Mohon tunggu...
Arif Susila
Arif Susila Mohon Tunggu... Ilmuwan - Menjalani Hidup

Peneliti Balitbangtan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Carica: Buah Lokal Eksotik dan Konservasi Lahan

22 Oktober 2020   22:18 Diperbarui: 24 Oktober 2020   20:04 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buah carica jarang dimakan langsung karena rasanya kurang manis, tetapi lebih sering dijadikan bahan olahan. Daging buahnya diolah menjadi manisan, keripik, dodol dan jely. Pemanfaatan carica untuk manisan, dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di dataran tinggi Dieng. Hal ini dapat dilihat dengan menjamurnya carica olahan manisan carica di Kabupaten Wonosobo terutama di Dieng

Topografi berlereng di Pegunungan Dieng, dengan pengolahan lahan maksimal dan budidaya tanaman kentang monokultur membuat lahan mudah mengalami erosi. Hasil penelitian (Kurdian,1984) dan (Mapadin,i986) dalam Widiastuti (2008), di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, menunjukkan hubungan antara kemiringan lereng dengan kerusakan lahan adalah : 

(1) Lereng lebih dari 40% mendorong terjadinya kerusakan lahan dan (2) Lereng 15-40% dan kurang dari 15% berpengaruh nyata negatif terhadap kerusakan lahan. 

Menurut Arsad (1989) dalam Widiastuti (2008) salah satu teknik konservasi dalam mencegah kerusakan lahan adalah penanaman tanaman tahunan. Penelitian Widiastuti menunjukkan bahwa jenis makrobiota tanah dan laju erosi pada pola tanam tumpangsari carica dan kentang dibanding  dengan pola tanam monokultur kentang berbeda nyata.

Jenis-jenis makrobiota tanah yang ditemukan pada tanaman tumpangsari (Carica dan kentang) dan monokultur kentang ada 170 spesies. Makrobioata permukaan tanah dan di dalam tanah pada lahan tumpangsari (masing-masing 29 dan 70), lebih banyak jenisnya dibandingkan pada lahan monokultur (masing-masing 12 dan 59). 

Hal ini membuktikan bahwa peningkatan intensitas pengolahan lahan pada sistem tumpangsari berdampak luas bagi struktur, kombinasi dan aktivitas organisme pada lingkungan tersebut. Menurut Sari (2003) keanekaragaman makrofauna dan mesofauna tanah lebih tinggi pada sistem tumpangsari. Jenis makrobiota tanah yang ditemukan di dalam tanah sebanyak (129 jenis) lebih banyak jika dibanding makrobiota permukaan tanah (41 jenis).  Hal  ini diduga pengaruh dari intensitas penyemprotan insektisida dan pestisida lain yang sangat tinggi (Tabel 1)

Sumber: Widiastuti
Sumber: Widiastuti
Pada lahan tumpangsari dan monokultur makrobiota dalam tanah didominasi oleh cacing tanah (Metaphire javanica), sedangkan makrobiota permukaan tanah didominasi oleh semut hitam besar (Formicinae). Keberadaan cacing tanah dapat menyebabkan keadaan lingkungan yang semakin beragam dengan adanya pembentukan ‘cast’ di permukaan tanah sehingga banyak spesies-spesies makrobiata tanah lainnya dapat hidup bersama (Co-existensi). Cacing tanah adalah makrobiota tanah ‘endogeik’ atau tetap tinggal di dalam tanah dan berfungsi sebagai saprofagus (Suin, 1997). Cacing tanah memiliki arti penting bagi pemeliharaan kesuburan tanah. Oleh karena itu populasinya yang tinggi sangat diharapkan untuk mendukung produktivitas lahan. Organisme ini tidak mempunyai kebiasaan makan secara langsung bahan organik tanaman, melainkan makan bahan organik yang telah atau sedang mengalami dekomposisi. Dengan demikian adanya proses dekomposisi bahan organik yang berjalan dalam waktu lama mendukung eksistensi cacing tanah pada habitatnya. Hal ini menunjukkan bahwa cacing tanah menyukai habitat yang tersedia bahan organik yang bersifat lambat terdekomposisi sehingga dapat berperan sebagai tempat perlindungan dari intensitas cahaya yang tinggi

Semut hitam besar (Formicinae) adalah polyfagus yang populasinya diduga terutama ditentukan oleh kesesuaian  keadaan lingkungan abiotiknya. Efektifitasnya penutupan tanah oleh kanopi carica dan keberadaan mulsa sangat mendukung kehidupan semut hitam dan spesies- spesies makrobiota tanah lainnya (Sugiyarto, 2003). Hasil penelitian Widiastuti (2008) menunjukkan bahwa rata-rata Indeks Keanekaragaman (IK) dan dominan spesies makrobiota tanah yang hand sorting (IKD) dan fall trap (IKP) dalam lahan tumpangsari itu lebih banyak apabila dibandingkan dengan lahan monokultur (Tabel 2)

Sumber: Widiastuti
Sumber: Widiastuti
Indeks keanekaragaman makrobiota tanah yang di permukaan (IKP = 0,6923) pada monokultur spesies yang paling dominan Lepidopsocidae (kupu-kupu). Sedangkan (IKP=0,6928) pada tumpangsari lebih dominan Ponerine (semut merah). Hal ini lebih banyak apabila dibanding indeks keanekaragaman makrobiota dalam tanah pada lahan monokultur kentang  (IKD = 0,6783) dan pada Tumpangsari (IKD = 0,8007).

Menurut Suin (1997) bahwa nilai mendekati nilai 1 menunjukkan tinggi keanekaragaman spesies yang diukur dan sebaliknya. Karena makrobiota tanah memiliki arti penting di dalam ekosistem terestrial. 

Pada ekosistem pertanian, makrobiota tanah berperan dalam  pemeliharaan sifat fisika, kimia, biologi tanah, terutama sebagai dekomposer dan ‘soill engineer‘ sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman, selain itu berbagai jenis makrobiota tanah juga berperan sebagai hama, sedangkan lainnya berperan sebagai predator sehingga erat kaitannya dengan pengendalian hayati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun