Mohon tunggu...
Brian Rivan Assa
Brian Rivan Assa Mohon Tunggu... Guru - Elementary School Teacher | Job 42:2

Menulis sebagai Katarsis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Momen Intim bersama Maria dan Yusuf

9 Desember 2020   12:01 Diperbarui: 24 Desember 2020   20:17 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Yusuf, Maria, dan bayi Yesus | Sumber: sesawi.net

Demi sensus, keluarga Sang Raja harus melakukan perjalanan sejauh seratus tiga puluh tujuh kilometer. Yusuf berjalan kaki, sementara Maria, yang sedang mengandung sembilan bulan, duduk menyamping pada punggung keledai, merasakan setiap sentakan, setiap alur jalan, dan setiap batu-batuan.

Pada saat mereka tiba, dusun kecil Betlehem sedang membludak karena arus masuk para pengunjung. Penginapan-penginapan penuh, orang-orang merasa beruntung bila mereka bisa bernegosiasi suntuk sekadar mendapatkan ruang sempit di atas lantai. Sekarang sudah terlambat, semua orang sudah tertidur, dan tidak ada kamar.

Untungnya, pemilik penginapan tidak meminta bayaran. Benar kandangnya dipenuhi dengan hewan-hewan milik tamunya, tetapi jika mereka bisa sedikit berdesakan dan menyisakan sedikit privasi di sana, maka mereka boleh menginap di sana.

Yusuf melihat Maria, yang perhatiannya sedang berkonsentrasi pada perjuangan mengalami kontraksi.

"Kami terima!" kata Yusuf kepada pemilik penginapan tanpa ragu-ragu.

Malam sunyi senyap ketika Yusuf membuka pintu kandang. Saat ia membukanya, paduan suara dari binatang-binatang dalam kandang mengeluarkan nada-nada sumbang karena mendengar suara gangguan itu. Bau busuk dan lembab sangat menyengat. Lentera minyak kecil, yang dipinjamkan oleh pemilik penginapan, berkelap-kelip memantulkan bayangan yang menari-nari di dinding. Tempat yang meresahkan bagi seorang wanita yang sedang berada dalam kondisi kesakitan menjelang persalinan. Jauh dari rumah. Jauh dari keluarga. Jauh dari apa yang ia harapkan tentang kelahiran anaknya.

Akan tetapi Maria tidak mengeluh. Melegakan saat akhirnya bisa turun dari keledai. Ia bersandar ke dinding, kakinya bengkak, punggungnya sakit, kontraksi menjadi semakin kuat dan sering.

Mata Yusuf melintas ke seberang kandang. Tidak semenit pun berlalu Seketika. Sebuah palungan akan bisa dipergunakan sebagai ranjang bayi. Jerami bisa menjadi ranjang.

Selimut? Selimut? Ah, jubahnya. Itu bisa dipakai. Dan kain-kain yang tergantung di luar itu akan membantu. Kontraksi semakin kuat mencengkeram Maria dan membuat Yusuf berlari-lari mengambil seember air.

Kelahiran itu tidak akan mudah, baik untuk sang ibu maupun sang bayi.

Jeritan Maria menyayat ketenagan malam yang sunyi itu. Yusuf kembali, terengah-engah, air tertumpah dari ember kayu. Bagian atas dari kepala sang bayi sudah medesak keluar. Keringat mengalir pada wajah Maria yang meringis kesakitan saat Yusuf, bidan yang paling tidak mungkin di seluruh Yudea, cepat-cepat mendekat ke sampingnya.

Kontraksi alami tidaklah cukup, dan Maria harus mendorong dengan seluruh kekuatannya, hampir seolah-olah Allah menolak untuk datang ke dunia tanpa bantuannya.

Yusuf meletakkan sehelai pakaian di bawah Maria, dan dengan satu dorongan terakhir dan hembusan panjang, usaha kerasnya berakhir.

Sang Mesias telah tiba. 

Anak Allah yang Mahatinggi dengan tali pusar yang terhubung pada seorang perawan Yahudi yang bersahaja. Kepala-Nya yang kecil berayun-ayun dalam suasana asing. Ini merupakan hal pertama yang dipelajari bayi-Raja ini. Maria dapat merasakan jantung bayi yang berdetak kencang saat Dia mencari-cari untuk menyusu.

Yusuf duduk kelelahan, terdiam, terpukau. Ahhhhhh... Terdengar tarikan napas yang panjang. Sambil sekekali menyeka keringat.

Bayi itu selesai menyusu lalu menarik napas. Kemudian, untuk pertama kalinya, mata Sang Raja tertuju kepada mata ibunya. Berusaha keras untuk fokus. Sang Terang Dunia, tersenyum sambil memicingkan mata. Air mata tergenang pada mata Maria. Ia menyentuh tangan-Nya yang mungil. Dan tangan yang pernah memahat barisan gunung itu menggenggam jari-jari Maria.

Maria memandang Yusuf, dan melalui mata yang berkaca-kaca, jiwa mereka tersentuh. Yusuf mendekat, menempelkan pipi kepada tunangannya. Bersama-sama mereka menatap takjub bayi Yesus, yang kelopak mata-Nya sudah berat dan mulai tertutup. Itu adalah perjalanan yang sangat panjang. Sang Raja sangat kelelahan.

Dan, hampir tanpa peringatan, Allah melangkah masuk. Tanpa protokol.

Di tempat Anda berharap akan adanya malaikat-malaikat, yang ada hanya lalat. Di tempat Anda mengharapkan kepala-kepala negara, yang ada hanya beberapa keledai, beberapa sapi terikat, domba, unta yang tertambat, dan tikus gudang yang berlari untuk bersembunyi.

Kecuali Yusuf, tidak ada seorang pun yang turut merasakan kesakitan sekaligus sukacita Maria. Ya, ada malaikat-malaikat yang mengumumkan kedatangan Sang Juruselamat, tetapi hanya kepada sekelompok gembala pekerja kasar.

Dan ya, bintang yang amat menakjubkan bersinar di langit untuk menandai tempat kelahirannya, tetapi hanya kepada tiga orang asing yang repot-repot mencari bintang itu dan mengikutinya.

Demikianlah, di kota kecil, nan mungil Bethlehem, pada malam sunyi senyap itu, kelahiran Anak Allah menapak dengan diam-diam, saat seluruh dunia sedang terlelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun