Sumber daya genetik (SDG) tanaman khas dan tumbuh pada daerah yang sangat berbeda ditemukan di Jawa Tengah salah satunya adalah Carica (Carica pubescens) dikenal dengan pepaya gunung.
Perkembangannya yang hanya pada agroekosistem yang terbatas dan hanya pada satu wilayah, menyebabkan komoditas ini rawan punah dikarenakan jika terjadi bencana alam atau adanya ledakan OPT, serta tidak adanya cadangan tanaman pada daerah lain. Sifat dan karakter yang khas, unik dan potensial untuk lebih dikembangkan, maka perlu dilakukan eksplorasi.
Tanaman ini, tumbuh pada lahan dengan berbagai permasalahan dan keterbatasan. Pegunungan Dieng tempat berkembangnya Carica, merupakan lahan berlereng, dimana petani setempat banyak membudidayakan tanaman hortikultura (kentang), jika tanpa adanya tanaman penguat, pencucian dan erosi lahan akan sangat mudah terjadi.
Tanaman ini berpotensi dalam mendukung konservasi pada lahan kering, pelestarian Sumber Daya Genetik (SDG) serta menunjang peningkatan pendapatan masyarakat. Tulisan ini akan mengupas tentang SDG yang memiliki sifat unik dan potensial sehingga masyarakat luas mengetahui dan mengerti, selanjutnya peduli untuk melestarikan, mengembangkan dan memanfaatkan
Buah pepaya ini hanya dapat ditemukan di daerah dataran tinggi Dieng dan di Bali, dapat tumbuh pada agroekosistem yang sangat terbatas, mulai pada ketinggian ± 1400 m dpl, dan populasi terbanyak terdapat pada ketinggian ± 2400 m dpl. Jenis ini berasal dari dataran tinggi Andes, Amerika Selatan, diintroduksi ke Indonesia pada masa menjelang Perang Dunia II oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Pepaya gunung atau carica termasuk spesies Carica pubescens Lenne & K.Koch (http://wikipedia.org dalam Budiyanti et al., 2016). Tanaman pepaya ini lebih tahan terhadap udara dingin dan virus yang biasa menyerang pepaya biasa (Van Balgooy, 1998 dalam Hidayat, 2000). Terbatasnya agroekosistem yang sesuai untuk pertumbuhan carica menyebabkan wilayah pengembangan sempit dan populasi sedikit. Oleh karena itu perlu dilakukan koleksi guna pelestarian SDG ini.
Carica ini satu genus dengan pepaya pada umumnya (Carica papaya), tetapi berbeda pada spesiesnya yaitu dengan nama C. pubescens, dimana pubescens mempunyai arti berbulu dan menjadi ciri khas dari carica. Bulu-bulu (trichoma) dapat ditemukan pada beberapa bagian tanaman, diantaranya tampak jelas pada permukaan luar daun bagian bawah (abaksial), tangkai daun, permukaan luar bunga, baik bunga jantan maupun bunga betina (Laily, 2010 dalam Budiyanti et al., 2016).
Karakteristik tanaman carica adalah tinggi tanaman 1-3 meter, batang bercabang, bentuk penampang, batang bulat, warna batang hijau kecoklatan. Daun berbentuk menjari, panjang daun ± 45cm, lebar daun 5-37 cm, warna daun hijau, tepi daun bergelombang, ujung daun meruncing, permukaan daun kasar berombak.
Carica memiliki jenis bunga jantan, betina, dan hermaprodit. Bentuk bunga meruncing, warna kelopak bunga putih kekuningan, warna mahkota kuning kehijauan, warna kepala putik kecoklatan, warna benang sari putih, umur mulai berbunga ± 4 bulan dari stek atau ± 1 tahun dari biji.
Buah berbentuk bulat telur dengan punggung buah berbelimbing, panjang ± 8 cm, diameter ± 4.cm, warna kulit buah muda hijau gelap, warna kulit buah masak kuning, jumlah buah/tanaman 34-86 buah, berat buah 100 - 300 gram/buah, daging buah kenyal, berwarna kuning, rasanya agak asam tetapi harum.
Biji berwarna hitam, jumlah banyak dan keras, diselimuti sarcotesta yang tebal. Sarcotesta mempunyai rasa agak manis, asam dan aroma harum. Carica dapat dipanen pada 6-7 bulan jika diperbanyak melalui stek tunas atau 1 tahun jika dari biji (BPTP Jateng, 2014).
Buah carica jarang dimakan langsung karena rasanya kurang manis, tetapi lebih sering dijadikan bahan olahan. Daging buahnya diolah menjadi manisan, keripik, dodol dan jely. Pemanfaatan carica untuk manisan, dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di dataran tinggi Dieng. Hal ini dapat dilihat dengan menjamurnya carica olahan manisan carica di Kabupaten Wonosobo terutama di Dieng
Topografi berlereng di Pegunungan Dieng, dengan pengolahan lahan maksimal dan budidaya tanaman kentang monokultur membuat lahan mudah mengalami erosi. Hasil penelitian (Kurdian,1984) dan (Mapadin,i986) dalam Widiastuti (2008), di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, menunjukkan hubungan antara kemiringan lereng dengan kerusakan lahan adalah :
(1) Lereng lebih dari 40% mendorong terjadinya kerusakan lahan dan (2) Lereng 15-40% dan kurang dari 15% berpengaruh nyata negatif terhadap kerusakan lahan.
Menurut Arsad (1989) dalam Widiastuti (2008) salah satu teknik konservasi dalam mencegah kerusakan lahan adalah penanaman tanaman tahunan. Penelitian Widiastuti menunjukkan bahwa jenis makrobiota tanah dan laju erosi pada pola tanam tumpangsari carica dan kentang dibanding dengan pola tanam monokultur kentang berbeda nyata.
Jenis-jenis makrobiota tanah yang ditemukan pada tanaman tumpangsari (Carica dan kentang) dan monokultur kentang ada 170 spesies. Makrobioata permukaan tanah dan di dalam tanah pada lahan tumpangsari (masing-masing 29 dan 70), lebih banyak jenisnya dibandingkan pada lahan monokultur (masing-masing 12 dan 59).
Hal ini membuktikan bahwa peningkatan intensitas pengolahan lahan pada sistem tumpangsari berdampak luas bagi struktur, kombinasi dan aktivitas organisme pada lingkungan tersebut. Menurut Sari (2003) keanekaragaman makrofauna dan mesofauna tanah lebih tinggi pada sistem tumpangsari. Jenis makrobiota tanah yang ditemukan di dalam tanah sebanyak (129 jenis) lebih banyak jika dibanding makrobiota permukaan tanah (41 jenis). Hal ini diduga pengaruh dari intensitas penyemprotan insektisida dan pestisida lain yang sangat tinggi (Tabel 1)
Semut hitam besar (Formicinae) adalah polyfagus yang populasinya diduga terutama ditentukan oleh kesesuaian keadaan lingkungan abiotiknya. Efektifitasnya penutupan tanah oleh kanopi carica dan keberadaan mulsa sangat mendukung kehidupan semut hitam dan spesies- spesies makrobiota tanah lainnya (Sugiyarto, 2003). Hasil penelitian Widiastuti (2008) menunjukkan bahwa rata-rata Indeks Keanekaragaman (IK) dan dominan spesies makrobiota tanah yang hand sorting (IKD) dan fall trap (IKP) dalam lahan tumpangsari itu lebih banyak apabila dibandingkan dengan lahan monokultur (Tabel 2)
Menurut Suin (1997) bahwa nilai mendekati nilai 1 menunjukkan tinggi keanekaragaman spesies yang diukur dan sebaliknya. Karena makrobiota tanah memiliki arti penting di dalam ekosistem terestrial.
Pada ekosistem pertanian, makrobiota tanah berperan dalam pemeliharaan sifat fisika, kimia, biologi tanah, terutama sebagai dekomposer dan ‘soill engineer‘ sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman, selain itu berbagai jenis makrobiota tanah juga berperan sebagai hama, sedangkan lainnya berperan sebagai predator sehingga erat kaitannya dengan pengendalian hayati.
Menurut Arsyad (1989), erosi merupakan peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah dan bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Erosi merupakan salah satu tenaga geomorfologis yang menyebabkan permukaan bumi menjadi turun.
Besarnya erosi yang diperkirakan dalam penelitian ini merupakan erosi yang dipercepat (accelarated erosion) yaitu erosi yang penyebab utamanya adalah kegiatan manusia atau kadang-kadang hewan dan besarnya jauh lebih cepat dari erosi normal atau erosi geologi.
Perhitungan besar erosi dalam penelitian ini menggunakan Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT) yaitu A = R K L S C P (Ton/Ha/Thn). Dari besar nilai A yang dikombinasikan dengan kedalaman solum tanah akan diperoleh Tingkat Bahaya Erosi (TBE) tanah.
Laju erosi tanah adalah besarnya tanah yang hilang dari permukaan asli yang disebabkan oleh adanya tetes hujan dan aliran permukaan. Laju erosi tanah tergantung pada besarnya nilai dari faktor- faktor erosinya ditambah dengan kecepatan aliran permukaan yang terjadi pada daerah tersebut. Hasil perhitungan laju erosi per satuan lahan dapat dilihat pada Tabel 3. berikut.
Hasil dari perbedaan produktivitasnya disajikan pada Tabel 5, setelah ditimbang hasil analisa tidak ada perbedaan dalam produktivitasnya dalam penanaman tumpang sari dan monokultur.
Semakin Tinggi produktivitas tanaman menunjukkan semakin tinggi kemampuan tanaman untuk memanfaatkan potensi lingkungan dalam satuan waktu dan luas lahan. Sejalan dengan hasil penelitian Handayani (2011) yang menyatakan bahwa pengaruh tumpangsari gandum dengan tembakau terhadap pertumbuhan dan hasil monokultur tembakau, dimana rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun tembakau pada tumpangsari lebih tinggi daripada monokulturnya.
Hal ini membuktikan bahwa peningkatan intensitas pengolahan lahan pada sistem tumpangsari berdampak luas bagi struktur, kombinasi dan aktivitas organisme pada lingkungan tersebut. Selain berperan penting sebagai dekomposer dan “soil engeneer , keberadaan cacing tanah juga dapat menyebabakan keadaan lingkungan yang semakin beragam dengan adanya pembentukan ‘cast’ di permukaan tanah sehingga banyak spesies- spesies makrobiata tanah lainnya dapat hidup bersama (Co-existensi).
Tanaman carica ini telah didaftarkan pada Pusat Perlindungan Varietas dan Perizinan Pertanian (Pusat PVT dan PP) dengan nomor tanda daftar varietas lokal 59/PVL/2013 oleh Kabupaten Banjarnegaran dengan nama Carica “Merdada Dieng”.
Indikasi geografis (IG) juga telah diajukan oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Carica Dieng Wonosobo dengan No. Agenda 1G.00.2011.00008 dan Nomor Pendaftaran ID G 000000016 (20 Juli 2012).
Perbedaan keduanya adalah untuk tanda daftar varietas lokal adalah bahwa varietas ini ini secara resmi kepemilikan oleh Kabupaten Banjarnegara, sedangkan IG adalah tanda yang digunakan untuk produk yang mempunyai asal geografis spesifik dan mempunyai kualitas atau reputasi yang berkaitan dengan asalnya. Pada umumnya indikasi geografis terdiri dari nama produk yang diikuti dengan nama daerah atau tempat asal produk. Arif S