Mohon tunggu...
Angra Bramagara
Angra Bramagara Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Orang biasa yang sedang belajar menulis, dan belajar menggali ide, ungkapkan pemikiran dalam tulisan | twitter: @angrab

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Iuran BPJS Kesehatan Ditanggung Perusahaan Asuransi Gantikan Beban Masyarakat

12 Oktober 2019   16:44 Diperbarui: 4 November 2019   10:00 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini lagi heboh BPJS Kesehatan. Kehebohan itu terjadi  karena BPJS Kesehatan akan menaikkan iuran peserta mandiri, akan menagih kepada peserta yang menunggak hingga ke rumah-rumah bak debt collector kartu kredit, bahkan akan memblokir pelayanan umum lainnya seperti SIM, Paspor peserta yang menunggak. 

Solusi macam apa ini, ha? 

Kehebohan ini terjadi berawal dari tekornya BPJS Kesehatan beberapa waktu silam. Berita baru-baru ini mengabarkan bahwa BPJS Kesehatan mengalami tekor dengan total nilai sebesar 32 triliun rupiah hingga tahun 2019. Definisi tekor di sini adalah terjadinya defisit antara pendapatan BPJS dan nilai klaim para pesertanya.

Pendapatan BPJS didefinisikan sebagai jumlah iuran yang dibayarkan oleh peserta BPJS per bulannya dan nilai klaim BPJS didefinisikan sebagai sejumlah dana yang dibayarkan oleh BPJS ke berbagai fasilitas kesehatan untuk menggantikan biaya pengobatan pasien yang menggunakan BPJS.

Peserta BPJS adalah masyarakat Indonesia, terdiri dari beberapa golongan masyarakat. Dari golongan yang dibayar penuh oleh pemerintah hingga golongan mandiri yang membayar iuran per bulan secara mandiri dengan berbagai tingkatan pelayanannya. 

Menurut pendapat dan analisis berbagai pihak, ada 3 faktor utama kenapa BPJS Kesehatan bisa defisit.

Pertama, ada yang bilang karena faktor manajemen fasilitas kesehatan seperti manajemen rumah sakit, bisa karena masalah efisiensi di rumah sakit, bahkan ada yang menduga karena terjadinya permainan mark up klaim dari rumah sakit.

Kedua karena faktor manajemen BPJS itu sendiri, bisa karena masalah efisiensi pengelolaan dan juga masalah pada sistem BPJS itu sendiri.

Ketiga adalah karena faktor masyarakat, yaitu banyaknya masyarakat menunggak iuran BPJS Kesehatan, juga karena mudahnya masyarakat terkena penyakit apakah karena gaya hidup, lingkungan hidup yang tidak sehat, dll.

Bisa menjadi heboh saat ini karena yang terkena imbas dari solusi yang ditawarkan BPJS untuk menutupi defisitnya itu adalah masyarakat langsung. Karena rencananya akan menaikkan iuran per bulan serta ditambah akan menagih ke rumah peserta yang menunggak, sampai ke pembatasan pelayanan umum terhadap masyarakat. 

Kalau solusinya itu difokuskan ke masalah manajemen rumah sakit atau masalah manajemen di BPJS sendiri, kehebohan itu tidak terjadi di masyarakat.

Terus, bagaimana solusinya?

Menurut pemikiran saya, sebaiknya aturan dan pengelolaan BPJS Kesehatan diatur ulang. Karena ada beberapa tipe masyarakat yang menjadi peserta BPJS saat ini. Masing-masing tipe masyarakat tersebut memiliki ekspektasi layanan yang beragam. 

Menurut konsep Kualitas Jasa (Services Quality) bahwa seberapa baik pelayanan suatu jasa ditentukan dari ekspektasi dan persepsi si penerima jasa.

Ekspektasi didefinisikan sebagai bentuk pelayanan yang diharapkan oleh calon konsumen, sedangkan persepsi adalah bentuk pelayanan yang sedang/telah diterima atau dirasakan oleh konsumen. Selisih antara persepsi dan ekspektasi itulah didefinisikan sebagai tingkat pelayanan jasa.

Tipe masyarakat Indonesia ada beberapa kategori yaitu masyarakat miskin yang selama ini sulit menjangkau fasilitas kesehatan karena faktor biaya, masyarakat kelas menengah hingga kaya yang selama ini bisa menjangkau fasilitas kesehatan. 

Ekspektasi mereka terhadap bentuk layanan kesehatan sangat berbeda. Sebagai contoh masyarakat miskin ketika mendapat akses ke fasilitas kesehatan secara gratis tentu sudah sangat senang sekali. Masyarakat lain pun kalau di kasih gratis juga tentu senang, tapi apa yang membedakannya? 

Masyarakat kelas menengah hingga kaya mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan tentunya sudah biasa bagi mereka, tidak ada yang istimewa bagi mereka, namun  yang mereka cari kemudian adalah harga, fasilitas, dan layanan non medisnya. 

"Ga apa-apa bayar, asalkan pelayanannya mantap, daripada gratis tapi pelayanan memble." begitu kira-kira ekspektasi dari masyarakat kelas menengah dan kelas atas.

Hal ini karena di mindset mereka sudah terbangun suatu standar pelayanan rumah sakit, dari pengalaman mereka berobat selama ini di berbagai rumah sakit. 

Apakah pelayanannya cepat? Apakah obat yang diberikan efektif, tidak bertele-tele? Apakah kamarnya nyaman? Apakah petugas rumah sakit dan dokternya ramah, sopan? Apakah rumah sakitnya bersih? Apakah susternya cantik-cantik?  

