Mohon tunggu...
Braga Hatala
Braga Hatala Mohon Tunggu... -

Penulis adalah rakyat biasa yang memiliki tubuh luar biasa (double xl). Lulusan Fisip UNAS 2010, S2 manajemen SDM di WidJay (ga sempat lulus). pernah menjadi Pengurus Besar HMI, aktivis Lingkungan di Cekakpala. Penulis juga bergabung bersama 'Rumah Senja' sebuah wadah yang memberikan bimbingan belajar gratis di daerah Bekasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Operasi Sunyi Sunny (2)

12 April 2016   22:40 Diperbarui: 12 April 2016   22:59 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi Foto Detik.com"][/caption]

Sunny Tanuwidjaja. Nama tersebut beberapa pekan ini amat beken di media: elektronik, cetak, daring. Bahkan juga menjadi viral di media sosial. Sorotan media akhir-akhir ini mengalahkan nama kesohor La Nyalla yang buron. Sunny mendadak terkenal.

Bekennya Sunny sebab terbongkarnya kasus dugaan korupsi Reklamasi Teluk Jakarta yang melibatkan Ketua Komisi D DPRD Jakarta M Sanusi dan cukong-cukong Podomoro Group beserta beberapa orang karyawannya (lihat tulisan Kompasiana “Operasi Sunyi Sunny” 12 April 2016 ).

Sunny amat hebat. Mendorong banyak orang untuk membicarakan, menganalisa kepiawaiannya, menyimpulkan dan sebagainya. Pada tulisan sebelumnya “Operasi Sunyi Sunny” di Kompasiana telah dibahas (sedikit dan tak mendalam) mengenai kasus dan sosok Sunny. Kini, saya hanya ingin melanjutkan sedikit. Tanpa bermaksud sok tahu.

Sebelum mencuatnya kasus dugaan korupsi Reklamasi Teluk Jakarta, hampir tak ada yang mengenal Sunny. Kecuali memang “orang-orang khusus” yang bergerak di lingkaran politik dan bisnis. Sebagai seorang peneliti politik di CSIS maupun Populi Center, ia tak terkenal dibandingkan pengamat politik lain, sebut saja Hasan Nasbi, Burhanuddin Muhtadi, Hanta Yudha, Yunarto Widjaja dan lainnya. Sunny dalam keheningan.

Namun tak disangka, mencuatnya kasus dugaan korupsi Reklamasi Teluk Jakarta mengangkat nama dan membongkar juga kemahiran Sunny. Dirinya boleh kalah pamor dari pengamat-pengamat politik itu. Tetapi: Sunny orang terpercaya bagi bohir-bohir kelas kakap. Sunny (dari pengakuan pengacara tersangka M Sanusi) seorang penghubung.

Sunny pun mengakui bila memang mengatur (menggunakan bahasa lebih halus) pertemuan antara Sanusi sebagai bagian yang ikut menentukan kebijakan pelaksanaan Reklamasi Teluk Jakarta dan kelompok konglomerat Podomoro Group selaku calon pelaksana kerja reklamasi.

Menjadi catatan pertama: Sunny mampu menghubungkan, mengomunikasikan, antara elit politik dan konglomerat kelas kakap? Untuk seorang yang memiliki catatan karier ilmuwan politik, Sunny mampu mempertemukan tokoh-tokoh itu? Luar biasa Sunny!

Secara berpikir logika sederhana, tak mudah memberikan kepercayaan bagi seseorang untuk pertemuan tingkat tinggi (yang beraroma korupsi) bila Sunny belum amat dikenal sebelumnya. Paling mudahnya, bila Sunny bukan sebagai bagian kelompok elit politik atau sebaliknya, bukan “orang kepercayaan” konglomerat, tak akan diberikan tanggung jawab mengatur pertemuan.

Tak mungkin –secara logika- Sanusi memberikan kepercayaan kepada staf pegawai negeri kelas ‘ecek-ecek’ di DPRD Jakarta untuk berkomunikasi dengan konglomerat mengenai “hal khusus”. Dan tak gampang pula kelompok pengusaha yakin dengan utusan politisi yang dinilainya tak meyakinkan atau belum dikenal.

Sunny memang melanjutkan pengakuan bila Sanusi sebelumnya telah mengenal pula kalangan cukong kelas ikan paus. Bahkan, kata Sunny, sebelum ia terlibat dalam lingkaran birokrasi elit Jakarta. “Apalagi Sanusi sebelum jadi anggota DPRD Jakarta juga pengusaha, ia sudah kenal dengan orang-orang Podomoro,” ujar Sunny kepada awak media saat berkunjung ke Balai Kota Jakarta, Senin (11/4/2016).

