Berdasarkan atas uraian permasalahan di atas maka jelas bahwa Bali telah berada dalam ambang memasuki fase krisis air. Ini tentunya merupakan permasalahan pembangunan berdampak luas yang memerlukan penanganan secara terkoordinasi dengan melibatkan berbagai pihak.Â
Fakta dan data telah banyak terungkap dalam berbagai hasil penelitian yang dilakukan pemerintah, perguruan tinggi, lembaga non pemerintah. Hal penting yang penting dilakukan adalah edukasi, advokasi dan diseminasi hasil penelitian yang telah ada, sebagai suatu landasan ilmiah dalam formulasi kebijakan pembangunan daerah.
Kesadaran kolektif dan warisan budaya yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat tentang konservasi air merupakan modal dasar untuk membangun komitmen bersama dalam mengatasi tantangan krisis air ini. Warisan budaya ini juga dapat menjadi memori pengingat bahwa leluhur masyarakat Bali sejak dahulu telah memiliki pengetahuan dan melakukan aksi nyata untuk menyelamatkan alam Bali melalui konservasi dan penyelamatan sumberdaya air.Â
Kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang sejak Bali masih berada pada peradaban masyarakat tradisional itu sudah sepantasnya tetap menjadi fondasi bagi manusia Bali pada era peradaban modern untuk juga turut berkontribusi menjaga keberlanjutan sumberdaya air.Â
Generasi manusia Bali di era peradaban modern atas segala kenikmatan akan sumberdaya air yang diwarisinya dari manusia Bali di era peradaban tradisional memiliki kewajiban sejarah atau kewajiban politik (political obligation) untuk turut menjaga sumberdaya air demi keberlanjutan kehidupan di masa kini dan masa depan. Kewajiban politik untuk menjaga sumberdaya air ini tidak semata-mata muncul karena adanya suatu paksaan, namun lebih berdasarkan pada kesadaran moralitas (Dagger, 1977).
Berbagai kearifan lokal yang merupakan warisan budaya ini senantiasa dibanggakan sebagai nilai-nilai luhur asli Bali yang bisa disumbangkan kepada dunia. Walau demikian kebanggaan dan memorabilia filosofis kearifan lokal saja tentunya tidak dapat mengubah keadaan, seperti ditulis Marx pada baris XI dalam Theses of Feuerbach: "para filsuf hanya menafsirkan dunia dalam berbagai cara; intinya adalah mengubahnya" (Molyneux, 2012).Â
Tanpa kesadaran dan langkah nyata untuk menjaga keseimbangan tersebut, maka manusia Bali di era modern justru akan mewariskan kehidupan dengan kualitas yang terdegradasi di masa kini dan masa depan, bila dibandingkan dengan yang mereka warisi dari generasi manusia Bali di era tradisional.
Ini tentunya merupakan suatu ironi, ketika generasi di era modern sejatinya telah memiliki berbagai perangkat keilmuan dan teknologi yang jauh lebih maju untuk menjaga dan memelihara sumberdaya air sebagai fondasi penopang kehidupan alam Bali.
Oleh karena itu berbagai kearifan lokal sebagai warisan budaya tentang konservasi air dari masa lampau sudah selayaknya menjadi "kekuatan spiritual" yang dapat menginspirasi munculnya berbagai frugal innovation, yaitu inovasi yang murah dan sederhana namun berdampak (Nature, 2023; Prabhu, 2017; Weyrauch & Herstatt, 2017).Â
Kekuatan spiritual dari kearifan lokal ini selanjutnya juga diperkuat dengan "kekuatan material" berupa ilmu pengetahuan, riset dan inovasi di masa kini dalam melakukan konservasi sumber daya air untuk kehidupan yang berkualitas. Ketika elemen spiritual dan material dapat dipersatukan maka dapat terjadi lompatan perubahan besar yang mengubah dunia.
Apabila setiap kabupaten/kota di Bali dapat berkontribusi terhadap konservasi air, maka dampaknya akan berimplikasi terhadap Bali secara keseluruhan sebagai satu kesatuan ekosistem.