Apakah pelayanannya on time? Apakah makanannya enak dan beragam? Apakah tempat parkirnya nyaman? Apakah proses pembayarannya tidak bertele tele? dsb. 

Itulah beberapa parameter penilaian dari pasien atas jasa rumah sakit.

Tentu saja masing-masing tipe masyarakat memiliki beragam standar untuk itu. Ada yang merasa sudah cukup, ada yang merasa masih kurang, ada yang merasa sudah wow. 

Nah untuk kasus BPJS, peserta mandiri adalah peserta yang bisa digolongkan sebagai tipe masyarakat kelas menengah hingga kaya. 

Mereka selama ini membayar iuran BPJS secara mandiri, namun banyak juga dari mereka memiliki persepsi bahwa pelayanan rumah sakit terhadap pasien BPJS lebih buruk daripada pasien yang menggunakan uang pribadi atau asuransi swasta. 

Kalau begitu terus, tentunya lama kelamaan mereka malas membayar iuran BPJS lagi, lebih baik pakai uang pribadi saja atau asuransi swasta. Maklum saja kalau itu kejadian. Mereka tidak menggunakan BPJS untuk berobat.

Ada juga diantara masyarakat yang bayar iuran hanya sesekali, bahkan satu kali, namun langsung berobat menggunakan BPJS dengan penyakit yang biaya pengobatannya sangat mahal seperti jantung, kanker, dll.

Model masyarakat seperti ini rasanya kurang etis. Model seperti ini yang barangkali mesti ditindak dengan menagih tunggakan iurannya. Dari berita yang dirilis Kontan, model masyarakat seperti ini yang bikin BPJS tekor.  

Ngomong-ngomong soal penagihan, penagihan tunggakan iuran bak debt collector itu sebaiknya dipilah-pilah disesuaikan dengan aktivitasnya terhadap penggunaan fasilitas BPJS-nya. 

Jika peserta itu tidak pernah menggunakan fasilitas BPJS untuk berobat atau maksimal nilai klaim pengobatannya 500.000 atau berapalah enaknya dan dia juga menunggak iuran tidak membayar lagi, sebaiknya keanggotaannya di blokir saja. Kepesertaannya bisa aktif lagi jika dia melunasi tunggakannya.   

Untuk solusi yang dikaitkan dengan pelayanan umum lainnya seperti tidak bisa memperpanjang SIM/Paspor atau tidak bisa membuat SIM/Paspor, rasanya itu tidak relevan, dan kejam sekali. 

Masyarakat seakan diberendel, dikekang. SIM dan Paspor itu penunjang aktivitas ekonomi masyarakat, kalau itupun diblokir, makin banyak orang miskin dan makin tak sanggup menanggung beban hidup yang meyekik sekarang ini. Mau jadi negara apa Indonesia nanti?

Nah daripada berkutik disitu situ saja, karena tak akan selesai-selesai, alangkah baiknya rombak ulang BPJS Kesehatan. Baik UU, aturan, dan model bisnisnya. 

Dirombak macam mana?
Jadi, sumber pendapatan BPJS Kesehatan itu sebaiknya dari iuran perusahaan asuransi di Indonesia yang dibayarkan per tahun. Rada mirip sumber anggaran beberapa lembaga yang bersumber dari iuran perusahaan yang terkait dengannya. kalau tidak salah seperti OJK. Walaupun OJK dan BPJS beda ya fungsinya.

Besar iurannya bisa ditentukan kemudian, apakah bersumber dari persentase premi total seluruh anggota asuransi perusahaan tersebut, atau apalah gitu. Tentunya perusahaan asuransi tersebut diberikan insentif tertentu oleh pemerintah supaya tidak memberatkan pula, apakah dalam bentuk pengurangan pajak, dll.

Selain dari iuran perusahaan asuransi, kemudian sumber anggaran BPJS juga berasal dari premi asuransi PNS/TNI/Polri, juga dari anggaran pemerintah lewat APBN dan APBD.

Sedangkan pesertanya, BPJS sebaiknya khusus untuk rakyat miskin, PNS/TNI/Polri. Bagaimana dengan masyarakat lainnya? bagi masyarakat lainnya mereka diberi kebebasan untuk memilih, apakah menggunakan uang pribadi atau menggunakan perusahaan asuransi swasta atau BUMN seperti biasa untuk berobat. 

Masyarakat lainnya bisa memilih perusahaan asuransi mana yang mereka gunakan, tentunya disesuaikan dengan standard selera calon konsumen tersebut. Kalau mereka tak berminat untuk ikut asuransi, ya silakan, itu kebebasan mereka untuk memilih. 

Daripada mereka dipaksa masuk asuransi model BPJS sekarang dengan berbagai ancamannya, tapi mereka gak suka karena gak sesuai dengan ekspektasi mereka, dan ujung ujungnya ga bayar, malah kucing-kucingan dengan petugas penagihan (andai benar akan dilakukan model debt collector itu). Lebih baik mereka diberi kebebasan sesuai standar selera mereka.

Nah kedepannya, pemerintah perlu mengatur juga masalah pencegahan penyakit terutama berkaitan dengan lingkungan hidup dan gaya hidup masyarakat. Termasuk cukai rokok, pengawasan ketat bahan makanan, mengelola sanitasi, kurangi polusi dengan menggalakkan energi ramah lingkungan, pencegakan pembakaran lahan dan hutan, dll.

Semoga diperhatikan. Sekian, dan terima kasih. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun