Mohon tunggu...
Ani Berta
Ani Berta Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger

Blogger, Communication Practitioner, Content Writer, Accounting, Jazz and coffee lover, And also a mother who crazy in love to read and write.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pangan Lokal di Lembata NTT Bantu Ketahanan Pangan Indonesia

19 Februari 2020   12:24 Diperbarui: 20 Februari 2020   16:05 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana makan bersama (Dok Pri)

Siapa sangka, di Desa Ile Ape Lembata yang jarak tempuh dari Kota Kupang memerlukan waktu selama 11 jam dengan pesawat kecil dan perjalanan darat, ada kemandirian pangan di sana? Walau jauh dari pusat kota termasuk pasar, namun warganya tak pernah kekurangan bahan makanan.

Saya ke sana dalam rangka pekerjaan dari sebuah LSM dan ketika bertemu penduduk yang mata pencahariannya mayoritas nelayan, mereka cukup fight dalam upaya bertahan hidup. 

Menurut Ibu Bernadete yang mendampingi saya saat berkunjung, di desa tersebut mayoritas penduduknya adalah perempuan. Karena laki-laki kebanyakan merantau menjadi TKI ke luar negeri dan jarang yang kembali pulang.

Melihat kondisi ini, semua warganya yang mayoritas perempuan ini mengadakan inisiatif untuk arisan sembako dan tetap mengutamakan pangan lokal sesuai yang tersedia di sana. Misalnya, kacang hijau, pisang, singkong, ikan, jagung dan hasil laut lainnya.

"Kami lebih baik makan makanan yang kami tanam sendiri dari pada menerima bantuan beras pera dari pemerintah yang kualitasnya kurang baik. Kadang bau apek juga banyak kutunya." Kata seorang ibu di saat ngobrol.

Jadi, prinsip mereka makan sehari-hari tak harus nasi atau yang biasa dimakan orang Indonesia pada umumnya. 

Mereka sudah merasa cukup dengan nasi jagung, olahan kacang hijau, ubi jalar, talas dan masih banyak lagi tanaman bernutrisi yang mampu mencukupi gizi mereka. Karena makan beras bantuan yang kualitasnya tidak baik, malah menjadi penyakit.

Untuk bahan protein pun mereka tak pernah kehabisan bahan. Setiap warga, walaupun perempuan setiap hari ada yang melaut, bahkan tak sedikit ibu-ibu yang melaut tenggelam saat bekerja namun selamat. Saat ditanya apakah mereka kapok berlayar setelah tenggelam? Ternyata tidak.

Olahan Makanan NTT, Murni dari Alam

"Horeee ada kepiting besar ini terdampar di pinggir sumur, sebentar saya bakar dulu. Adik bisa makan besar ini!" Teriak Ibu Agnes dari belakang meja tempat kami berkumpul. 

Dan benar saja, saya menyaksikan sendiri kepiting bakar raksasa yang tak perlu banyak bumbu atau racikan asam manis yang njlimet resepnya, tetap gurih dan enak disantap.

Ada lagi ikan hasil tangkapan para mama yang melaut, cukup dibakar saja tanpa campuran bumbu apapun sudah terasa gurih dan empuk.

Kepiting bakar hasil tangkapan (Dok Pri)
Kepiting bakar hasil tangkapan (Dok Pri)
Nasi Jagung dan tumis bunga pepaya serta ayam goreng (Dok Pri)
Nasi Jagung dan tumis bunga pepaya serta ayam goreng (Dok Pri)
Pembuatan Jagung Titi (Dok Pri)
Pembuatan Jagung Titi (Dok Pri)
Dok Pri
Dok Pri
Saya pun baru merasakan urap rumput laut yang gurih segar ditambah parutan kepala dan perasan jeruk nipis serta sambal. Enak luar biasa! Tak perlu pakai garam atau bumbu lainnya sudah lezat tiada tara. Kenyal, gurih, berprotein tinggi dan kaya serat.

Lalu, ada Jangung Titi. Kalau di perkotaan sarapan sereal, di sana tak kalan mewah, ada jagung titi yang dibuat dengan cara dibakar lalu digepengkan dan digoreng. 

Saya sampai diberikan bekal ke Jakarta jagung titi ini. Rasanya renyah dan alami. Cara makannya sederhana, segenggam jagung titi dimasukkan ke dalam mangkuk lalu disiran air the manis panas atau susu. Luar biasa lezat dan sangat original rasanya.

Untuk umbi -- umbian, kebanyakan diolah hanya direbus kadang dibuat kue atau olahan lainnya.

Suasana makan bersama (Dok Pri)
Suasana makan bersama (Dok Pri)
Mereka memasak jarang yang menggunakan kompor minyak atau kompor gas karena jauhnya logistik untuk isi ulang jika semua menggunakan kayu bakar. 

Menurut Ibu Agnes, kayu yang digunakan bukan dari hasil tebangan pohon sembarangan namun mereka mengumpulkan ranting -- ranting kering yang berjatuhan.

Arisan Sembako

Warga Lembata tersebut pada umumnya mempunyai ladang, mereka bercocok tanam macam-macam, ketika panen, semua hasilnya ditaruh dalam lumbung masing-masing, tak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari namun menjadi simpanan juga saat musim paceklik.

Karena tak semua warga mempunyai ladang, bagi yang tak punya ladang pun boleh ikut serta dalam arisan ini, semua warga juga bergabung untuk mengumpulkan uang sebanyak Rp.50.000 per bulan untuk dibelikan sembako yang tak tersedia di sana, seperti pembelian beras, minyak, dan gula.

Selain arisan, berlaku juga sistem barter, jika warga satu sedang membutuhkan kacang hijau, sedangkan dia punya singkong, bisa saling tukar. Jadi walaupun transaksi uang tak banyak, namun hamper semua kebutuhan terpenuhi dengan baik.

Mendukung Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan yang dicanangkan pemerintah, menurut saya sudah terimplementasi di Lembata ini. Karena budidaya menanam bahan pangan sangat digalakkan. 

Hal ini untuk mematahkan stigma bahwa makanan pokok itu harus nasi. Jadi, setiap daerah punya potensi bahan pangan lokal masing -- masing yang tentunya cocok dikonsumsi. Jadi, tak perlu memaksakan harus menyediakan beras selagi ada bahan makanan pokok lainnya.

Warga Lembata selain bermatapencaharian meladang dan melaut, beberapa ada juga yang mempunyai usaha tenun secara berkelompok atau mandiri. 

Usaha tenun ini tak selalu mulus pemasarannya, akan laku jika ada upacara adat atau acara-acara besar. Maka dari itu, arisan sembako dan barter bahan makanan pokok sangat menolong mereka.  

Tim:     Tangerang "OK
Ani Berta   :   https://www.kompasiana.com/brainy
Ina Tanaya          :   https://www.kompasiana.com/www.inatanaya.com
Sutiono  Gunadi    :    https://www.kompasiana.com/sutiono

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun