Dulu, dalam berdagang kita harus membuka lapak di lokasi di mana pasar yang kita tuju berada. Misalkan kalau kita menyasar pasar di wilayah Indonesia atau kota tertentu, maka kita harus membuka lapak secara fisik di wilayah Indonesia atau kota tertentu tersebut. Saat ini, hal tesebut tidak harus begitu lagi, karena dengan teknologi informasi alias internet, kita bisa membuka lapak tanpa harus berbentuk toko fisik dimana saja bahkan berpindah-pindah tempat, namun dapat menjualnya ke mana saja ke seluruh dunia. Model semacam ini, memudahkan masyarakat untuk mengelak dari petugas pajak, bisa main kucing-kucingan dengan petugas pajak, karena lokasi fisik tetap nya tidak ada. Kalau tidak ada lapak fisik, kemana pajak itu harus ditagih?
Pelaku bisnis yang memanfaatkan teknologi informasi tersebut mengandalkan provider penyedia platform aplikasi untuk melindungi data mereka dari intipan siapa pun kecuali penyedia aplikasi itu sendiri. Kalau perusahaan penyedia platform aplikasi tersebut berada di luar negeri sekaligus data pebisnis itu pun disimpan di luar negeri, kemana petugas pajak menagihnya?Â
Tapi ada kalanya beberapa perusahaan penyedia platform, bersedia membuka data pebisnisnya, namun ada kalanya juga mereka menolak walaupun untuk penyelidikan tindakan kejahatan. Seperti yang terjadi pada Apple, dimana menolak keputusan pengadilan Amerika untuk membuka data pengguna Apple yang disangkakan melakukan tindak pidana kejahatan. Pengadilan di Amerika saja mereka tolak, apalagi pengadilan di Indonesia? Petugas bisa saja meminta data user itu ke penyedia aplikasi, tapi jika mereka menolak bagaimana? blokir? Â Â Â Â
Pergeseran Cara Bertransaksi
Dalam cara bertransaksi keuangan pun begitu, kalau dulu kita harus mengeluarkan uang fisik untuk membayar sesuatu, namun kini berkat teknologi informasi kita bisa menggunakan satu kartu tipis untuk membayarnya, dimasa depan barangkali bisa menggunakan sidik jadi dan kornea mata untuk menggantikan kartu nya.
Menggunakan uang secara fisik lebih banyak kekurangan dari sisi efisiensi biaya daripada menggunakan uang secara digital, oleh karena itu berbagai institusi keuangan dan perbankan saat ini mulai mengkampanyekan cashless society alias mengkampanyekan pada masyrakat agar menggunakan uang digital untuk bertransaksi keuangan. Hadirnya cara bertransaksi semacam itu semakin memudahkan para pebisnis dan konsumen untuk bertransaksi, dimana mereka tidak harus capek-capek mencari bank tempat mereka menyimpan duit untuk menyetor atau pun menarik duit. Dengan hanya bermodal kartu, gesek sana sini, pencet sana sini maka mereka bisa bertransaksi tanpa harus ke bank dari lokasi mana saja.
Kombinasi cara berdagang dan bertransaksi
Hadirnya cara berdagang online didukung pula dapat bertransaksi secara online, semakin membuat masyarakat bisa mengelak dari pungutan dan perpajakan. Apalagi jika ada aturan dimana memberlakukan kebijakan perlindungan data transaksi nasabah, maka makin membuat pebisnis online merasa aman untuk mengelak dari perpajakan.
Jika model transaksi dan perdagangan di masa depan benar-benar diarahkan ke online dan cashless society, maka diprediksi penerimaan pajak dari sektor ini tidak akan tercapai maksimal. Negara tidak mendapatkan haknya. Mengharapkan kesadaran pelaku bisnis online membayar untuk pajak? rasanya sulit, karena pada dasarnya manusia cenderung mengelak kecuali kalau terpaksa.
Membuka akses transaksi nasabah adalah Keniscayaan
Apapun dagangan atau bisnisnya, pada ujungnya pasti akan berakhir di sistem pembayaran yang untuk saat ini difasilitasi oleh sistem perbankan. Oleh karena itu, "mengintip" atau bahasa kerennya mendapatkan akses terhadap data transaksi nasabah adalah sebuah keniscayaan dalam era digital. Nantinya, dari analisa data yang diperoleh itu bisa didapat pola-pola transaksi nasabah, apakah bisa dikategorikan sebagai objek pajak atau bukan.