Mohon tunggu...
Brian Prastyo
Brian Prastyo Mohon Tunggu... -

Tukang Ketik. Tinggal di perbatasan Jakarta dan Depok.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pengalihan Isu: Fact or Fiction?

9 Juni 2010   09:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:38 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Admin yang amat saya hormati. Mohon tidak menempatkan tulisan ini di rubrik new media atau rubrik yang lain, karena persoalan ini buat saya adalah masalah politik. Terimakasih banyak.

Saya sangat menghormati para jurnalis terutama mereka yang dengan gagah berani melakukan investigasi dan menulis laporan mengenai berbagai konspirasi jahat yang merugikan masyarakat. Tetapi terus terang, saya tidak terlalu hormat kepada para editor apalagi kepada para pengusaha media.

Kecuali terbukti sebaliknya, sepengetahuan saya dua spesies itu sering termasuk dalam golongan manusia yang tidak peduli dengan tersebarnya kerusakan di alam pikiran masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja kita, hanya agar dagangannya laku. Dan tabiat mereka adalah, jika mereka dikritik, maka secara agresif mereka akan menyerang pengkritiknya melalui ruang-ruang di media mereka dan memberikan cap kepada para pengkritik itu sebagai orang yang: anti kebebasan pers. Memuakkan.

Salah satu pekerjaan kotor para editor dan pengusaha media adalah melakukan pengalihan isu. Atas keputusan mereka lah suatu berita bisa terbit atau hilang, bisa lanjut atau stop, dan bisa fakta atau fiksi. Sebagian dari mereka mungkin menikmati sekali pekerjaannya, tetapi sebagian yang lain mungkin sangat membencinya karena sadar akan keburukan dari perbuatannya. Apa tolok ukur bahwa suatu isu sedang ramai dibicarakan? Saya pikir di era telematika ini ada tiga, yaitu hot topic di google, trending topic di twitter, dan popular tag di situs-situs interaktif seperti Kompasiana ini. Saya pilih ketiganya, karena konten di ketiga media itu, yaitu keywords, twit dengan hash tag tertentu, dan artikel di public blog, adalah konten yang dikirim oleh pengguna dan bukan secara eksklusif berasal dari korporat media. Jadi itulah yang bagi saya lebih mencerminkan "ketertarikan masyarakat".

Semua editor dan pengusaha media akan sangat bangga jika sukses menggiring opini masyarakat pembaca untuk satu periode waktu tertentu. Tetapi khusus untuk para editor dan pengusaha media yang menikmati pekerjaan kotor mereka, maka mereka akan sangat bangga jika sukses melambungkan isu yang akan merusak alam pikiran anak-anak dan remaja kita, yang menampilkan tayangan kekerasan secara vulgar, dan jauh lebih bangga lagi jika bisa membuat suatu isu yang mengalihkan isu populer lain dalam sekejap.

Apakah isu yang dapat merusak alam pikiran anak-anak dan remaja kita? Menurut saya, tipe isu yang masuk dalam kategori itu adalah berita tentang tersebarnya suatu video perzinaan dan berita yang mempromosikan suatu film yang jelas-jelas menggunakan artis film porno atau film yang bergenre erotic, baik itu erotic comedy, erotic horror, atau erotic thriller. Mereka yang begitu menuhankan freedom of expression dan freedom of the press pasti akan membela habis-habisan hak mereka untuk memberitakan berita-berita semacam itu. Bagi mereka, tidak usah bawa-bawa moral dalam urusan pers, dan jika keberatan maka masyarakat disuruh menggunakan saja hak jawabnya, atau menyelesaikannya di hadapan hukum, atau disuruh lapor ke KPI atau Dewan Pers. Bagi mereka, urusan pemberitaan itu urusan legal dan illegal, bukan moral dan amoral. Memuakkan.

Jadi apa yang bisa kita lakukan sebagai konsumen dari pemberitaan media? Saya punya beberapa usul yang mungkin terkesan absurd untuk sebagian dari kita.

Hal pertama yang wajib kita lakukan adalah menanyakan pada diri kita sendiri, sayangkah kita dengan anak-anak kita? relakah kita jika anak kita melakukan seks bukan dengan pasangan yang dinikahinya? setujukah kita jika anak-anak kita mengatakan bahwa seks di dalam dan di luar pernikahan itu sama saja yaitu interaksi-fisik-dan-emosi-untuk-kesehatan dan tidak berkaitan dengan moral, dan bahwa dia punya hak untuk menggunakan tubuhnya sesuai dengan apapun keinginannya termasuk jika keinginan itu bertentangan dengan agama? Saya pikir, jika kita sayang dengan anak kita, jika kita tidak rela saat anak kita melakukan hubungan seks dengan bukan pasangan yang dinikahinya, dan jika kita berpikir bahwa melakukan seks sangat berkaitan dengan moral dan agama, maka ini yang harus kita lakukan: kita perlu sering bicara dengan mereka, karena kitalah yang menjadi penyeimbang dari berita-berita di media yang mereka konsumsi. Apa yang perlu dibicarakan?

