Ajaibnya, jambo alakadar di samping rumah Mak saya, juga latah memasang WiFi gratis. Padahal, jambo ini cuma menjual jus murah seharga lima ribu perak. Saya tidak paham kenapa pemilik jambo memasang internet. Apakah supaya pelanggan betah?
Sayangnya, saat saya saya pulang kampung kemarin, warung itu sudah tutup. Hanya tiang antena WiFi yang masih tersisa. Dari bisik-bisik tetangga saya dengar ternyata pembeli sudah berkurang. Jadi, bukan karena WiFi gratis pelanggan mau bertahan, tapi trend jualan jus 5.000 memang tidak menarik lagi. Duh, nasib jus murah memang bernasib sama dengan gorengan kentang ulir: bisnis yang bergantung pada trending topic.
Fenomena itu membuat saya tak susah mencari internet gratis 24 jam nonstop. Tinggal ucapkan assalamualaikum ke pintu tetangga, password WiFi langsung dalam genggaman. Setelah itu tinggal browsing, buka-buka Tumblr. Ciee...anak Matang buka Tumblr mau akses apa hayoooo...?
Gelombang internet tersebut memang tak kasat mata tapi carut-marut kabel fiber optik sebagai pengantar koneksi jelas terlihat. Jadi Matang tak hanya padat oleh manusia tapi juga disesaki kabel. Jika sudah begini, buat apa lagi provider menyediakan internet murah? Sia-sia saja. Yang gratis ada kok beli paket data?
Itu baru tingkat Matang yang sebenarnya cuma berstatus kecamatan. Bagaimana dengan di Kutaraja atau kota-kota besar lain, tentu tak perlu dibahas.
Yang perlu dibahas adalah "kampung" kedua saya, main city Rembele. Berbeda sekali dengan Matang. Saya tinggal di sini ketika sudah menyandang status sebagai kepala dinas rumah tangga. Rembele dalam blue print Pemda Bener Meriah masuk main city kabupaten. Namun, koneksi internetnya sangat "main-main".
Kalau meminjam bahasa pengamat ekonomi, "Di kota penetrasi internet sudah mencapai angka enam digit, di pelosok harus puas di angka tiga digit. Hal ini wajar karena wilayah tengah yang berbukit masih sulit untuk membangun infrastruktur jaringan kabel".
Pewajaran ini mau tak mau harus membuat saya sering mengelus dada. Saya pikir juga terlihat egois jika saya harus berharap lebih soal koneksi internet di sini. Listrik saja sudah terjadwal kapan mati hidupnya.
Yang saya tahu, jaringan internet kabel fiber optik memang belum merata di Bener Meriah. Hanya di pusat kota dan di sepanjang jalur utama jalan Bireuen-Takengon saja. Selebihnya masih bergantung pada jaringan seluler provider berinisial T. Alternatif lain, bisa berlangganan paket WiFi, juga dari provider yang sama. Cukup tembak jaringan WiFi melalui antena yang disangkut di pohon kopi, internet sudah masuk desa.
Di Rembele, di desa tempat saya tinggal, kebutuhan internet belum menjadi self problem bagi warga. Fasilitas internet cuma ada untuk kantor desa. Sementara di rumah-rumah warga masih jarang terlihat antena WiFi. Yang mengakses internet lewat smartphone hanya generasi milenial. Jarang saya temui generasi tua yang pakai smartphone. Mereka masih setia dengan Nokia tinuninut yang built-in lampu senter--penolong utama saat mati lampu. Ada juga sih generasi tua yang pakai smartphone, tapi saya yakin status mereka PNS.
Untuk hiburan dan informasi, generasi tua masih mengandalkan media televisi. Mereka memilih menonton Jackie Chan berantem; atau menyaksikan breaking news dari ibu kota, atau gosip tentang jambul Syahrini. Siaran itu didapatkan berkat adanya antena parabola sebesar gajah itu. Berbeda sekali dengan warga kota yang lebih sering menonton Yutub ketimbang tivi. Televisi baru berguna kalau ada siaran bola.