Hein. Hein adalah anak berdarah Indonesia Belanda, keseharian Hein adalah belajar belajar dan belajar. Berbeda dengan Pipin, kesehariannya hanya mengurus rumah, bekerja, dan melakukan aktifitas rumah tangga. Padahal, Pipin dan Hein seumuran, namun Pipin tidak bisa mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya.Â
"Dunia ini gak adil!" Ucap Pipin. Pipin sangat ingin bersekolah, mempelajari hal hal baru.
Konflik :
Hingga suatu hari, Hein bertengkar dengan orangtuanya, ia merengek tidak ingin masuk sekolah. Suara itu terdengar sampai kurang lebih 20 menit lamanya. Kesal mendengar hal itu, Pipin pun keluar dari rumahnya dan segera ia berteriak
"Hey Belanda, bersyukurlah kau bisa sekolah! Jangan merengek manja dengan orangtuamu!" Seru Pipin. Mendengar hal itu, Hein merasa tersindir, dan merasa dendam pada Pipin. Pipin pun enggan mendekat dan berbicara lebih banyak lagi dengan Hein, setelah itu ia langsung memasuki rumahnya sambil menghentak-hentakkan kakinya, kesal.
Sore hari tiba, Pipin bercerita pada orangtua nya apa yang terjadi pagi tadi, lalu mulai merengek pada orangtuanya
"Buk, pak.. Pipin juga mau sekolah seperti Hein si orang Belanda itu. Sekolahkan Pipin dong pak. Pipin juga mau jadi anak pintar." Ucap Pipin sambil merengek.
Dengan tegas bapak pun menjawab "Tidak, mau dapat uang darimana Pin? Untuk makan saja masih kurang apalagi untuk membiayai kamu sekolah! Sudah kamu sebaiknya meneruskan menjadi petani saja saat sudah besar! Tidak usah sekolah, gak penting!".
Mendengar hal itu, Pipin yang awalnya menahan air matanya kuat kuat, sekarang mulai melepaskan air mata nya dan air itu mulai membanjiri pipi Pipin. Pipin berjalan keluar rumah, sambil sesegukan. Ia hanya ingin bersekolah dan mempunyai cita cita, namun kenapa begitu susah? Melihat Pipin menangis, Hein mulai berteriak
"Hey kampung, kau menangis karena tidak bisa sekolah ya? Haduh kasiannya, dasar bodoh!".
Mendengar hal itu Pipin tidak terima, ia mulai mengatakanÂ
"Kau berbicara dengan siapa? Dengan siapa kau mengatai bodoh? Aku tidak merasa tersinggung, karena aku bukan orang bodoh".
"Kau yang bodoh! Kau tidak dapat bersekolah. Karena kau hanyalah orang miskin yang ditampung di antara orang orang Belanda." Seru Hein.
"Setidaknya, aku bisa menghasilkan sesuatu! Aku bisa memainkan gamelan, aku bisa menari, aku bisa menyanyi! Tidak seperti kau yang hanya bisa menjadi budak sekolah, kerjanya hanya menghafal!" Bela Pipin.
Resolusi :
Hati Hein tergores, ia merasa sakit hati oleh semua ucapan Pipin. Padahal, Hein juga tidak ingin hidup seperti ini. Ia tidak ingin bersekolah dibawah paksaan orangtuanya. Hein juga ingin dapat mengeksplorasi dirinya seperti Pipin yang dapat melakukan apa saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H