Pernyataan singkat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok pada tanggal 27 September 2016 di Kepuluan Seribu tentang Surat Al Maidah Ayat 51 berbuntut panjang. Pasalnya pernyataan Ahok telah menyinggung masyarakat Indonesia yang sebagian besar menganut agama Islam. Tindakan aparat hukum yang kurang tegas memaksa seluruh muslim di Indonesia turun ke jalan pada 4 November 2016 yang kemudian kita mengenalnya dengan Aksi Bela Islam 411. Aksi 411 bertujuan untuk menuntut agar Ahok dipenjara karena dianggap menistakan agama, menodai Al-Qur’an, melecehkan ulama dan menghina umat Islam.[1]
Aksi tersebut masih berlanjut di Aksi Bela Islam 212 yang dilakukan di DPR dan melaksanakan sholat jumat bersama di Monas. Namun sayangnya Aksi tersebut mendapat penolakan dari Kapolri Tito Karnavian dengan alasan dugaan makar dan mengganggu ketertiban umum. Pernyataan tersebut diungkapkan Tito di Lobi Gedung Utama Mabes Polri, Jl Trunjoyo, Kebayoran Baru, Senin (21/11/2016). Turut hadir dalam kesempatan ini Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Tito menerima informasi bahwa 25 November akan ada aksi unjukrasa di DPR. Namun ada upaya tersembunyi dari beberapa kelompok yang ingin masuk ke DPR dan berusaha untuk dalam tanda petik meguasai DPR.[2]
Pada pernyataan tersebut, timbul pertanyaan siapa pihak tersebut? Apakah partisipan dari aksi atau kelompok lain? Serta tidak jelasnya unsur makar yang disampaikan oleh Tito.Tindak pidana makar diatur dalam Buku II Bab I KUHP tentang kejahatan melanggar keamanan negara, yang pada intinya adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan disertai dengan kekerasan atau bahkan pembunuhan terhadap presiden. Berdasarkan KUHP, makar diatur dalam pasal 104 hingga 129. Pasal 104 KUHP jo Pasal 106 KUHP menyebutkan, makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah. Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara.
Berdasarkan Pasal 104 dan 106 KUHP, Aksi 212 bukkanlah aksi yang patut diduga sebagai tindakan makar. Aksi tersebut tidak bermaksud untuk menggulingkan Presiden dan atau wakil presiden maupun memecah belah wilahyah NKRI. Aksi 212tidak bermaksud menduduki Gedung DPR, melainkan hanya menyalurkan aspirasi. Tuntutan utamanya agar pemerintah mencopot Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang telah menjadi terdakwa kasus dugaan penodaan agama.[3]Semestinya Polri tidak mengambil kesimpulan secara sepihak, dan dilakukan penyelidikan dan atau konfirmasi kepada pihak terkait. Tidak hanya berdasarkan informasi seorang informan. Harus ada bukti permulaan yang cukup untuk menangkap seorang pelaku tindak pidana, maka juga perlu bukti permulaan yang cukup untuk mengatakan bahwa tindakan Aksi 212 merupakan makar.
Namun, larangan yang dikeluarkan Kapolri tidak membuat peserta aksi bela Islam gentar dan tetap melakukan aksi bela Islam di Monas dan tidak diadakan di gedung DPR RI. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan ketertiban umum dan sebagai win-win solution antara Polri dengan peserta Aksi Bela Islam 212.Aksi tersebut didahlui dengan adanya dialog antara  MUI, GNPF dan Polri mencakup 5 point penting sebagai berikut:[4]
GNPF-MUI dan Polri telah sepakat bahwa dalam aksi 'Bela Islam 212' akan digelar zikir dan doa untuk keselamatan negeri dan tausiah umaroh dan ulama di lapangan Monas mulai pukul 08.00 WIB sampai salat Jumat.GNPF-MUI mengajak seluruh personel TNI dan Polri agar ikut untuk berzikir, berdoa, bersalawat, salat Jumat bersama dan mendengar tausiah dari para umaroh ulama.GNPF MUI bersepakat dengan Polri, usai salat Jumat para pimpinan GNPF akan menyapa umat Islam di sepanjang jalan sekaligus melepas mereka pulang dengan tertib. Ini sekaligus merupakan tanggung jawab dari GNPF untuk memastikan peserta aksi pulang dengan tertib dan aman.GNPF MUI sepakat dengan Polri perlunya dibentuk tim terpadu antara Satgas GNPF dengan TNI dan Polri untuk mengatur masalah teknis pelaksanaan di lapangan. Ada pun tim terpadu yang dibentuk untuk mengatur teknis pelaksanaan GNPF-MUI dan Polri bersepakat bahwa jika ada gerakan pada 2 Desember di luar kesepakatan yang sudah dibuat bersama, GNPF menyatakan itu bukan bagian dari 'Aksi Bela Islam 212, dan GNPF-MUI tidak bertanggung jawab, serta Polri, memiliki hak dan kewajibannya untuk mengambil langkah-langkah mengantisipasi dan mengatasinya.
Tidak berhenti di Aksi 212, umat Islam tetap melaksanakn Aksi Bela Islam hingga titik terakhir dimana sebelum putusan hakim terhadap Ahok ditetapkan. Umat Islam melakukan Aksi Bela Islam lagi di tanggal 5 Mei 2017 yang kemudian disebut aksi bela Islam 505. Aksi ini bertujuan untuk menuntut keadilan atas dugaan penodaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama dan meminta agar hukum ditegakkan seadil-adilnya. Bukan persoalan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), kebinekaan, serta radikalisme.[5]
Sayangnya, Tito Karnavian berpendapat lain tentang aksi 505 tersebut. Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan aksi 505 yang akan digelar Jumat, 5 Mei 2017 di Mahkamah Agung sebaiknya dibatalkan. Menurut Tito Aksi 505 tidak perlu dilakukan karena aksi dalam jumlah yang besar pasti akan mengganggu ketertiban publik aksi memang dilindungi oleh UU Nomor 9/1998. Tapi undang-undang itu sendiri menyebutkan ada empat batasan yang tidak boleh.Yakni tidak boleh mengganggu ketertiban publik, tidak boleh mengganggu hak asasi orang lain, tidak boleh menghujat artinya harus mengindahkan etika dan moral, dan harus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Kemudian dia mengimbau untuk sampaikan pendapat tapi lakukan dengan tertib.