Baiklah; alasan tersebut mungkin dapat dibenarkan. Lalu mengapa bukan Sanusi sendiri yang berkomunikasi mengenai aturan jadwal pertemuan dengan konglomerat Podomoro Group? Apa Sanusi tidak mempunyai “orang kepercayaan khusus” lain yang juga bisa dipercaya kelompok cukong Podomoro Group? Apakah Sanusi khawatir melanggar etika karena bertemu pengusaha besar diluar agenda terjadwal DPRD Jakarta? Mengapa harus Sunny?
Entahlah, waktu nanti yang menjawab. Sekadar mengingatkan pada tulisan “Operasi Sunyi Sunny”, Sunny adalah sepupu istri Franky Widjaja, anak cukong Sinar Mas Group, Eka Tjipta Widjaja. Sunny pernah bekerja pada pengusaha Peter Gontha. (Mungkin) jaringan Sunny luas.
Selanjutnya, catatan kedua: berdasarkan pengakuan Gubernur Ahok, Sunny hanya “anak magang” yang berkepentingan menyelesaikan penelitian guna meraih Doktor Ilmu Politik dari kampus di Amerika Serikat. Sang gubernur mengaku, Sunny kerap juga mengatur jadwal dan agenda Ahok.
Sunny memiliki semacam kewenangan khusus “menentukan siapa yang dapat menerima dan diterima Ahok”. Mulai kalangan politisi nasional hingga konglomerat. Apa kaitan kepentingan ilmiah studi dengan ikut mengatur jadwal pemimpin daerah, bahkan tingkat Jakarta?
Tak tanggung-tanggung, Sunny pernah diajak Ahok bertemu pemimpin parpol seperti Megawati dari PDIP dan Surya Paloh bosnya Partai Nasdem. Apa tak cukup Sunny melakukan penelitian gaya kepemimpinan politik dari keseharian Ahok berinteraksi dengan masyarakat, keputusan dan kebijakannya, sikap administratif Ahok di kinerja kantor gubernur? Sampai harus mengikut Ahok pada pertemuan politik khusus. Mengapa Ahok tak mengajak anak magang untuk penelitian skripsi ilmu politik agar lebih memahami dibandingkan kandidat doktor yang telah memahami?
Sunny semakin hebat. Di tangannya, dari pengakuan Sunny kepada awak media, juga kerap mengagendakan pertemuan Ahok dengan Aguan, si cukong besar Podomoro Group. Mengapa tak menggunakan jalur formal melalu surat yang dikerjakan staf pegawai negeri di kantor gubernur? Sunny hanya staf magang. Sekali lagi, bila Sunny bukan amat dikenal, mungkin tak akan dipercaya mensinergikan kedua belah pihak yang akan bertemu.
Kembali mengulas, Sunny bukan tokoh kesohor sebelum konspirasi dugaan korupsi Reklamasi Teluk Jakarta terungkap. Ia bukan konsultan politik resmi bagi Ahok maupun Sanusi. Berbeda dengan Andrinof Chaniago, M Qodari, Eep Syaifullah Fatah, Saiful Mujani, yang memang tercatat sebagai bagian konsultan politik “sah” pada politisi-politisi nasional Indonesia. Mereka percaya diri saat publik menyatakan mereka adalah konsultan atau penasihat politik para politisi kliennya. Tidak mengeluarkan berbagai sebutan lain sebagai staf khusus, kawan dekat, anak magang, mahasiswa yang hanya melakukan penelitian. Kerja para konsultan politik itu ilmiah: riset, survey, saran kepada politisi kliennya. Bukan pengatur jadwal pertemuan cukong dan kliennya yang sebetulnya wewenang pegawai administratif.
Sunny hanya nama yang hening sebelumnya. Kalaupun ada tulisan-tulisan yang dipublikasikan di media, sejauh penelurusan penulis itu tak banyak dan di media sekelas blog. Tulisan analisa politiknya di media nasional tidak seproduktif Alfan Alfian, Kacung Marijan, Siti Zuhro.
Pada film-film bercerita tentang lingkaran intelijen, seorang agen intelijen yang nama, bahkan wajahnya, tak perlu serta jangan diketahui publik. Tujuannya agar misi yang dilakukan jangan bocor dan operasi tercapai. Sang agen perlu memiliki wawasan luas agar memahami perintah dan strategi di lapangan. Agen itu bekerja dalam diamnya. Ia kembali pada bosnya dengan laporan operasi berhasil.
Entahlah, Sunny hanya seorang ilmuwan politik. Sunny bukan tercatat resmi berprofesi agen intelijen. Sunny hanya bergerak dan bekerja dalam kesunyian. Dan memberikan laporan kerja yang entah kepada siapa bos yang dilaporkannya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H