Saya pikir sebaiknya kita jangan secara ekstrem melarang anak-anak kita bergaul dengan lawan jenisnya. Cinta itu hasrat yang alamiah. Biarkan saja dia tumbuh dan mengalir. Kita harus mendorong anak-anak kita untuk bisa bergaul dan berkomunikasi dengan semua temannya; apapun jenis kelaminnya. Yang harus kita tanamkan adalah pemikiran bahwa: berteman itu boleh, jatuh cinta itu boleh, tetapi yang tidak boleh adalah menyentuh lawan jenis yang belum dinikahi. Jadi kita bisa bilang, silahkan pacaran tetapi jangan menyentuh pacarnya ya. Kalau anak kita bertanya, kalau pegangan tangan aja boleh gak? Maka anda harus tegas menjawab, bahwa itu pun tidak boleh. Makanya nasihatilah anak kita, agar kalau pacaran tidak pergi berduaan. Dan kita tanamkan pula pemikiran pada mereka bahwa mereka harus serius pacarannya supaya bisa segera dinikahkan.

Ketika ada pemberitaan mengenai suatu video perzinaan yang ramai digunjingkan orang-orang, maka yakinlah bahwa 99% anak kita akan melihat video tersebut, baik dengan sengaja atau karena terpaksa. Agar kerusakan yang terjadi pada keimanan dan moralitas anak kita tidak menjadi parah, maka kita harus ajak dia bicara kembali. Katakan kepadanya bahwa jika dia sudah melihat video itu maka tanggungjawabnya adalah kepada Tuhan dan sebaiknya dia minta ampun kepada Tuhan. Tetapi jika dia belum melihat video itu, maka katakanlah bahwa dia sudah melakukan perbuatan yang benar. Kita tidak perlu menginterogasinya. Dan kita tidak perlu menyalah-nyalahkan atau mencemooh si pelaku perzinaan itu di hadapan anak kita, karena mereka bukan urusan kita. Tidak usah bergosip. Fokus lah pada apa yang sudah dan belum dilakukan oleh anak kita dan jangan mengurusi orang lain. Secara berkala dan diam-diam kita perlu memeriksa isi handphone anak-anak kita. Bukankah itu pelanggaran privasi? Ya memang, tapi buat saya itu boleh, karena orang tua punya hak untuk menyelidiki perkembangan jiwa dan pemikiran anak-anaknya. Yang tidak boleh adalah jika kita memeriksa isi handphone anak orang lain. Jika kita menemukan video porno disana maka bersabarlah. Cari waktu yang rileks dan ketika emosi kita sudah tenang, maka barulah kita bicarakan hal itu dengan anak-anak kita. Tidak perlu menghukum mereka. Tetapi tanamkan pemikiran bahwa jika mereka melakukan segala sesuatu yang dilarang Tuhan, maka kelak mereka akan menerima hukuman dari Tuhan.

Saya tidak tahu apakah dengan bicara seperti itu, maka anak-anak kita akan hidup lurus nantinya. Karena omongan kita biasanya akan didengar anak-anak kita, jika kita juga memberi contoh dengan perbuatan kita. Yang jelas dengan memberitahu anak-anak kita apa yang baik dan apa yang salah dari pemberitaan media , maka saya yakin kita sudah melakukan perbuatan yang benar. Sehingga setelah kita mati nanti dan Tuhan bertanya apa yang sudah kita lakukan pada anak-anak kita, mereka bisa bersaksi kepada Tuhan bahwa kita sudah mengajarkan yang baik pada mereka. Dan mudah-mudahan kesaksian itu akan menyelamatkan kita di kehidupan abadi nanti.

Berkaitan dengan pengalihan isu, saya pikir kasus A ini sengaja dilambungkan untuk menyetop perhatian masyarakat Indonesia terhadap flotilla massacre dan kebiadaban Israel. Orang-orang Indonesia ini sangat mumpuni dalam mengabarkan sesuatu yang, meminjam istilah bang wisnu, enggak penting jadi penting, di trending topic. Karena itu, kalau topiknya itu terus-terus memojokkan Israel, mungkin mereka khawatir lama-lama seluruh dunia jadi bersatu juga untuk memojokkan Israel. Maka mereka harus mencegah itu dan caranya adalah dengan menge-trend-kan topik yang mempermalukan umat islam. Dan sekarang kita saksikan. Satu hari kita ramai-ramai mengutuk Israel, tetapi di hari berikutnya kita sudah saling asyik berbagi video setan itu. Ini situasi yang menyedihkan. Makanya umat islam Indonesia harus tobat dan kembali ke jalan yang lurus. Fact or fiction menurut anda?

Akhir kata, saya iringkan doa, semoga para editor dan pengusaha media bertobat dan tidak lagi memuat berita yang merusak anak-anak dan remaja kita. Ingatlah bahwa anda pasti mati suatu hari nanti dan pasti bertemu dengan Tuhan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan anda. Tobat yuuuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun