Walaupun tidak diakui, internet sudah mengubah tiga item kebutuhan primer manusia yang pernah tertera di buku IPS. Setelah sandang, pangan, dan papan, kini ditambah satu lagi yakni internet. Item keempat ini tanpa sadar secara masif dan otomatis telah ter-inject sendiri ke lingkaran kebutuhan utama: lapar kalau belum makan, cemas kalau belum update status wasap. Keduanya saling bergandengan untuk mengubah wajah manusia di masa depan.
Di kota enak. Jaringan internet melimpah. WiFi gratis di mana-mana. Makin kekinian bukan lagi pengguna yang cari jaringan, tapi jaringan yang berdesak-desak masuk ke dalam smartphone.
Namun, laku itu dialami berbeda oleh manusia kota dan manusia desa (baca: kampung). Internet memang sudah jadi kebutuhan primer warga kota, sedangkan warga desa belum menjadikannya self problem. Perbandingan ini menurut pengamatan saya di dua "kampung" yang sering saya wara-wari. Artinya, keadaan bisa berbeda di tempat lain. Kalau ada kesamaan, anggap saja itu kebutuhan.
"Kampung" pertama mini city Matangglumpangdua. "Kampung" kedua main city Rembele.
Matangglumpangdua tempat kelahiran saya. Kota kecil ini berjarak 12 kilometer dari ibu kota Kabupaten Bireuen, Aceh. Karena namanya panjang, saya pangkas saja jadi Matang tok. Matang kota kecil yang gersang. Anginnya kering. Tanah cuma basah di bulan-bulan tertentu.
Namun, tak perlu saya ceritakan soal kuliner khas di sini. Itu salah satu kelebihannya hingga saya mencintai kota ini dengan alasan tertentu. Memangnya siapa yang tidak mencintai tanah kelahirannya sendiri?
Matang memang telah berubah banyak dalam dua dekade belakangan. Dulu, simpang kota tak terlalu ramai. Sekarang begitu riuh. Teriakan-teriakan menggema di lampu merah, berpadu aroma sate. Breeders tau di mana simpang Matang, kan?
Ramainya simpang itu menjadi zoom out dari pemukiman padat penduduk di belakang pertokoan tersebut. Namun, itu belum seberapa. Bertambahnya jumlah penduduk ikut melahirkan wajah baru kota yang sesak dengan jaringan internet.
Tak perlu ke warung sate atau warung kopi berdesain interior yang wow untuk menikmati jaringan internet nirkabel gratis ini. Warung leha-leha pinggir sawah tempat anak muda tanggung nongkrong, yang hanya menjual rokok dan cemilan anak-anak, pun sudah melengkapi diri dengan jaringan WiFi.
Belum lagi dengan jaringan WiFi pribadi tetangga yang bertebaran penuh sesak. Jika WiFi smartphone diaktifkan, bakal terlihat banyaknya jaringan yang bertengger di list setting.
Warga kampung kini sepertinya bukan lagi pamer siapa paling tinggi pasang antena TV UHF. Mereka saling unjuk antena WiFi berkecepatan tinggi. Masing-masing tetangga saling update status wasap lalu pamer screenshot download IDM speed 5MB di timeline Facebook. Macam Breeders dulu di awal-awal pasang Speedy, kan? Hayoo ngaku....
Ajaibnya, jambo alakadar di samping rumah Mak saya, juga latah memasang WiFi gratis. Padahal, jambo ini cuma menjual jus murah seharga lima ribu perak. Saya tidak paham kenapa pemilik jambo memasang internet. Apakah supaya pelanggan betah?
Sayangnya, saat saya saya pulang kampung kemarin, warung itu sudah tutup. Hanya tiang antena WiFi yang masih tersisa. Dari bisik-bisik tetangga saya dengar ternyata pembeli sudah berkurang. Jadi, bukan karena WiFi gratis pelanggan mau bertahan, tapi trend jualan jus 5.000 memang tidak menarik lagi. Duh, nasib jus murah memang bernasib sama dengan gorengan kentang ulir: bisnis yang bergantung pada trending topic.
Fenomena itu membuat saya tak susah mencari internet gratis 24 jam nonstop. Tinggal ucapkan assalamualaikum ke pintu tetangga, password WiFi langsung dalam genggaman. Setelah itu tinggal browsing, buka-buka Tumblr. Ciee...anak Matang buka Tumblr mau akses apa hayoooo...?
Gelombang internet tersebut memang tak kasat mata tapi carut-marut kabel fiber optik sebagai pengantar koneksi jelas terlihat. Jadi Matang tak hanya padat oleh manusia tapi juga disesaki kabel. Jika sudah begini, buat apa lagi provider menyediakan internet murah? Sia-sia saja. Yang gratis ada kok beli paket data?
Itu baru tingkat Matang yang sebenarnya cuma berstatus kecamatan. Bagaimana dengan di Kutaraja atau kota-kota besar lain, tentu tak perlu dibahas.
Yang perlu dibahas adalah "kampung" kedua saya, main city Rembele. Berbeda sekali dengan Matang. Saya tinggal di sini ketika sudah menyandang status sebagai kepala dinas rumah tangga. Rembele dalam blue print Pemda Bener Meriah masuk main city kabupaten. Namun, koneksi internetnya sangat "main-main".
Kalau meminjam bahasa pengamat ekonomi, "Di kota penetrasi internet sudah mencapai angka enam digit, di pelosok harus puas di angka tiga digit. Hal ini wajar karena wilayah tengah yang berbukit masih sulit untuk membangun infrastruktur jaringan kabel".
Pewajaran ini mau tak mau harus membuat saya sering mengelus dada. Saya pikir juga terlihat egois jika saya harus berharap lebih soal koneksi internet di sini. Listrik saja sudah terjadwal kapan mati hidupnya.
Yang saya tahu, jaringan internet kabel fiber optik memang belum merata di Bener Meriah. Hanya di pusat kota dan di sepanjang jalur utama jalan Bireuen-Takengon saja. Selebihnya masih bergantung pada jaringan seluler provider berinisial T. Alternatif lain, bisa berlangganan paket WiFi, juga dari provider yang sama. Cukup tembak jaringan WiFi melalui antena yang disangkut di pohon kopi, internet sudah masuk desa.
Di Rembele, di desa tempat saya tinggal, kebutuhan internet belum menjadi self problem bagi warga. Fasilitas internet cuma ada untuk kantor desa. Sementara di rumah-rumah warga masih jarang terlihat antena WiFi. Yang mengakses internet lewat smartphone hanya generasi milenial. Jarang saya temui generasi tua yang pakai smartphone. Mereka masih setia dengan Nokia tinuninut yang built-in lampu senter--penolong utama saat mati lampu. Ada juga sih generasi tua yang pakai smartphone, tapi saya yakin status mereka PNS.
Untuk hiburan dan informasi, generasi tua masih mengandalkan media televisi. Mereka memilih menonton Jackie Chan berantem; atau menyaksikan breaking news dari ibu kota, atau gosip tentang jambul Syahrini. Siaran itu didapatkan berkat adanya antena parabola sebesar gajah itu. Berbeda sekali dengan warga kota yang lebih sering menonton Yutub ketimbang tivi. Televisi baru berguna kalau ada siaran bola.
Dua perbedaan itu saya kira tak patut diperbincangkan lebih dalam. "Screencast" kisah kedua tempat ini saya paparkan supaya Breeders tidak bisa mengambil hikmahnya. Apalagi, kini kampanye stop penggunaan smartphone mulai digalakkan. Tujuannya, mengajak orang-orang hidup normal, bersosialisasi secara nyata, saling menyapa sambil tatap muka. Kampanye itu dimunculkan karena adanya keresahan terhadap tingkat kecanduan internet yang lebih tinggi di kalangan milenial saat ini.
Jadi, jika suatu saat koneksimu putus, ingatlah masih banyak orang yang survive dengan jaringan hambar alakadar. Jangan mengeluh, nikmati saja. Habiskan dulu makananmu, nanti saja update statusnya, hehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H