“Yang dada, tusukannya lurus,” kata mbakyu penjual kepada stafnya. Aku yang mendengarnya senyum-senyum saja. Belum ‘nyambung’ dengan maksud mbaknya.
Bergegas tangan mbak satunya, mengambil bungkusan daun pisang. Itu yang dimaksud tadi. Daun pisang yang dilipat sedemikian rupa. Isinya ‘dada ayam’ yang diolah Garang Asem. Yaa Garang Asem, menu khas Jawa Tengah. Oaallaaahhh, tusukan lurus itu maksudnya tusukan lidi di bungkusan daun pisangnya tho hehee.
Jadi Garang Asem isi ayam bagian dada, itu yang dibungkus dengan tusukan lidi mendatar alias lurus. Sedangakan bagian paha ayam dengan tusukan model lainnya.
Menikmati menu Garang Asem lengkap dengan nasi putih cukup harmonis. Sajian dada ayam yang dikukus, empuk hingga dagingnya terkelupas dengan mudah dari tulangnya. Kuahnya biasanya ada rasa pedas asem yang menohok.
Sedikit berbeda racikan Garang Asem ala Solo ini. Rasanya sedikit tak terlalu pedas dan asem untuk ukuran saya. But okelah, rasa ‘kalem’ Garang Asemnya sudah cukup menuntaskan rasa kangen saya pada Garang Asem ‘Dada Ayam’.
Nah Garang Asem di tenant Gudeg Solo - Garang Asem mbak Anung ini dilengkapi dengan aneka menu lainnya. Ada gudeg ala Solo, termasuk daun singkong, tahu tempe, telur dan krecek. Satu porsi Nasi gudeg ayam kampung cuma 38.000. Eh ada pendamping lainnya yang tak kalah bikin ngilerr loorrr. Ayam bacem dan tahu bacem!!
Menu Garang Asem ala Jawa Tengah itu memang ‘nyempil’ diantara menu budaya Sunda yang tersebar di 42 tenant booth dan 10 tenant gerobak.
Saya mencatat menu-menu favorit dalam kepala setelah berkeliling area FKN sambil tentunya jepret-jepret. Pertama yang langsung bikin penasaran adalah Bakso Beranak Plekenut Cirebon, terus ada Mie Kocok Bandung Marika. Ada Kopi es Tak Kie, Sate Ayam Madura bintang 5, Seblak Jeletet Murni, Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih, Gulai Balungan "Bledug", Empal Gentong, dan Roti Cane Kare Kambing Muda Hayuda.
Bakso Beranak Plekenut Cirebon ini bikin kepincut. Tepatnya penasaran. Rasanya penggila bakso layak mencicipi bakso dengan ukuran yang tak biasa ini. Jumbo! Dan ukuran jumbo terbuat dari daging sapi itulah akan ditemukan di dalamnya bakso lain dengan ukuran lebih kecil. Jadi seperti beranak! Hahaaa.
Itulah yang terlihat dari seporsi Bakso Beranak yang saya pilih. Bakso jenis ‘hamil muda’ ini ukurannnya nomor dua. Jadi bukan yang paling besar siih. Soalnya saya khawatir, kalau beli yang besar ntar kekenyangan dan tak sanggup cicipin menu lainnya. Hahhaa bukan jaim loorrr.
Bakso dengan harga tak sampai Rp 50 ribu plus minum teh botol ini, baksonya sudah dibelah hingga berbentuk bunga mekar. Lebih gede dari bakso tenis loor. Sejumlah bakso kecil beserta telur menyeruak keluar. Daging uratnya kentara banget. Ada mie kuning sesuai pesanan saya di antara kuah dengan rempah-rempah beraroma rebusan ‘balungan’ yang kuat banget.
Sooo, semangkuk Bakso Beranak Plekenut Dewaruci Cirebon layak menjadi pilihan berbuka deh. Harga bervariasi, mulai Rp 25 ribu sampai Rp100 ribu per mangkuk.
Selain menikmati sedapnya menu-menu yang tersaji, kita bisa menikmati juga suasana malam di area FKN. Dekorasi ala budaya Sunda sangat terasa. Ada aksesoris ketupat jumbo dengan gubug-gubug kuliner yang membuat betah berlama-lama duduk.
#WeEatWeWrite
IG @bozzmadyang aka @rahabganendra
FB Rahab Ganendra dan BOzz Madyang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H