Baiklah; alasan tersebut mungkin dapat dibenarkan. Lalu mengapa bukan Sanusi sendiri yang berkomunikasi mengenai aturan jadwal pertemuan dengan konglomerat Podomoro Group? Apa Sanusi tidak mempunyai “orang kepercayaan khusus” lain yang juga bisa dipercaya kelompok cukong Podomoro Group? Apakah Sanusi khawatir melanggar etika karena bertemu pengusaha besar diluar agenda terjadwal DPRD Jakarta? Mengapa harus Sunny?

Entahlah, waktu nanti yang menjawab. Sekadar mengingatkan pada tulisan “Operasi Sunyi Sunny”, Sunny adalah sepupu istri Franky Widjaja, anak cukong Sinar Mas Group, Eka Tjipta Widjaja. Sunny pernah bekerja pada pengusaha Peter Gontha. (Mungkin) jaringan Sunny luas.

Selanjutnya, catatan kedua: berdasarkan pengakuan Gubernur Ahok, Sunny hanya “anak magang” yang berkepentingan menyelesaikan penelitian guna meraih Doktor Ilmu Politik dari kampus di Amerika Serikat. Sang gubernur mengaku, Sunny kerap juga mengatur jadwal dan agenda Ahok.

Sunny memiliki semacam kewenangan khusus “menentukan siapa yang dapat menerima dan diterima Ahok”. Mulai kalangan politisi nasional hingga konglomerat. Apa kaitan kepentingan ilmiah studi dengan ikut mengatur jadwal pemimpin daerah, bahkan tingkat Jakarta?

Tak tanggung-tanggung, Sunny pernah diajak Ahok bertemu pemimpin parpol seperti Megawati dari PDIP dan Surya Paloh bosnya Partai Nasdem. Apa tak cukup Sunny melakukan penelitian gaya kepemimpinan politik dari keseharian Ahok berinteraksi dengan masyarakat, keputusan dan kebijakannya, sikap administratif Ahok di kinerja kantor gubernur? Sampai harus mengikut Ahok pada pertemuan politik khusus. Mengapa Ahok tak mengajak anak magang untuk penelitian skripsi ilmu politik agar lebih memahami dibandingkan kandidat doktor yang telah memahami?

Sunny semakin hebat. Di tangannya, dari pengakuan Sunny kepada awak media, juga kerap mengagendakan pertemuan Ahok dengan Aguan, si cukong besar Podomoro Group. Mengapa tak menggunakan jalur formal melalu surat yang dikerjakan staf pegawai negeri di kantor gubernur? Sunny hanya staf magang. Sekali lagi, bila Sunny bukan amat dikenal, mungkin tak akan dipercaya mensinergikan kedua belah pihak yang akan bertemu.

Kembali mengulas, Sunny bukan tokoh kesohor sebelum konspirasi dugaan korupsi Reklamasi Teluk Jakarta terungkap. Ia bukan konsultan politik resmi bagi Ahok maupun Sanusi. Berbeda dengan Andrinof Chaniago, M Qodari, Eep Syaifullah Fatah, Saiful Mujani, yang memang tercatat sebagai bagian konsultan politik “sah” pada politisi-politisi nasional Indonesia. Mereka percaya diri saat publik menyatakan mereka adalah konsultan atau penasihat politik para politisi kliennya. Tidak mengeluarkan berbagai sebutan lain sebagai staf khusus, kawan dekat, anak magang, mahasiswa yang hanya melakukan penelitian. Kerja para konsultan politik itu ilmiah: riset, survey, saran kepada politisi kliennya. Bukan pengatur jadwal pertemuan cukong dan kliennya yang sebetulnya wewenang pegawai administratif.

Sunny hanya nama yang hening sebelumnya. Kalaupun ada tulisan-tulisan yang dipublikasikan di media, sejauh penelurusan penulis itu tak banyak dan di media sekelas blog. Tulisan analisa politiknya di media nasional tidak seproduktif Alfan Alfian, Kacung Marijan, Siti Zuhro.

Pada film-film bercerita tentang lingkaran intelijen, seorang agen intelijen yang nama, bahkan wajahnya, tak perlu serta jangan diketahui publik. Tujuannya agar misi yang dilakukan jangan bocor dan operasi tercapai. Sang agen perlu memiliki wawasan luas agar memahami perintah dan strategi di lapangan. Agen itu bekerja dalam diamnya. Ia kembali pada bosnya dengan laporan operasi berhasil.

Entahlah, Sunny hanya seorang ilmuwan politik. Sunny bukan tercatat resmi berprofesi agen intelijen. Sunny hanya bergerak dan bekerja dalam kesunyian. Dan memberikan laporan kerja yang entah kepada siapa bos yang dilaporkannya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun